Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis
No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis
No Result
View All Result
Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis

Mendesak Pengendalian Rokok Elektronik

Penggunaan rokok elektronik dipastikan berbahaya bagi kesehatan.

by MF Djamal
Thursday, 11 January 2024
A A
Mendesak Pengendalian Rokok Elektronik

Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto ketika menjelaskan Hasil Kajian dan Studi Klinis Rokok Elektronik di Indonesia, di Jakarta, Selasa (9/1/2024) lalu. (Sumber foto: MF Djamal/2023)

BacaJuga

KEMERDEKAAN PERS: Dari Babi ke Tikus, Demokrasi Makin Terancam

LBH Pers dan AJI Jakarta Kecam Intimidasi kepada Bocor Alus Politik

 Jakarta, Prohealth.id – Banyak persepsi keliru mengenai rokok elekronik. Disebut lebih tidak adiktif dan tidak menyebabkan kanker. Padahal rokok elekronik sama-sama berbahaya bagi kesehatan seperti halnya rokok konvensional.

 

Rokok elektronik sama-sama memiliki kandungan zat berbahaya seperti halnya rokok konvensional. Oleh karena itu pemerintah perlu membatasi bahkan melarang penggunaan rokok elektronik. Selain itu, rokok elektronik bukanlah metode terapi untuk berhenti merokok.
Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menegaskan hal itu ketika menjelaskan Hasil Kajian dan Studi Klinis Rokok Elektronik di Indonesia, di Jakarta, Selasa (9/1/2024) lalu. Menurutnya, banyak persepsi keliru mengenai rokok elektronik yang berkembang di masyarakat. Salah satunya, rokok elektronik tidak mengandung tar, zat kimia partikel padat pemicu tumbuhnya sel kanker pada tubuh. Padahal fakta sesungguhnya kandungan zat berbahaya pada rokok elektronik sama dengan rokok konvensional.
Rokok elektronik, lanjut Agus, mengandung beberapa zat berbahaya bagi kesehatan seperti nikotin, karsinogen, bahan toksik lain yang dapat menimbulkan iritatif dan induksi inflamasi. Selain itu, rokok elektronik berpotensi menimbulkan gangguan pada sistem jantung dan pembuluh darah, gangguan paru, hingga kanker. Dampak rokok elektronik tidak hanya mengancam perokok tetapi juga orang-orang di sekitar (perokok pasif), berdasarkan berbagai hasil penelitian di lndonesia maupun luar negeri.
Agus mengungkapkan pernah menangani pasein yang mengalami gangguan paru akibat penggunaan rokok elektronik. Pasien mengalami keluhan sesak napas dan batuk-batuk selama 3 minggu, demam, dan batuk ada bercak darah sedikit. Saat pemeriksaan, pasien ternyata menggunakan vape dalam 3 bulan terakhir, dan tidak ada riwayat tuberkulosis dan asma. Dokter mendiagnosis pasien tersebut mengalami radang paru (pneumonia). Setelah menjalani rawat jalan dan pengobatan, keluhan kesehatan paru yang dialami berangsur-angsur hilang dan membaik.
Agus juga menemukan kasus pasien asma karena rokok elektronik. Pasien mengeluhkan sesak napas dan batuk-batuk sejak 3 minggu dengan tidak ada riwayat tuberkulosis dan asma. Namun pasien menggunakan vape selama 2 tahun lebih dan juga mengonsumsi rokok konvensional kurang dari 2 tahun. Saat dilakukan foto rontgen dada, ada tampak emfisematous. Pasien didiagnosis suspek asma. Setelah mendapat obat dan rawat jalan, dokter menyatakan pasien sudah sembuh.
Agus menegaskan dampak negatif rokok elekronik sudah nyata terjadi. Ini membuktikan sama-sama berbahaya untuk kesehatan dan menimbulkan adiksi. “Dengan demikian, perlu upaya pelarangan penggunaan rokok elektronik. Jika tidak bisa dilarang, rokok elektronik harus dikendalikan secara tegas sesuai rekomendasi yang telah dikeluarkan WHO,” ujarnya.
Urgensi Aturan dari Pemerintah
Menurut Agus, aturan yang tegas mengenai pengendalian rokok elektronik sangat mendesak. Terlebih lagi, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang di dalamnya mengatur rokok elektronik. Ia berharap agar aturan turunan dapat segera terbit dengan memuat  ketentuan yang lebih tegas dan detil mengenai pengendalian rokok elektronik. Di antaranya peringatan bahaya kesehatan pada kemasan rokok elektronik, peredaran rokok elektronik, serta pengaturan iklan dan promosi rokok elektronik.
Agus meminta pemerintah segera mengendalikan rokok elektronik secara serius, mengingat saat ini terjadi peningkatan jumlah perokok elektronik terutama di kalangan anak muda. Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) pada 2016 menunjukkan, prevalensi perokok elektrik pada remaja usia 10-18 tahun sebesar 1,2 persen. Jumlah itu meningkat menjadi 10,9 persen pada 2018 menurut data Riset Kesehatan Dasar.
Prevalensi pengguna rokok elektrik di Indonesia pun meningkat secara signifikan. Mengutip data dari Statista pada Januari-Maret 2023, Indonesia menempati peringkat pertama pengguna rokok elektrik di dunia. Tercatat setidaknya 25 persen masyarakat Indonesia pernah menggunakan rokok elektrik. Itu lebih tinggi dari Swiss (16 persen), Amerika Serikat (15 persen), Inggris (13 persen), dan Kanada (13 persen).
Sedangkan Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) di Indonesia menunjukkan prevalensi perokok elektrik pada 2011 sebesar 0,3 persen, sementara pada 2021 prevalensi perokok elektrik meningkat 10 kali lipat menjadi 3 persen.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Bagikan:
Tags: Bahaya Rokok Elektriklimbah elektronikRokok Elektrikrokok elektronik

Discussion about this post

https://www.youtube.com/watch?v=ZF-vfVos47A
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.

No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.