Sekelompok organisasi peduli hak anak dan remaja menyerukan rekomendasi pelarangan iklan, promosi, dan dukungan sponsor produk tembakau di media penyiaran. Seruan larangan ini diharapkan ampuh untuk mencegah anak dan remaja jadi perokok.
Hal itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat Komisi I DPR RI bersama sejumlah organisasi peduli hak anak dan remaja, antara lain Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komite Nasional Pengendalian Tembakau, dan Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau. Rapat dengar pendapat membahas masukan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan berlangsung Senin (24/2/2020), di Jakarta.
Pengurus Komite Nasional Pengendalian Tembakau Nina Mutmainnah mengatakan, pelarangan promosi zat adiktif telah diatur di pasal 46 ayat (3) huruf (b) UU No 32/2002. Akan tetapi, isi pada pasal 46 ayat (3) huruf (c) dianggap berlawanan karena hanya melarang promosi iklan rokok yang memeragakan wujud rokok.
“Rokok mengandung zat adiktif, maka rokok tidak lagi boleh diiklankan ataupun dipromosikan dalam bentuk apapun, baik langsung maupun tidak, seperti kegiatan lembaga yang berafiliasi dengan produk tembakau,” ujar dia.
Nina menegaskan, sikap Komite Nasional Pengendalian Tembakau yang melarang iklan, promosi, dan dukungan sponsor rokok secara komprehensif sebenarnya tidak hanya berlaku untuk media penyiaran. Produk tembakau sebagai zat adiktif tanpa diiklankanpun mampu menggaet banyak pengguna.
Mayoritas iklan rokok dengan segala pengemasannya ditujukkan untuk anak dan remaja. Mereka dijadikan perokok pengganti bagi mereka yang berhenti merokok karena berbagai alasan, seperti sakit dan wafat.
Menurut Nina, seruan seperti ini sebenarnya sudah pernah dilakukan ketika pembahasan revisi UU No 32/2002 pada DPR periode sebelumnya. Namun, perjalanannya tidak sesuai harapan.
“Isi pelarangan sudah tertulis saat draft dibahas di Komisi I DPR. Namun, isi itu tidak ada ketika draft revisi UU No 32/2002 sampai ke Baleg,” tutur dia.
Paparan iklan rokok
Ketua Tobacco Control Sport Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI ) Sumaryati Aryoso menyampaikan, berdasarkan riset TCSC-IAKMI, anak dan remaja usia di bawah 18 tahun terpapar iklan rokok (85 persen), spanduk (76,3 persen), papan iklan (70,9 persen), internet (45,7 persen), dan radio (17,4 persen). Anak dan remaja yang terpapar iklan rokok di televisi berpotensi jadi perokok sekitar 2,24 kali lebih besar dibanding mereka yang tidak. Sementara bagi anak dan remaja yang terpapar iklan rokok di internet berpotensi jadi perokok 1,5 kali lebih besar dibanding mereka yang tidak.
Dia mengemukakan, pihaknya mendorong agar iklan rokok dilarang di media penyiaran. Rokok yang mengandung zat adiktif disamakan dengan alkohol yang memang tidak boleh diiklankan. Di berbagai negara, iklan rokok sudah dilarang dan gambar dampak buruk merokok di kemasan pun besar. Hal itu bertujuan melindungi anak dan remaja.
“Visi presiden adalah mencetak sumber daya manusia unggul. Ini harus didukung,” ujar Sumaryati.
Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Herry Margono mengatakan, P3I telah mempunyai etika pariwara Indonesia yang salah satu asasnya adalah mendorong iklan harus jujur, benar, dan bertanggung jawab. Asas lain yang dijunjung tinggi adalah pelaku bisnis harus bersaing sehat.
Di kalangan pelaku biro periklanan biasa mengenal praktik pemilik merek memasang iklan langsung ke media dan tidak melalui jasa biro. Praktik seperti ini yang susah dipantau. Sementara etika pariwara Indonesia berada di bawah langsung P3I.
“Pada perkembangan pasar iklan seperti sekarang, ada iklan merek produk tertentu yang memang datang dari luar negeri. Dengan kata lain, iklan tersebut tidak dibuat oleh anggota P3I,” kata dia.
Anggota Komisi I DPR RI dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Charles Honoris, berpendapat, konten di platform digital berkembang pesat dibanding media konvensional, seperti televisi dan radio. Dia berharap, produksi konten seperti itu semestinya turut jadi pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Komisi Penyiaran Indonesia, bukan sekadar peredaran isinya.
Target 2020
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Bambang Kristiono mengatakan, segala masukan pengaturan iklan selama rapat dengar pendapat kemarin bermanfaat bagi Komisi I untuk menyusun naskah akademik ataupun draf revisi UU No 32/2002. Keputusan substansi akan melalui proses diskusi kolektif.
Revisi UU No 32/2002 telah dibahas oleh DPR selama dua kali periode, tetapi tidak kunjung diketuk. Bambang menduga, prosesnya diisi banyak kepentingan. Dia berharap, kejadian seperti itu tidak terulang pada DPR periode 2019-2024. Komisi I DPR sepakat agar revisi selesai tahun 2020, meskipun pembahasan mulai dari awal.
“Segala hal yang pernah dibahas pada dua periode DPR lalu menjadi acuan. kami bekerja keras agar sebisa mungkin memasukkan kepentingan yang ada, kemudian meramunya sehingga produknya akan lebih baik dari hasil rancangan sebelumnya,” katanya.
SUMBER: Kompas.id
PENULIS: MEDIANA
Discussion about this post