Pekan Kesadaran Penyakit Jantung Bawaan (PJB) atau akrab dikenal Congenital Heart Disease Awareness Week menjadi saat yang tepat bagi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PP PERKI) mensosialisasikan pentingnya deteksi dini pada bayi dan anak yang menderita PJB.
Menurut dr. Bayushi Eka Putra, Sp.JP, FIMA, Dokter Spesialis Jantung yang praktik di RSUD Berkah Pandeglang dan RS St. Carolus Summarecon Serpong, PJB memerlukan deteksi dini karena faktor risiko yang besar sebagai penyakit genetik atau keturunan. Artinya, seseorang punya risiko menderita PJB jika dalam keluarga seperti orang tua, kakek-nenek, atau saudara kandung menderita PJB.
“Jadi ini multifaktor. Jadi kita tak bisa hanya mengandalkan kondisi gaya hidup sebagai assessment. Risiko orang punya PJB sungguh mengalami PJB itu 23 persen dari orang biasa,” terang dr. Bayu dikutip pada Minggu (26/2/2023), dari Instagram Live yang diselenggarakan PP PERKI.
Akibat dari deteksi dini penderita PJB yang terlambat, ada banyak temuan kasus jantung justru pada usia dewasa. Kondisi ini makin berisiko karena saat tumbuh dewasa ada komplikasi penyakit yang mungkin dialami.
Ada banyak penyebab PJB kurang mendapat perhatian. Pertama, faktor bahwa penyakit jantung yang lebih banyak terjadi adalah temuan jantung koroner. Hal ini dikarenakan jantung koroner masih menjadi salah satu penyakit yang paling membunuh dan sangat berbahaya. Meski demikian, masalah penyakit jantung tak hanya jantung koroner. Sebut saja misalnya; PJB dan gagal jantung.
“Ada beberapa gejala PJB yang bisa dikenali misalnya nyeri dada sampai sesak napas. Masalahnya, penyakit ini memang tidak mudah membedakannya dengan penyakit lain. Akhirnya ketika bergejala, pasien datang ke dokter umum dulu,” sambungnya.
Cara membedakan lainnya adalah bisa melalui kapan gejala tersebut dialami berdasarkan usia. Misalnya; pada usia awal 60-70 tahun baru terdeteksi PJB, bisa jadi itu bukan penyakit yang sifatnya genetik. Sebaliknya, jika deteksi dini dialami pada usia 23 tahun atau usia muda, maka bisa saja penyakit jantung tersebut adalah PJB dan bersifat genetik.
Secara lebih rinci, Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah dr. Valerinna Yogibuana, Sp.JP(K), di Rumah Sakit Baptis Batu mengatakan penyakit jantung bawaan sebagai kelainan yang diturunkan secara genetik, bisa dideteksi sejak dalam kandungan. Adapun kelainan sejak dalam kandungan ibunya, terlihat dengan adanya masalah deformitas yakni struktur dalam jantung, ruang jantung, katup, atau pembuluh darah yang tidak normal.
“Jadi, PJB ini akan tampak saat bayi dilahirkan. Maka dia [bayi penderita PJB] akan mengalami gejala yang mengalami penyakit jantung bawaan. Kelainan anatomi jantung ini yang membuat jantung mengalami gangguan fungsi,” tuturnya.
Lebih lanjut, dr. Valerinna menjelaskan bahwa prevalensi PJB di Indonesia juga cukup tinggi. Pasalnya, 1 dari 100 bayi ada penyakit jantung bawaan, atau sekitar 40.000 bayi yang baru lahir setiap tahun memiliki PJB. Bahkan, 25 persen dari bayi penderita PJB, atau sekitar 12.000 bayi dengan PJB menderita PJB kritis sehingga pasien ini membutuhkan penanganan cepat dalam minggu awal kehidupan.
“Secara garis besar ada 25 literatur membedakan penderita PJB. Namun kita bisa membedakan antara PJB biru dan yang tidak biru,” tuturnya.
Baik indikasi pasien PJB biru maupun yang tidak biru keduanya ada potensi mengalami peningkatan aliran darah ke paru atau banjir daerah ke area paru-paru.
Meski demikian patut diingat, lanjut dr. Valerinna, pasien PJB biru dan tidak biru keduanya bisa juga tidak menunjukkan gejala awal. Sebaliknya, bayi yang lahir biru terkadang juga belum tentu menderita PJB. Oleh karena itu, ketika bayi baru lahir dan mengalami biru, maka perlu diambil langkah dengan memberikan oksigen dan melihat angka saturasinya.
“Jika setelah diberi oksigen bayi tidak lagi biru berarti dia bisa jadi tak menderita PJB. Tetapi kalau masih biru dan saturasi oksigen rendah, ada kemungkinan bayi menderita PJB,” jelasnya.
Sebagai upaya preventif, menurut dr. Olfi Lelya, Sp.JP(K) selaku Staf Medik Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita menjelaskan cara mendeteksi bayi atau janin dengan risiko PJB bisa dilakukan pada usia kehamilan 18-22 minggu.
“Kalau usia janin terlalu muda, belum terlihat jelas. Sementara kalau diatas trimester ketiga, sudah ada tulang bayi yang akan mengganggu deteksi gambar menggunakan ultrasound. Jadi bukan tidak bisa, tetapi agak sulit,” terang dr. Olfi.
Meski begitu, selain memakai ultrasound berkat perkembangan ilmu teknologi kedokteran, janin bisa dideteksi memilki PJB atau tidak bahkan sejak usia 12 minggu kehamilan. Caranya, dengan menggunakan alat deteksi yang dimasukkan melalui vagina.
“Kita bisa tahu mau dari mana, penyakit apa yang diderita. Jadi aliran darah dari pembuluh darah besar itu masih ada.”
Setelah deteksi janin, dr. Olfi tetap mengingatkan agar ketika anak lahir, orang tua tetap perlu melakukan check kembali. Apalagi bagi anak dengan risiko besar mengalami PJB, sebaiknya kembali di cek sebelum dewasa.
Deteksi dini ini penting mengingat selain risiko genetik, PJB juga bisa terjadi dalam kandungan dan bukan karena faktor turunan. Sebut saja contohnya; ibu yang memiliki riwayat autoimun lupus, ibu yang menderita diabetes, ibu yang merokok atau pernah merokok, ibu dengan riwayat kanker, atau ibu hamil yang menggunakan obat-obat stereoid dan menggunakan obat jangka panjang.
“Karena kadang perempuan menikah kan tahu-tahu sudah hamil setelah beberapa bulan baru diketahui. Sementara janin sudah tumbuh. Maka penting sekali melakukan skrining, penggunaan obat yang selama ini, termasuk usia ibu yang sudah berumur di atas 40 tahun bisa melakukan total echo,” terang dr. Olfi.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post