Jam makan siang di salah satu sekolah negeri di Pulogebang. Sebuah mobil berwarna putih berhenti di halaman. Di bagasi belakangnya, deretan ompreng logam tertata rapi, dibungkus plastik bening. Beberapa guru yang menjadi penanggung jawab program Makan Bergizi Gratis (MBG) bergegas menjemput. Dengan gotong-royong, mereka memindahkan ompreng-ompreng itu ke dalam boks besar untuk dibagikan per kelas.
Sekitar dua ratus meter dari sekolah, di sebuah gang kecil, seorang perempuan bernama Sinta (bukan nama sebenarnya) duduk di bangku kayu menunggu adiknya pulang. Dari jarak itu ia bisa mendengar suara bel sekolah dan riuh tawa anak-anak.
“Biasanya dia bawa pulang makanan dari sekolah,” katanya. “Awal-awal dia bilang, tahu telurnya tuh udah bau. Udah nggak enak deh,” ujarnya pelan. Tahu telur bau itu, katanya, sering jadi menu makan bergizi di sekolah sejak program mulai berjalan. Sinta pernah coba mencicipi. “Saya pernah makan juga,” tambahnya, tertawa kecil. “Emang rasanya udah kayak mau basi. Kadang sayurnya aja masih mentah.”
Tak jauh darinya, Ibu Mira (bukan nama sebenarnya) menunggu anaknya pulang dengan keresahan yang sama. Ia tahu dapur penyedia harus menyiapkan ribuan porsi dalam semalam. “Mungkin karena masaknya kebanyakan, jadi nggak sempat kontrol. Kadang sayurnya mentah, kadang udah basi,” ujarnya. “Saya juga takut, soalnya sering dengar berita keracunan. Saya bilang ke anak, kalau ada bau-bau, jangan dimakan. Mending bawa pulang aja.”
Anaknya sering menuruti, membawa pulang makanan itu di dalam kotak makan. Kadang lauknya telur, kadang sayur berkuah keruh yang beraroma. “Saya tahu sekolah larang buang makanan, jadi ya udah, dibawa aja pulang. Tapi sampai rumah juga cuma ditaruh, nggak dimakan,” katanya pelan. Ia menghela napas, lalu tertawa. “Mendingan kayak di Jawa Barat, dikasih 15 ribu, orang tuanya yang masak. Kan lebih tahu anaknya suka apa, lebih aman juga.”
Baik Mira maupun Sinta tak pernah berani menyampaikan keluhan secara langsung. “Kita takut ngomong, nanti dibilang udah dikasih gratis masih aja komen,” ujarnya. Tapi dalam hati, ia tahu, bukan soal gratis atau tidak. Ia hanya ingin anaknya makan makanan yang layak, bukan demi formalitas program, nyawa jadi taruhan. “Kalau sampai anak saya sakit, siapa yang tanggung?” kata Mira. “Keracunan malah lebih mahal jatuhnya. Bukan cuma uangnya, tapi kasihan badannya juga.”
Gelombang Keracunan di Balik Program Gizi
Kisah Sinta dan Mira bukan satu-dua. Data yang dikumpulkan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dari pemberitaan media menunjukkan, hingga 6 Oktober 2025 sedikitnya 9.413 anak sekolah menjadi korban keracunan makanan yang diduga berasal dari program MBG. Dari Jawa Tengah sampai Sulawesi Selatan, pola kejadiannya serupa: makanan disiapkan malam sebelumnya, dikirim pagi-pagi tanpa pendingin, dan disajikan siang hari di ruang kelas tanpa pengawasan higienitas.
Program MBG diluncurkan pemerintah dengan janji besar: menurunkan angka stunting dan kemiskinan melalui pemberian makan bergizi gratis bagi siswa SD, SMP, dan SMA. Dalam rancangan awal, program ini disebut sebagai terobosan nasional untuk memperbaiki gizi anak Indonesia. Tapi di lapangan, kualitas makanan sering tidak sesuai standar gizi seimbang. Telur setengah matang, sayur layu, nasi dingin, buah dengan ulat, dan daging berbau.
“Ini seharusnya soal kesejahteraan anak, tapi malah jadi proyek logistik raksasa,” kata Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik CELIOS. Ia menyoroti bahwa pelaksanaan program dilakukan tanpa sistem pengawasan terpadu. “Program MBG rusak dari segala lini, kualitas makanan, masalah penyaluran, hingga indikasi korupsi dan keracunan. Bahkan, ada indikasi pergeseran anggaran pendidikan akibat MBG.”
Dalam sejumlah kasus, dapur penyedia MBG dikuasai oleh perusahaan besar yang memenangkan tender masal di berbagai provinsi. Pelaku usaha kecil, termasuk katering sekolah dan kelompok ibu PKK, tersisih dari rantai pasok. Di beberapa daerah, proses pengiriman bahkan melibatkan aparat keamanan setempat, praktik yang dianggap banyak pihak berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Di atas kertas, MBG tampak mulia. Tapi bagi banyak orang tua seperti Mira, program ini menghadirkan dilema: menolak berarti dianggap tidak berterima kasih; menerima berarti mempertaruhkan kesehatan anak.
Pakar kebijakan pangan Isnawati Hidayah menilai, MBG seharusnya berbasis kebutuhan gizi anak, bukan ambisi politik. “Dalam situasi sekarang, banyak masyarakat yang menyampaikan keresahan di media sosial, tapi sporadis dan tidak terdengar pemerintah,” katanya. “Padahal satu kasus keracunan saja sudah sangat serius.”
Menurut Isnawati, kegagalan MBG menunjukkan lemahnya tata kelola publik. Pemerintah berfokus pada distribusi cepat menjelang tahun politik, bukan pada kontrol kualitas dan partisipasi masyarakat. “Hak atas makanan bergizi itu bukan hanya soal memberi makan, tapi memastikan makanan itu aman, layak, dan bermartabat,” tegasnya.
Lahirnya MBG Watch: Dari Keresahan ke Gerakan Warga
Dari keresahan semacam itu, lahirlah MBG Watch, sebuah platform kolaboratif yang digagas oleh CELIOS bersama Unitrend, Transparency International Indonesia, Lapor Sehat, LBH Jakarta, dan Bareng Warga. Tujuannya sederhana tapi besar: membuka ruang partisipasi publik untuk memantau, melapor, dan memastikan hak anak atas makanan sehat dan aman terpenuhi.
“Harapannya, MBG Watch bisa jadi kanal aspirasi publik dan ruang kolektif masyarakat sipil untuk mengkritisi program ini,” ujar Media Askar. Platform ini menghimpun laporan warga secara real time melalui situs mbgwatch.org atau WhatsApp (+62 811-2222-5157). Laporan diverifikasi oleh kombinasi kecerdasan buatan dan tim manusia sebelum dipublikasikan secara anonim.
Rizky Dwi Lestari, peneliti dari Unitrend, menjelaskan bahwa MBG Watch tidak hanya menampung keluhan, tapi juga mengonversinya menjadi data advokasi. “Kami memfasilitasi kanal pelaporan, mengumpulkan data, dan mendorong evaluasi kebijakan. Semua laporan warga penting karena mereka yang paling tahu kondisi di lapangan.”
Dalam dua minggu pertama peluncurannya, ratusan laporan masuk: dari lauk berbau tengik di Bekasi, ayam mentah di Lampung, hingga siswa pingsan usai makan di Bone. Beberapa laporan diverifikasi sebagai dugaan pelanggaran berat dan diteruskan ke lembaga hukum.
Bagi Dzatmiati Sari dari Transparency International Indonesia, MBG Watch menjadi instrumen penting untuk membongkar potensi penyalahgunaan dana publik. “Program ambisius ini tidak disertai tata kelola yang baik,” katanya. “Rantai pasok makanan penuh konflik kepentingan dan membuka keran perburuan rente.”
Investigasi TII menemukan bahwa kontrak pengadaan makanan di sejumlah daerah dimenangkan oleh perusahaan yang sama dengan nilai fantastis, sementara pengawasan dilakukan oleh lembaga yang tidak independen. Ada indikasi penggelembungan harga bahan pokok dan pemotongan anggaran transportasi yang berujung pada penyimpanan makanan terlalu lama sebelum didistribusikan, sebuah kombinasi yang mematikan ketika menyangkut keamanan pangan.
“Ini bukan sekadar soal korupsi uang,” lanjut Dzatmiati, “tapi soal korupsi kebijakan yang mengorbankan kesehatan publik.”
Irma Hidayana, aktivis, peneliti kesehatan masyarakat sekaligus pendiri Lapor COVID19, menyebut bahwa keberadaan MBG justru berisiko menurunkan semangat para ibu yang selama ini berupaya menyiapkan makanan sehat di rumah. “Program ini membuat mereka kehilangan otonomi. Padahal edukasi gizi di rumah adalah fondasi utama bagi anak-anak untuk makan sehat,” katanya.
Kini, melalui MBG Watch, Irma berharap para ibu bisa kembali punya ruang bicara. Mereka bisa melaporkan temuan tanpa takut dimarahi sekolah atau pejabat daerah. “Partisipasi publik adalah bentuk perlindungan anak,” tambahnya.
Mungkin tidak semua orang tua akan bergabung dengan MBG Watch. Banyak yang masih takut, atau sekadar pasrah. Tapi gerakan ini menandai sesuatu yang lebih besar: kebangkitan kesadaran warga bahwa kebijakan publik bukan milik pemerintah semata.
Fadhil Alfathan, Direktur LBH Jakarta, menegaskan pentingnya perlindungan hukum bagi pelapor. “Dengan jaminan ini, masyarakat tidak perlu khawatir untuk ikut mengawasi. Karena pada akhirnya, pengawasan warga adalah bentuk nyata demokrasi.”
Di berbagai daerah, muncul inisiatif lokal meniru semangat MBG Watch: forum ibu sekolah di Semarang, gerakan “Kawal Makan Anak” di Makassar, hingga kelompok jurnalis warga di Bekasi yang mendokumentasikan proses distribusi makanan setiap hari.
MBG Watch Butuh Kolaborasi Warga dan Multipihak
“Jangan sepelekan kekuatan jempol kita,” kata Irma Hidayana. “Ketika kita melihat ada yang tidak beres, keracunan, dapur tidak higienis, jangan ragu untuk melapor. Melaporkan adalah bentuk kekuasaan warga yang bisa mengubah kebijakan publik.”
Di mata Irma, pelaporan bukan sekadar reaksi spontan terhadap berita buruk, tapi wujud kesadaran warga bahwa hak atas makanan bergizi dan aman adalah hak asasi manusia.
“Ini bukan soal sekadar makan, tapi tentang hak anak-anak kita untuk hidup sehat. Pemerintah terikat secara hukum untuk memenuhi hak ini. Tapi masyarakat sipil juga punya kewajiban untuk mengingatkan dan mendorong pemerintah, kita tidak boleh diam. Kalau kita diam, artinya kita ikut menyetujui.”
MBG Watch lahir dari semangat itu: mengubah keprihatinan menjadi data, dan data menjadi kekuatan advokasi. Rizki Dulustari dari Unitrend, pihak yang menangani aspek teknologi platform ini, menjelaskan bahwa sistem MBG Watch memanfaatkan crowdsourcing, laporan langsung dari warga yang kemudian dianalisis secara digital dan manual. “Kami berkomitmen memanfaatkan data digital atau big data yang tersebar untuk membantu pemerintah merespon isu publik secara cepat. Karena data digital ini sudah real time, tapi penggunaannya masih belum masif,” ujarnya.
Laporan yang masuk diverifikasi berlapis dengan bantuan AI dan pemeriksaan manusia (human checking). “Warga tidak perlu khawatir karena nama pelapor tidak akan disebarluaskan. Kami ingin pelaporannya sesederhana mungkin, terutama agar ibu-ibu di luar sana mudah melapor,” tambah Rizki.
Bagi Rizki, keberadaan MBG Watch tidak hanya berhenti pada pengumpulan laporan. “Kami melakukan empat hal utama: memfasilitasi pelaporan masyarakat, menganalisis data, melakukan advokasi kebijakan, dan berkolaborasi dengan banyak pihak untuk mengekalkan gerakan. Kami ingin platform ini menjadi wadah yang bisa mengonsolidasikan dan mengamplifikasi bukti-bukti konkret masalah MBG di lapangan.”
Isu yang ditangani MBG Watch pun lintas dimensi: bukan hanya keracunan, tetapi juga limbah dapur yang mencemari lingkungan, tata kelola anggaran yang tidak transparan, dan potensi penyimpangan di daerah. “Kalau MBG gagal, dampaknya besar, mulai dari anak-anak yang jadi target program tidak tercapai gizinya, pendidikan terganggu, hingga beban kesehatan nasional meningkat. Semua ini bisa dicegah kalau tata kelolanya dievaluasi besar-besaran,” kata Rizki.
Irma menekankan bahwa gerakan pelaporan warga ini bukan sekadar mekanisme kontrol, tapi bentuk partisipasi politik warga yang sah. “Gerakan melaporkan atau memantau program MBG ini merupakan kekuatan luar biasa bagi warga. Laporan warga bisa menjadi basis data evaluasi yang substantif dan bermakna untuk mendorong pemerintah mewujudkan pemenuhan hak gizi dan hak atas kesehatan.”
MBG Watch juga membuka ruang kolaborasi dengan Transparency International dan LBH Jakarta untuk memperkuat pemantauan anggaran serta advokasi tindak lanjut. “Artinya, gerakan ini tidak berhenti di pelaporan, tapi menuju pembenahan sistem. Suara kita bisa menjadi dasar bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan. Data, angka, dan cerita dari warga sama pentingnya untuk memastikan hak atas gizi dan kesehatan anak-anak kita benar-benar terpenuhi,” jelas Irma.
Namun, langkah terbesar MBG Watch terletak pada upayanya untuk mendorong terminasi kebijakan MBG, penghentian total sebelum dilakukan perbaikan struktural. “Kami ingin mengoptimalkan suara publik. Karena kebijakan publik dipengaruhi oleh political will, kita perlu menguasai konstelasi politik dengan kekuatan tertinggi, kekuatan publik. Harapannya, kita bisa mendorong terminasi kebijakan MBG. Evaluasi total, hentikan dulu, baru perbaiki menyeluruh,” kata Rizki.
Baik Irma maupun Rizki sepakat bahwa masa depan MBG Watch hanya bisa kuat jika gerakan ini menjadi ekosistem kolaboratif lintas sektor. “Kami tidak akan bisa kemana-mana kalau sendirian. Harapannya, semakin banyak CSO, organisasi masyarakat, dan media yang ikut mengamplifikasi gerakan MBG Watch agar bisa memengaruhi proses kebijakan secara efektif,” tutup Rizki.
MBG Watch dapat diakses di mbgwatch.org
WhatsApp pelaporan: +62 811-2222-5157
Formulir aduan: mbgwatch.org/form
Editor : Fidelis Satriastanti

Discussion about this post