Harnaaz Kaur Sandhu, Miss Universe 2021, mengungkapkan pengalaman pribadinya terkait adanya stigma yang masih melekat terkait menstruasi. Ia bercerita, sejak usia anak, ia kerap merasa tidak nyaman membicarakan menstruasi, padahal ia memiliki Ibu yang berkarir sebagai dokter ginekologi.
“Bayangkan, bagi anak-anak perempuan yang tidak memiliki wadah untuk mediskusikan ini dan menganggap tabu untuk mendiskusikan menstruasi. Saya ingin mendobrak stigma ini, sehingga perempuan muda merasa lebih nyaman untuk mengatasi kesehatan menstruasi mereka,” tegas Harnaaz melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Minggu (19/6/2022).
Tak heran jika Harnaaz terlibat dalam advokasi yang berfokus terhadap pemberdayaan perempuan dalam menyosialisasikan MKM bersama dengan berbagai organisasi dan salah satunya adalah Plan International. “Kami membantu kaum muda mengambil aksi secara serius tentang isu MKM.”
Pengalaman tersebut memotivasi Harnaaz Sandhu mengumumkan Global Menstrual Equity Coalition (GMEC) saat melakukan tur di negara asalnya, India. Dikutip dari Times of India, ada sekitar 62 persen anak perempuan di negara memang tidak bisa mendapat akses sanitasi untuk menstruasi. Oleh karena itu, Miss Universe Organization (MUO) bermitra dengan organisasi Plan International, pengusaha lokal Arunachalam Muruganantham alias Pad Man, lembaga sosial DDB For Good dan Changing Our World untuk memajukan kesetaraan di isu menstruasi, dengan program pilot di India lalu diikuti oleh Filipina. Dia pun menjelaskan, tujuan koalisi adalah mengakhiri period poverty, dan akan dimulai dari negara asalnya yang kemudian bertahap menyebar secara global.
MKM merupakan pilar penting dalam kerangka GMEC. Implementasi MKM di Indonesia masih menjadi tantangan, terutama karena stigma dan mitos seputar topik tersebut, serta akses sanitasi yang tidak memadai dan tidak merata bagi perempuan dan penyandang disabilitas.
Harnaaz mengingatkan, bahwa perempuan tidak selalu memiliki akses ke produk menstruasi yang aman dan higienis, atau pengetahuan atau pendidikan tentang cara mengatur menstruasi mereka. Ini juga dikenal sebagai period poverty.
Period poverty adalah masalah global mengingat di beberapa daerah dan negara, banyak anak perempuan bahkan berhenti sekolah karena mereka tidak tahu bagaimana mengatur siklus menstruasi mereka di depan umum. Untuk mengatasi hal itu, Harnaaz menegaskan pentingnya masyarakat harus melawan stigma seputar menstruasi dan membantu mendidik perempuan dan berikan menyediakan produk menstruasi.
“Kami tidak bisa melakukan ini sendirian, laki-laki juga harus mendukung tujuan ini, kalau tidak, istri, saudara perempuan, ibu, dan teman mereka tidak akan berhasil,” kata Harnaaz.
Stigma dan Mitos Seputar Menstruasi
Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Plan Indonesia mengatakan, sebagai organisasi mengupayakan MKM di Indonesia sejak 2015, mengamini bahwa banyak tantangan yang dihadapi oleh perempuan dan anak perempuan di Indonesia ketika mereka mengalami menstruasi.
Studi terakhir terkait menstruasi dari Plan Internasional Netherlands menunjukkan bahwa 54 persen responden di Indonesia percaya bahwa menstruasi harus dirahasiakan, sedangkan 13 persen lainnya tidak nyaman membicarakan menstruasi.
“Oleh karena itu, melalui diskusi dengan tokoh prominen, saya berharap semakin banyak kaum muda Indonesia yang lebih paham tentang tantangan-tantangan ini dan dapat menyuarakan urgensi MKM di komunitas mereka,” ujar Dini.
Dini menambahkan, kolaborasi multipihak untuk memastikan sosialisasi MKM yang lebih baik, terutama di tingkat sekolah, adalah hal yang sangat penting. Oleh karena itu, Plan Indonesia juga melaksanakan rangkaian kegiatan di antaranya melaksanakan lomba video promosi, lomba cerdas cermat dan talkshow terkait MKM di sekolah-sekolah di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat; dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Dalam diskusi ini, dua kaum muda membagikan cerita mereka tentang aktivisme terkait MKM. Alyasi, peer educator Urban Nexus project menyatakan masih sering mendengar berbagai mitos yang sering dikaitkan dengan menstruasi, salah satunya adalah tidak boleh keramas.
“Saya tentunya akan terus menyuarakan isu ini agar semakin banyak kaum muda bisa mematahkan mitos-mitos ini.”
Iryansyah, peer educator Urban Nexus project menambahkan, sebagai kaum muda laki-laki, dia percaya kesehatan dan kebersihan menstruasi bukan hanya urusan perempuan dan kaum muda laki-laki juga perlu dilibatkan. “Hal ini terutama karena masih banyak anak laki-laki yang suka salah persepsi tentang mitos menstruasi dan juga melakukan perundungan terhadap anak perempuan ketika mereka menstruasi.”
Tiara Nabila, Mahasiswi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, dalam Instagram Live MOSI.ID membeberkan saat ini tengah ramai tren anak perempuan pun menggunakan produk menstrual hygiene yaitu menstrual cup. Anehnya, masih banyak juga kasus-kasus para pengguna menstrual cup yang menemukan pengguna menstrual cup justru tidak mengganti menstrual cup lebih dari 7 hari.
Hal ini terjadi karena pengguna pembalut memang berbeda dengan menstrual cup. Bedanya, pembalut bisa membuat perempuan merasa basah dan tidak nyaman, berbeda dengan menstrual cup yang tidak menimbulkan perasaan basah.
“Ini yang bisa menyebabkan kelainan dan penyakit, ini efeknya juga ada kemalasan dan lupa mengganti,” tutur Tiara.
Sebagai pengguna menstrual cup, Tiara juga menampik mitos lain tentang menstruasi adalah mitos robeknya selaput dara ketika memakai menstrual cup. Padahal, selaput dara bisa robek atau berlubang, bahkan tanpa menggunakan menstrual cup. “Jadi masih marak juga stigma, kalau ada memasukkan apapun ke organ vital, akan menyebabkan perempuan tidak perawan, selaput daranya sudah terlanjur robek,” sambung Tiara.
Pentingnya Tata Kelola Sampah Sanitasi
Dikutip dari situs halodoc.com, diperkirakan setiap perempuan menghabiskan 10.000–15.000 pembalut seumur hidupnya. Sementara, pembalut bukan jenis sampah yang mudah terurai.
Oleh karena itu, sebagai mahasiswi Ilmu Lingkungan, Tiara juga mengingatkan bahwa di tengah masalah mitos dan stigma yang bertebaran, di Indonesia juga masih harus berjibaku dengan problem lingkungan hidup akibat sampah produk menstruasi.
“Hampir 90 persen lebih produk menstrual pads itu memakai komponen plastik. Menstrual cup juga memakai plastik. Nah, makanya kita bisa hitung seberapa banyak pembalut sekali pakai yang menumpuk setelah digunakan,” tuturnya.
Tak hanya plastik, komponen pembalut juga mengandung klorin alias bahan kimia pemutih. Artinya ada banyak kandungan lain yang mempengaruhi lingkungan jika tidak ada penanganan komprehensif untuk menjaga kesehatan tubuh dan lingkungan.
Dia juga menegaskan, tidak ada perusahaan pembalut yang punya mekanisme daur ulang pembalut. Apalagi, seharusnya pembalut bekas pakai untuk menstruasi masuk dalam jenis sampah medis, atau sampah B3. Artinya, sampah bekas pembalut tidak bisa diperlakukan seperti sampah plastik biasa.
“Kita kan tidak tahu, sampah bekas pembalut itu ada darahnya. Kita tak tahu, darahnya orang yang sehat, atau tidak sehat,” sambung Tiara.
Di lain pihak, menstrual cup yang berbentuk cawan fleksibel terbuat dari silikon dan karet lateks dengan ujung meruncing sebagai pegangan untuk menariknya keluar dari vagina. Cara kerja produk ini memang tidak seperti pembalut ataupun tampon yang menyerap darah menstruasi, melainkan menampungnya. Bahan menstrual cup dianggap cukup aman untuk berada di dalam vagina.
Untuk memakainya, seseorang cukup melipatnya dan memasukkannya ke dalam vagina sampai yang tersisa hanya ujungnya saja. Ada beberapa teknik pemakaian, mulai dari dimasukkan sambil berdiri atau jongkok, tergantung kenyamanan pengguna. Saat mencoba, situs halodoc.com mengingatkan dalam artikel yang sama agar seseorang jangan tegang, dan harus rileks supaya serviks tidak mengencang saat memasukkan menstrual cup.
Umumnya, menstrual cup digunakan 3–4 jam. Namun ini sangat tergantung seberapa banyak darah menstruasi yang keluar. Artinya, bisa kurang dari 3 jam, seseorang harus mengganti menstrual cup. Kondisi tak bisa diduga ini juga yang membuat beberapa orang enggan beraluh menggunakan menstrual cup, karena tidak bisa melihat seberapa banyak darah menstruasi, tidak seperti saat menggunakan pembalut.
Dalam kondisi tersebut, Tiara mengingatkan agar masyarakat khususnya para perempuan agar menjaga kesehatan dan kebersihan kala menstruasi, serta perlu juga menjaga keseimbangan dan keamanan lingkungan.
“Karena kita sedang mengejar target SDG’s (Sustainable Development Goals) ini pasti sedang dikejar untuk sustainability, tapi upaya ini memang tidak murah. Ini mahal,” kata Tiara.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post