Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis
No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis
No Result
View All Result
Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis

Mendidik Mengasihi Ibu Pertiwi, Demi Keutuhan Ciptaan Bukan Sekadar Ekologis

by Ignatius Dwiana
Saturday, 15 November 2025
A A
Mendidik Mengasihi Ibu Pertiwi, Demi Keutuhan Ciptaan Bukan Sekadar Ekologis

Ilustrasi: Langkah mudah mengurangi plastik. (Sumber: Instagram Tarakanita)

Prohealth.id – “Perjalanan panjang yang penuh pembelajaran, tantangan, dan inspirasi.” Demikian tulis seorang siswa di situs sekolah ketika berupaya untuk memahami masalah lingkungan.

Hampir empat bulan lamanya dia belajar, berkreasi, dan berkontribusi, bareng kawan-kawannya siswa kelas 7. Dari Februari hingga akhir Mei 2025 lalu.

BacaJuga

Bagaimana Hak Menghirup Udara Segar dari Asap Rokok, Bila Industri Rokok tidak Dikendalikan?

Meningkatkan Daya Tahan dan Kesehatan Dengan Pengobatan Ala Korea

Tumpukan persoalan sampah, krisis plastik, hingga gaya hidup serba instan mendorong kesadaran ekologis dalam lembaga pendidikan. Pendidikan tidak lagi sekadar transfer pengetahuan akademis tetapi juga membangun karakter, kepedulian, dan spiritualitas sejak dini. Hal ini berlangsung dalam program “Sampahku Tanggung Jawabku” di SMP Santo Kristoforus I yang berada di bilangan Jakarta Barat.

Para siswa membuat peta pikiran (mind map) untuk memahami permasalahan sampah plastik dan merancang solusi kreatif. Kegiatan ini membuka wawasan bahwa memahami masalah adalah langkah awal untuk menciptakan perubahan nyata.

Bagaimana Membangun Komitmen?

Komitmen pribadi dibuat untuk mengurangi sampah plastik. Seperti mengganti botol plastik dengan tumbler, membawa sedotan stainless steel sendiri, menghindari penggunaan styrofoam, dan menggunakan tas belanja kain (tote bag).

Setiap pekan, para siswa mengikuti berbagai kegiatan edukatif seperti menonton video tentang bahaya sampah plastik, mempelajari pembuatan ecobrick, hingga mendesain poster kampanye pengurangan sampah plastik.

Tidak semua berjalan mulus. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah konsistensi membawa tumbler sendiri. Beberapa masih menggunakan botol plastik sekali pakai.

Alih-alih menyerah. Mereka mengubah kesalahan dengan kontribusi yang positif. Botol plastik yang digunakan kembali diolah menjadi ecobrick seperti dikutip dari situs Sekolah Katolik Santo Kristoforus. Dari sini siswa belajar bahwa setiap langkah, meski tidak sempurna, tetap berarti.

Selain wawasan baru, pengertian diperoleh bahwa kebiasaan kecil seperti membawa tumbler dan memilah sampah bisa membawa dampak besar bagi lingkungan.

Namun program kepedulian lingkungan dan pengelolaan sampah bukanlah hal baru. “Sebetulnya kegiatan ini sudah dilakukan sebelum 2020,” ungkap Kepala Bagian Pendidikan Sekolah Santo Kristoforus Oskar Raja ketika diwawancara Pro Health.

Pendidikan lingkungan dan pengelolaan sampah bukanlah sekadar program insidental atau kegiatan satu kali. Tetapi “ini sudah menjadi kebiasaan di sekolah-sekolah kami.”

Sekolah Santo Kristoforus dirancang untuk mengajarkan kemandirian, bertanggung jawab, dan tentunya peduli terhadap alam. Program ini selaras dengan nilai-nilai spiritual Gereja Katolik dan ensiklik Paus Fransiskus “Laudato Si” yang mengajak untuk peduli kepada alam.

“Ensiklik Paus tentu saja menguatkan praktek baik yang sudah kami lakukan sejauh ini untuk mendidik dan melatih siswa,” ucapnya.

Namun, dalam menumbuhkan kesadaran ini membutuhkan peran penting orang tua juga sebagai mitra terdekat sekolah. Pihak Santo Kristoforus berharap pembelajaran yang diperoleh ini dapat diteruskan dalam karya para siswanya nanti dan memiliki dampak yang lebih luas sementara lembaga pendidikan itu terus mendorong agar nilai-nilai kesadaran dan kepedulian atas lingkungan terus tumbuh.

Peran Strategis Lembaga Pendidikan

Sekolah memiliki peran penting dalam membentuk karakter generasi muda di tengah meningkatnya persoalan lingkungan dan sampah plastik.

Menurut pengamatan Maria Chris Lievonne, sekolah memiliki kekuatan besar seperti dalam membentuk perilaku bijaksana penggunaan plastik. Hal ini terjadi karena sekolah menciptakan komunitas yaitu ruang organik tempat nilai, kebiasaan, dan kepedulian tumbuh bersama. Ruang persemaian kesadaran ekologis ini dapat membawa perubahan jangka panjang.

Nilai-nilai gereja, termasuk “Laudato Si”, berkontribusi memperkuat kesadaran ekologis di sekolah. Kegiatan berkebun hingga bersih-bersih lingkungan kini menjadi praktek umum di banyak sekolah dan membangun hubungan emosional dan spiritual siswa dengan alam.

“Ini tercermin dengan mulai diadaptasikannya kegiatan berkebun ataupun kegiatan lingkungan lainnya yang mulai lumrah dilaksanakan di sekolah-sekolah,” jelas Pengurus Perkumpulan Pemerhati dan Peduli Lingkungan Hidup (Pepulih) periode 2020 – 2024 ini.

Sejumlah upaya baik sudah dilakukan di sekolah tetapi bukannya bebas hambatan. Karena jajanan dibungkus plastik sangat mudah ditemui di sekitar sekolah. Sementara budaya “simpan sampah hingga menemukan tempat sampah” belum menjadi kebiasaan umum. Membangun kesadaran ini tidak bisa instan. Dibutuhkan konsistensi, keteladanan, dan dukungan multi pihak.

Praktek Ramah Lingkungan?

Inovasi teknologi terkait lingkungan berkelanjutan pun hadir di tengah pertumbuhan kesadaran ekologis. Reverse Vending Machine (RVM) untuk pengumpulan sampah wadah plastik dianggap memfasilitasi upaya pengurangan sampah plastik, menumbuhkan kebiasaan daur ulang sejak dini, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Meski terkesan bagus namun mesin pengumpul ini hanya sebatas tren.“Penggunaannya belum merata dan upaya yang belum optimal,” tutur perempuan yang akrab disapa Ivon ini.

Gempuran berbagai program daur ulang hadir dengan gaya apik lewat RVM. Menjanjikan insentif hingga hadiah menarik. Namun upaya itu dinilai justru bertentangan dengan pendidikan.

Berbagai inisiatif itu datang akibat bentuk kepanikan kolektif menghadapi gunungan sampah. “Kalau saya pribadi itu sebuah upaya ya bisa,” ujar Paula Ruliati Puji Lestari dengan nada tidak menolak tetapi tidak sepenuhnya setuju.

Paula Ruliati Puji Lestari (Sumber : Ignatius Dwiana)

Mantan Kepala Sekolah di SD Tarakanita ini melanjutkan,“Mungkin karena pemerintah, komunitas, saking bingungnya mencari strategi. Menurut saya, oke-oke saja sih. Tetapi kalau di lembaga pendidikan ya jangan.”

Ada filosofi yang lebih mendalam di balik tren eco-lifestyle yang marak. Dia merefleksikan itu dengan konsep “Minim Sampah” yang strateginya berpijak pada “Tiga Pintu”. “Pintu depan” adalah pantang plastik dan styrofoam. “Pintu tengah” adalah menggunakan kembali barang dan memperpanjang usia pakai. “Pintu belakang” itu daur ulang jika tidak ada pilihan lain.

“Daur ulang itu ada di pintu belakang,” terang perempuan yang akrab disapa Ruli ini. “Sedangkan sekolah harus mulai dari pintu depan untuk membentuk kesadaran dan karakter.”

Istilah “pintu belakang” dan “pintu depan” yang digunakan Ruli menjadi kunci. Menurutnya, “pintu belakang” adalah saat sampah sudah terlanjur menjadi limbah untuk dicari cara menanganinya seperti menjadikannya bahan daur ulang. Sementara “pintu depan” adalah pendidikan dan kesadaran agar sesuatu tidak menjadi sampah sejak awal.

“Yang penting itu jangan sampai menjadi sampah,” ujarnya dalam logat Jawa yang hangat. “Sebisa mungkin kita mengupayakan supaya barang itu tetap bisa digunakan. Jadi tidak langsung jadi sampah.”

Kepala Biro Umum Yayasan Tarakanita ini mengaku pernah beberapa kali ditawari kerja sama tetapi tawaran itu ditolaknya. Penolakan itu bukan ketertutupan melainkan dia ingin tetap konsisten pada pendekatan edukatif. Yakni belajar dari sumbernya dengan belajar mengurangi. “Pintu depan edukasi itu sebenarnya yang penting,” tegas Ruli.

Pendidikan tentang kesadaran, tentang menghargai barang, tentang memperlambat siklus buang, itulah upaya sejati menjaga Bumi. Jalan keluar datang dari kesadaran dengan mengelola kebiasaan sendiri. “Barang itu jangan buru-buru dijadikan sampah.”

Tidak hanya RVM, Bank Sampah juga bisa berpotensi bertentangan dengan semangat. Meski wajah “hijau” membuat sekolah yang diampunya menerima penghargaan Adiwiyata tetapi menyelami makna terdalam lebih ditekankan.

Sebab Bank Sampah ternyata juga tidak selalu sejalan dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Tetapi malah menormalisasi produksi sampah dan daur ulang menjadi pembenaran untuk terus membeli dan membuang. Bank Sampah justru mengaburkan makna mengurangi sampah sejak awal. Walau sudah berjalan beberapa tahun dan diresmikan Wali Kota pada akhirnya operasi Bank Sampah di sekolah dihentikan setelah dievaluasi.

Kesetiaan pada nilai spiritual untuk menjaga Bumi sebagaimana diajarkan dalam “Laudato Si” lebih utama bagi Tarakanita. Sementara “Adiwiyata itu sarana bukan tujuan. Kalau akhirnya justru membuat kami mengada-ada, ya tidak perlu. Yang penting adalah kesetiaan pada nilai.”

Ajakan minim sampah di Tarakanita ditumbuhkan pada siswa. Dengan membuat kompos dan membawa tumbler sendiri untuk mengisi air minum. Kantin sekolah juga dilarang memakai wadah plastik.

Namun keberpihakan spiritual pada alam bukan tanpa kendala. Karena siswa yang diajar memilah sampah dapat terjebak nilai ekonomi dari kehadiran Bank Sampah dan bukan untuk mengasihi alam. Semangat itu harus diluruskan.

Ketika siswa diajak membuat kompos organik maka tidak semua hasilnya dijual. Setengahnya harus dikembalikan ke tanah untuk menyuburkan tanaman di sekolah. “Itu bentuk syukur,” kata penerima penghargaan Kalpataru pada 2016 tingkat Provinsi ini. “Kita menerima dari alam maka sebagian harus kita kembalikan. Itulah prinsip menjaga keutuhan ciptaan.”

Lingkungan Sehat Juga Tanpa Rokok

Larangan merokok juga berlaku tegas di area sekolah. Baik siswa, orang tua, guru, maupun staf lain di lembaga pendidikan tersebut.

Jalan untuk menjadi bebas rokok dimulai pada 2012. Ini tidak mudah sebab merokok sebelumnya dianggap hal lumrah. Mengubah itu sulit sekali. “Bahkan guru dan satpam masih merokok di pojok sekolah,” kenang Ruli.

Namun Yayasan Tarakanita mengambil sikap tanpa kompromi bahwa rokok harus hilang dari lingkungan pendidikan. Peraturan itu akhirnya tidak sekadar membuat area sekolah ramah lingkungan tetapi juga sehat tanpa asap rokok.

“Suami saya dulu perokok,” ungkapnya dengan tersenyum ketika sekilas menceritakan menemukan jodoh di Tarakanita. “Karena di sekolah tidak bisa merokok seharian, lama-lama dia berhenti total.”

Wajah sekolah kemudian menjadi benar-benar “zero rokok”. Para siswa pun aktif menjadi “penjaga kawasan”. Ketika ada sopir, tamu, atau orang tua yang kedapatan merokok maka para siswa akan menegur mereka dengan sopan.

Memahami Jeritan Ibu Bumi

Perjalanan Ruli di Tarakanita sudah empat dekade. Berpindah dari Magelang, Jawa Tengah, hingga hijrah ke Jakarta. Semangatnya menumbuhkan spiritualitas para siswa sejak 2005 usai mengkaji hasil kapitel Kongregasi Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus atau yang dikenal sebagai Suster CB (Carolus Borromeus).

Hasil kapitel itu menekankan ekofeminisme yang memandang Bumi sebagai sosok Ibu yang perlu dirawat dengan penuh kasih dan bukan dieksploitasi. Uraian itu terus terpatri dalam ingatannya. “Dari situ saya sadar, mengajar lingkungan bukan sekadar soal sampah, tetapi tentang keutuhan ciptaan.”

Aktivis gereja ini kemudian belajar seputar lingkungan melalui pelbagai jejaring lembaga pemerintah maupun komunitas. Hasil belajar itu lalu dia bawa ke Tarakanita yang merupakan karya pendidikan yang dikelola Suster CB.

Menurutnya, akar persoalan lingkungan juga merupakan krisis moral dan spiritual. Bukan hanya pada sampah atau plastik tetapi pada cara manusia merawat keutuhan ciptaan.

“Kalau kita membiarkan bumi rusak, kita sedang menciptakan ketidakadilan,” ujarnya. Kerusakan lingkungan memperparah penderitaan orang miskin dan menghancurkan damai. Karena itu kepedulian atas bumi harus menjadi gerakan pertobatan ekologis.

Ruli pun terlibat dalam tim penyusun modul pendidikan ekologis berbasis karya ensiklik Paus Fransiskus “Laudato Si” dengan Pastor Darmin Mbula dari Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK).

Modul ini nantinya menjadi “cantelan spiritualitas ekologis” yang menjiwai seluruh proses belajar mengajar. Di antaranya terkait keterampilan, refleksi, dan ekopraksis.

“Spiritualitasnya harus menyentuh. Apa sikap para siswa setelah mempelajari ini? Apa yang harus aku ubah dalam hidupku?” tutupnya.

 

Editor : Fidelis Satriastanti

ShareTweetSend

Discussion about this post

https://www.youtube.com/watch?v=ZF-vfVos47A
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.