Baru menikah selama satu tahun, Farah -bukan nama asli- (29) mengaku sempat mengalami depresi sekitar tahun 2019 karena selalu ditanya oleh keluarga besar, ‘kapan punya anak?’. Farah yang sehari-hari bekerja sebagai reporter di salah satu media nasional tak menampik bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut kerap mengganggu pikiran dan batin setiap kali harus bertemu dengan keluarga.
“Capek juga ditanya terus kapan punya anak? Atau, kok belum punya anak?” Dia sempat terpojok dengan pertanyaan tersebut, hingga terpikir, apakah keputusan untuk menikah hanya mengubah fungsi sosial dia sebagai produsen keturunan semata.
Harus melalui perjalanan Jakarta-Bogor rata-rata selama 1,5 jam untuk bekerja, tidak mudah untuk Farah membagi waktu demi merealisasikan program kehamilan. Padahal dia tetap ingin bekerja untuk ikut membiayai kebutuhan rumah tangga yang baru genap berusia satu tahun.
Beban hidup Farah pun tak kunjung usai. Beberapa bulan kemudian selama proses perencanaan kehamilan, dia mendapat kabar dari dokter obgyn bahwa hasil USG mendeteksi dia memiliki kista. Hasil diagnosa dari dokter sempat membuat motivasi Farah melakukan program kehamilan kandas.
Awal tahun 2020, pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia. Isolasi dan pembatasan aktivitas sosial sempat membuat Farah demotivasi. Tekanan mental dan sosial masih menjadi beban dalam hatinya. Dia pun sempat mempertimbangkan untuk mundur dari pekerjaan sebagai jurnalis. Setidaknya ada tiga alasan Farah untuk resign. Pertama, dia mencari pekerjaan lain yang lebih longgar untuk bisa fokus dengan program kehamilan. Faktor lain, Farah pun menggugat iklim kerja dan ruang kantor yang dia nilai masih kurang inklusif bagi golongan perempuan. Dia menilai, kondisi kantor yang kurang inklusif akan sangat rentan membuat karyawan mengalami burn out. Pada sisi lain, dia juga ingin resign dari kantor untuk bisa mendapatkan pekerjaan lain yang lebih menjanjikan secara finansial. Beragam pertimbangan itu sempat membuat Farah kebingungan dalam merumuskan prioritas.
Untung saja berkat motivasi keluarga dan kerabat dekat, Farah bangkit dengan tekad akan melanjutkan program kehamilan dan tetap bekerja sebagai jurnalis. Sembilan bulan kemudian, Farah melahirkan bayi sulung sekitar akhir 2020 lalu dalam nuansa masyarakat Indonesia yang masih bertarung pertarungan melawan pandemi Covid-19.
BIAS GENDER SELAMA PANDEMI
Sebagai perempuan pekerja, Farah tentunya hanya satu dari ratusan juta perempuan yang masih bisa bekerja meski harus berhadapan dengan bias gender dari sisi ekonomi, budaya, hingga kesehatan reproduksi. Oleh karenanya, menarik untuk melihat tingkat keparahan bias gender khususnya pada kelompok perempuan. Hal ini mengingat pada awal pandemi banyak prediksi bahwa perkembangan karir para perempuan akan mengalami kemunduran karena adanya perubahan dalam lingkungan kerja. Namun, melihat hasil survei dari International Business Report (IBR) Grant Thornton 2021 menyatakan bahwa D&I (Diversity and Inclusion) dalam bisnis skala menengah (mid-market) mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, 73 persen pelaku bisnis skala menengah meyakini bahwa perubahan pada lingkungan kerja selama pandemi akan menguntungkan perjalanan karir perempuan dalam jangka panjang.
Tak hanya itu, berdasarkan laporan tahunan Grant Thornton “Women in Business 2021” tahun lalu, peran perempuan dalam upaya penanggulangan dan pemulihan Covid-19 di berbagai belahan dunia cukup terasa. Pasalnya, jumlah perempuan yang memegang posisi manajemen senior di perusahaan secara global mencatat kenaikan ke angka 31 persen.
Masih senada dengan hasil laporan tahun lalu, pada tahun ini Grant Thornton meluncurkan kembali “Women in Business 2022” yang menunjukkan ada peningkatan jumlah perempuan posisi manajemen senior secara global mengalami pertumbuhan sebanyak satu poin menjadi 32 persen pada tahun 2022.
Berkaca dari pengalaman Farah, Kim Schmidt, Global Leader Grant Thornton International Ltd mengakui bahwa saat ini, persaingan pencarian tenaga kerja dan banyaknya pengunduran diri semakin terasa beberapa waktu terakhir. Pencari kerja kini juga mempunyai ekspektasi dan permintaan yang tinggi terhadap perusahaan yang mereka lamar.
“Kami melihat kebijakan perusahaan kini dirancang semakin inklusif untuk menarik calon karyawan serta mempertahankan SDM yang ada. Hal tersebut pada akhirnya menguntungkan banyak perempuan, yang dahulu lebih banyak menemui keterbatasan. Sekarang, mereka memiliki kebebasan untuk memilih dan saya berharap kondisi ini akan terus bertahan bahkan semakin banyak lingkungan kerja inklusif di masa mendatang,” tutur Kim.
Johanna Gani, CEO Grant Thornton Indonesia mengatakan, secara kasat mata memang seakan tidak ada hubungan langsung antara pandemi dengan kesetaraan gender. Namun ternyata dua tahun pandemi membuktikan adanya dampak tidak langsung pandemi terhadap kesetaraan gender. Oleh karena itu, Johanna mengimbau perusahaan menjunjung serta menciptakan budaya inklusif yang menghargai pendapat dan nilai-nilai yang dimiliki tiap individu.
“Hal tersebut sangat penting untuk mendukung pertumbuhan bisnis perusahaan karena apabila setiap karyawan merasa nyaman untuk mengekspresikan dirinya, tentunya mereka akan mampu menampilkan kinerja terbaik untuk lebih terlibat dan berkontribusi bagi masa depan perusahaan,” ungkap Johanna.
Sekalipun data menyebut tingkat partisipasi perempuan dalam dunia usaha dan ekonomi meningkat, namun bias gender sehari-hari masih belum sepenuhnya selesai. Menurut Carmen Yuen selaku General Partner Vertex Ventures SE Asia and India sangat penting bagi masyarakat untuk tidak membatasi bahwa laki-laki dan perempuan hanya cocok untuk industri tertentu. “Karena kita semua dapat berakselerasi di setiap industri terlepas dari gender kita,” pungkas Carmen. Contoh kasus lain; founders atau pemimpin perempuan mulai banyak bekerja di berbagai industri pemimpin, seperti manufaktur, teknologi finansial, blockchain, terknologi pertanian, dan daftar indutri ini terus berlanjut. Padahal, beberapa di antaranya sering dianggap sebagai industri yang didominasi laki-laki.
Bias gender dalam industri ini pun masih dialami Utari Octavianty, Co-Founder dan Chief Sustainability Officer Aruna yang mana perusahaannya termasuk dalam industri perikanan. Ada persepsi tentang bagaimana industri perikanan hanya cocok untuk laki-laki, dan tidak sesuai untuk Utari sebagai seorang perempuan. Hal tersebut tidak hanya muncul di masyarakat, tetapi juga mengakar di keluarganya. Namun, setelah keterlibatan Utari dalam industri perikanan, telah membuktikan bahwa industri perikanan merupakan industri yang terbuka untuk semua gender, dan semua orang dapat berkontribusi untuk perbaikan terlepas dari gendernya.
Untuk menangkal bias gender tersebut, Utari mengatakan bahwa pihak Aruna berinisiatif membuat pelatihan untuk memberdayakan para istri nelayan, sehingga mereka dilatih untuk dapat memilah ikan berdasarkan kualitas dan ukurannya. Dengan pelatihan tersebut, tidak hanya mendukung terbentuknya lingkungan yang lebih memberdayakan, Aruna juga menghadirkan pemberdayaan perempuan dalam mendukung ekonomi mereka sendiri atau bahkan keluarganya.
Kondisi pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir dinilai telah membawa tingkat kesadaran dan pemahaman yang baik terhadap kesehatan. Namun, dalam hal keterlibatan dan kesetaraan gender dalam industri kesehatan, menurut Levana Sani, CEO Nalagenetics keterlibatan perempuan masih rendah khususnya dalam uji klinis yang umumnya hanya melibatkan representasi dari pria kulit putih yang sehat. Levana menilai, bias gender tersebut telah menyebabkan kemungkinan yang lebih tinggi akan reaksi obat yang merugikan untuk perempuan.
Sementara itu, Tamara Wu selaku CEO Liberty Society menceritakan kisah Liberty Society sebagai perusahaan sosial dengan fokus memberdayakan perempuan yang terkena dampak kekerasan dan kemiskinan ekstrim untuk keluar dari lingkaran kemiskinan dan keputusasaan. Dia mengakui saat ini masih banyak perempuan di Indonesia yang rentan disebabkan oleh minimnya pendidikan dan kemampuan ekonomi.
MENGGUGAT BIAS KESUBURAN DENGAN PENTINGNYA KESEHATAN PEREMPUAN
Tak hanya bias dalam industri, bias lain masih mengikat perempuan seperti yang dialami Farah. Bias tentang kesuburan perempuan. Fertilitas atau bisa disebut juga dengan kesuburan merupakan salah satu prasyarat untuk mendapatkan keturunan. Berdasarkan data Evaluasi Demographic and Health Surveys (DHS) yang dilakukan WHO pada 2004 memperkirakan lebih dari 186 juta wanita usia subur yang pernah menikah di negara berkembang mengalami infertilitas. Dengan tingginya bias gender terhadap perempuan seperti yang dialami oleh Farah, maka kasus infertilitas pada perempuan menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan sejak dini bagi pasangan yang ingin mempunyai keturunan.
Chief Executive Officer, Pusat Fertilitas Bocah Indonesia (PFBI) dr. Pandji Sadar mengatakan pentingnya tim medis dan masyarakat maupun sesama pejuang dalam program kehamilan ini saling mendukung. Untuk mewujudkan hal tersebut, dr. Pandji menjelaskan bahwa Pusat Fertilitas Bocah Indonesia mencoba mempersembahkan #PerempuandanHarapan, yaitu sebuah kampanye yang bertujuan untuk mengajak para perempuan agar lebih peduli terhadap kesehatan fertilitas.
“Selain untuk memberikan edukasi tentang permasalah infertilitas pada perempuan, PFBI memberikan free pengecekan AMH kepada seluruh para perempuan hebat berusia produktif yang hadir pada acara, bahkan akan kami berikan Home Service sebagai langkah dasar dalam melakukan pengecekan kesuburan perempuan,” tuturnya.
Bulan Maret yang juga diperingati sebagai Bulan Kesadaran Endometriosis, perlu mendorong kesadaran perempuan dan masyarakat dalam menyikapi infertilitas. Apalagi, endometriosis adalah salah satu penyebab ketidaksuburan seorang perempuan dengan ditandai adanya nyeri hebat saat haid.
Menurut dr M. Luky Satria, Sp.OG – KFER, selaku Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi Pusat Fertilitas Bocah Indonesia, endometriosis merupakan tumbuhnya jaringan endometrium atau lapisan dinding rahim yang tumbuh di luar rahim.
“Tempat yang seharusnya berada di dalam rahim, tapi ini tumbuh di luar rahim, seperti otot rahim. Itu namanya endometriosis,” ungkap dr. Luky.
Gejala endometriosis ini pun sebenarnya mudah dikenali oleh perempuan. Menstruasi atau haid merupakan hal yang biasa dialami oleh wanita di setiap bulan. Akan tetapi jika merasakan nyeri hebat di bagian perut ketika dalam masa menstruasi, hal ini perlu diwaspadai.
Sayangnya, masalah nyeri haid hebat tersebut sering dianggap hal biasa bahkan sepele bagi beberapa wanita. Rasa sakit tersebut seringkali menjadi suatu hal yang normal juga terabaikan bagi perempuan, padahal rasa sakit tersebut bisa merupakan salah satu penyebab dari endometriosis.
Lebih lanjut, dr Luky menambahkan bahwa endometriosis merupakan suatu penyakit yang semakin lama dapat semakin memburuk.
“Endometriosis adalah penyakit yang progresif, jika tidak mendapat penanganan yang tepat, endometriosis akan semakin memberat,” sambungnya.
Seseorang yang mengalami endometriosis akan mengalami nyeri hebat ketika menstruasi. Namun, bagi sebagian orang menganggap hal tersebut wajar dan tidak perlu dilebih-lebihkan. “Nyeri haid itu gejala endometriosis yang paling umum diketahui. Masalahnya, orang-orang awam menganggap nyeri haid berlebihan itu wajar. Nah, yang paling parahnya lagi, kalau mens sampai bolos kerja, nggak masuk sekolah, dan lain-lain malah dianggap malas atau ‘drama queen’ lah. Padahal dia memang benar-benar sakit, cuma karena dianggap biasa sehingga dia tidak memeriksakan diri ke dokter. Awareness seperti itu yang harus ditingkatkan,” tegas dr. Luky.
Oleh karena itu, selama bulan Maret 2022 ini, PFBI juga menyebarkan edukasi tentang endometriosis, suatu kondisi infertilitas yang dialami 1 dari 10 wanita, dengan sekaligus meluncurkan paket endometriosis, khusus bagi para wanita yang mengalami gangguan endometriosis.
PFBI pun mensosialisasikan pemeriksaan dasar endometriosis yang dilakukan untuk mengetahui penyebab dari nyeri haid dan gejala yang menyertai. Pemeriksaan ini nantinya juga untuk menentukan penanganan yang tepat sebelum menjalani program hamil, yang terdiri dari; Fertility Work Up Obgyn, USG TransV serta AMH Test untuk mengetahui kadar kesuburan wanita.
Dengan kampanye dan sosialisasi kesehatan tersebut, dr. Luky berharap agar sakit saat menstruasi tidak lagi dianggap sepele dan wajar bagi perempuan. Kesadaran bahwa rasa sakit selama menstruasi adalah fase yang harus ditindaklanjuti secara medis dan bukan tanda kelemahan perempuan tidak produktif.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post