Jakarta, Prohealth.id – Muhammad Muhaimin, 33 tahun, pebisnis ubi jalar dari Desa Candisari, Kecamatan Windusari, Magelang mengubah cara berpenghasilan tak seperti orang tuanya.
Muhaimin tumbuh dalam keluarga petani tembakau. Namun, Muhaimin enggan menyambung ekonomi keluarga dari tembakau. “Kebetulan di desa saya itu sudah ada varietas ubi jalar,” katanya dalam sesi bincang daring bertema Berani Berhenti Merokok Bersama Anak-anak Petani Tembakau di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat, pada Rabu (16/6/2021).
Muhaimin terpincut berbisnis ubi jalar, karena potensi ekonomi yang ia anggap lebih menguntungkan. Para petani di desanya sebetulnya sudah terbiasa menanam ubi.
“Tapi dahulu, ubi ditanam sebagai jeda setelah panen tembakau. Karena, tembakau panen satu tahun sekali,” tuturnya.
Ketika panen tembakau dianggap makin tak menguntungkan, berbisnis ubi pun menjadi prioritas. “Ubah pola pikir jangan cuma nyaman di titik aman,” ujarnya.
Menurut dia, ubi sebagai hasil panen yang menunjang untuk bisa terus berkembang.
“Enggak perlu kulakan (beli untuk dijual lagi),” katanya.
Muhaimin yang tumbuh dalam era digital lantas memanfaatkan teknologi daring untuk memperluas pemasaran ubi. “Saya bermain media sosial cari channel (saluran) supaya ubi bisa masuk supermarket (swalayan) biar enggak cuma di pasar tradisional,” katanya.
Walhasil, usahanya itu menemukan jalan. “Diterima dengan spesifikasi kualitas ubi yang bisa bersaing,” tuturnya.
Meski begitu dia masih mafhum, ketika panen ubi cenderung beragam dari ukuran maupun kualitas. Muhaimin bersama petani pun menyortir ubi sebelum pemasaran. Dia menjelaskan, ubi kualitas terbaik untuk ekspor.
“Kami sudah mengirim ke Jepang dan Singapura,” ucapnya.
Penyortiran juga dibedakan lagi untuk dikirim ke swalayan. Kualitas lainnya dibedakan lagi untuk disalurkan ke kios.
“Ubi ini dijual untuk (pengolahan) oven yang keluar karamel, makanya dibilang madu,” katanya.
Dia menambahkan, pemilihan ubi juga ada yang khusus untuk diolah menjadi keripik, grubi, kue talam, dan putri mandi.
“Sekarang banyak diminati kue talam. Kalau grubi diminati saat Lebaran,” tuturnya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Abdillah Ahsan memandang kecenderungan berganti tanaman pertanian itu perlu untuk mendapat keuntungan.
“Tidak bisa kembali lagi ke zaman dulu. Jika tetap ingin berbisnis tembakau tentu saja boleh, tapi harus meyakinkan diri akan untung,” ucapnya.
Dia menjelaskan, para petani tembakau sebaiknya menimbang lagi potensi ekonomi untuk jangka panjang.
“Kalau memang produknya sudah tidak memungkinkan dan tata niaganya jelek? Kalau tidak menguntungkan untuk apa terus setia,” katanya.
Abdillah menambahkan, demi memastikan keuntungan ketika beralih, maka peran pemerintah memberi bantuan terkait program yang menunjang para petani.
Cukai tembakau yang memengaruhi harga rokok pun terus naik saban tahun. “Semakin menekan konsumsi tembakau. Kebijakan cukai dalam perubahan fiskal ini tidak cukup,” kata Sarno, selaku Analis Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.
Sarno menambahkan, kebijakan itu perlu ditunjang dengan kebijakan lainnya terkait iklan, promosi, sponsor yang menyasar anak-anak muda.
“Hal ini juga termasuk edukasi siswa sekolah, terkait kandungan produk tembakau, kemasan (rokok) dan pelabelan,” ucapnya.
Sarno mengatakan, keutamaan cukai untuk pengendalian konsumsi rokok. Selain itu, ia menambahkan, pun merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
“Itu untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penurunan prevalensi merokok, khususnya (umur) 10 tahun sampai 18 tahun yang ditargetkan menjadi 8,7 persen pada 2024,” katanya.
Namun dalam perumusan itu, penting untuk memperhatikan kelangsungan tenaga kerja dan petani tembakau. “Kebijakan cukai juga mempertimbangkan dampak itu,” tuturnya. Dia juga menambahkan, soal penerimaan negara kebijakan cukai mendukung program pembangunan nasional.
Hal lain, menurut dia, terkait pula pengawasan Barang Kena Cukai (BKC). Sarno menjelaskan, hal tersebut dipengaruhi tarif cukai yang terus naik.
“Ada dampak hal ilegal yang kami antisipasi. Tarif yang tinggi membuat mereka (industri rokok) ingin tetap untung, tidak bayar cukai atau pakai pita cukai bekas,” katanya.
Kebijakan tarif cukai telah memengaruhi penjualan rokok. Pada 2020, penjualan rokok mengalami penurunan hingga 322 miliar batang.
“Turun 9,7 persen dari tahun 2019,” ucapnya.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post