Ada banyak hal yang bisa memicu kesedihan, bahkan hingga stres. Mulai dari skala kecil hingga besar. Dari yang terdekat hingga yang jauh di belahan dunia sana. Contohnya; menyaksikan berita kekerasan hingga memicu kesedihan.
Apalagi, di kehidupan yang modern ini, semua berjalan serba cepat dan relasi antara manusia terus berubah. Bebrbagai tekanan dan tuntutan bermunculan, sperti dari keluarga, peer, dan lingkungan sosial.
Derasnya informasi, penetrasi melalui media sosial juga sangat berpengaruh pada kesehatan mental dan dapat memicu kesedihan hingga stres. Namun, larut dalam kesedihan bisa berbahaya.
Dalam kondisi serba ‘semrawut’ penting sekali melakukan manajemen stres. Survei World Happiness Report 2023 yang diadakan oleh Gallup, Oxford Wellbeing Research Centre, UN Sustainable Development Solutions Network, dan WHR Editorial Board menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-84 dari 137 negara dalam hal kebahagiaan, dengan skor 5,3 dari 10.
Founder HappySelf, Coach Pris mengungkapkan pentingnya menciptakan kebahiaan di mana pun berada. Namun, untuk menuju kebahagiaan, seseorang harus mengenal diri sendiri.
Saat seseorang memahami siapa dirinya, termasuk kekuatan, kelemahan, nilai-nilai, dan tujuan hidupnya, mereka dapat membuat keputusan yang lebih selaras dengan kebutuhan batin mereka.
“Kita harus mengenal diri kita sendiri agar mengetahui apa yang paling cocok untuk diri kita dalam mencari kebahagiaan.”
Seseorang akan merasakan kepuasan yang mendalam ketika mengenal diri sendiri. Sebab, tindakan dan pilihan hidup akan lebih sesuai dengan jati diri sejati. Selain itu, dengan mengenali diri sendiri, seseorang dapat mengelola emosi dengan lebih baik, meningkatkan hubungan interpersonal, dan membangun resiliensi dalam menghadapi tantangan hidup.
“Semua faktor ini berkontribusi signifikan terhadap pencapaian kebahagiaan yang lebih autentik dan berkelanjutan,” kata Pris.
Namun, untuk bisa mengenal diri sendiri kadang membuat bingung. Founder Wacaku, M. Abdurrahman Wahyu membagikan tips agar bisa mengenal diri sendiri.
“Memahami banyak hal, termasuk diri sendiri. Ini bisa mulai dari membangun kebiasaan membaca dan menulis,” ujar Wahyu.
Ia juga menyarankan metode mendengarkan dan melakukan dialog dengan diri sendiri. Sekalipun tidak mudah, tetapi hal tersebut perlu menjadi sebuah kebiasaan agar seseorang memahami diri dan tujuan hidupnya.
“Sehingga merasa bahagia dengan dirinya,” kata Wahyu.
Proses mencari dan mencapai kebahagiaan akan berhadapan dengan berbagai penghalang yang ada. Hal ini merupakan sebuah tantangan bagi setiap pejuang kebahagiaan.
Wahyu mengatakan penghalang tersebut sering terjadi justru adalah orang-orang terdekat atau keluarga. Apalagi jika hubungan antar anggota keluarga tidak harmonis.
Tekanan dari ekspektasi yang tidak realistis, konflik berkepanjangan, atau kurangnya komunikasi yang sehat dapat menyebabkan stres emosional dan perasaan tidak terpenuhi.
Selain itu, kata Wahyu, ketergantungan emosional yang berlebihan atau sikap over-protective dapat menghambat individu untuk berkembang dan
menemukan kebahagiaan sesuai dengan keinginan dan nilai-nilai pribadinya.
“Situasi-situasi ini dapat menciptakan lingkungan yang kurang mendukung bagi pertumbuhan emosional dan kesejahteraan mental,” tuturnya.
Belajar dari Para Pendahulu
Menciptakan kebahagiaan juga bisa dengan belajar dari orang-orang terdahulu. Head of Coalition & Outreach Pijar Foundation, Alfianda Karuza, mengutip ungkapan berikut, “Our parents’ ceiling is our floors.” Pencapaian dan batas tertinggi yang dicapai oleh generasi sebelumnya (orang tua) menjadi titik awal bagi generasi berikutnya (anak-anak).
“Ungkapan ini mencerminkan proses perkembangan antar generasi, di mana orang tua berusaha untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak mereka, baik dari segi materi, pendidikan, maupun pengalaman hidup,” kata Alfianda.
Dia berpendapat setiap generasi dapat mewarisi pelajaran, nilai, dan peluang yang memungkinkan mereka mencapai kesejahteraan lebih tinggi.
Dengan kata lain, orang tua yang telah bekerja keras untuk mengatasi tantangan dan membangun fondasi yang kuat akan memberikan anak-anak mereka kesempatan untuk memulai dari posisi yang lebih baik. Sehingga mereka dapat fokus pada pencapaian kebahagiaan yang lebih mendalam, dan kesehatan mental yang lebih baik.
“Ini juga menggarisbawahi pentingnya membangun keseimbangan emosional dan mental yang sehat dari generasi ke generasi, agar setiap individu dapat tumbuh dalam lingkungan yang lebih mendukung,” ucapnya.
Penulis: Ningsih
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post