Jakarta — Kewirausahaan menjadi kunci untuk membuka peluang yang lebih luas bagi komunitas disabilitas. Sektor ini memberikan kebebasan lebih bagi mereka untuk berinovasi dan mengembangkan usaha tanpa harus terhambat oleh regulasi atau batasan yang sering dihadapi dalam dunia pekerjaan yang formal.
Lebih dari 1,3 juta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia dimiliki atau dijalankan penyandang disabilitas. Hal ini menunjukkan besarnya potensi pasar dan kontribusi mereka terhadap perekonomian negara. Di samping itu untuk lebih memprioritaskan komunitas disabilitas dalam sektor usaha mikro dan kecil menjadi peluang bagi semua pihak.
Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman mengungkapkan upaya pemberdayaan penyandang disabilitas dalam kewirausahaan bukanlah tanpa rintangan. Ada sejumlah tantangan sangat besar yang dihadapi. Mulai dari akses perbankan yang terbatas, rendahnya literasi digital, hingga kurangnya dukungan dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang inklusif.
Dalam hal ini diperlukan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem yang mendukung kewirausahaan sehingga memberikan pelatihan, akses permodalan, dan pembukaan pasar yang lebih luas.
“Karena pada saat kita bicara tentang kewirausahaan, ini peluang untuk berkreativitas, berinovasi lebih luas dan bebas. Artinya jangan hanya sekedar melihat dalam konteks pekerjaan, akses pekerjaan. Tetapi ayo kita melihat kewirausahaan dalam momentum kesempatan kali ini,”kata dia dalam diskusi pada kegiatan Gebyar Perkumpulan Orang Tua Anak Disabilitas Indonesia (Portadin) 2025 dengan tema “Ekosistem Inklusi: Pendidikan dan Peluang Usaha Berbasis Disabilitas”.
Upaya Mewujudkan Kesempatan Setara
Lulusan Teknik Perminyakan ini turut menyoroti kisah inspiratif salah satu pemenang kompetisi UMKM yang mempekerjakan 30 orang disabilitas beberapa waktu lalu. Kewirausahaan bisa membuat lebih mandiri, produktif, dan mewujudkan afirmasi nyata bagi penyandang disabilitas.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian UMKM, berkomitmen terus mendorong penyandang disabilitas agar semakin banyak yang terlibat dalam kewirausahaan. Menurut Menteri Maman, solusi paling efektif untuk mendorong pemberdayaan ekonomi disabilitas adalah dengan menciptakan ekosistem kewirausahaan yang inklusif dan memberikan akses kepada mereka untuk berinovasi.
Semangat untuk mendukung ekosistem inklusif juga datang dari Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Dia membagikan perjalanan panjang pengesahan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016.
Perjuangan guna mewujudkan pendidikan inklusif dan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas tidaklah mudah. Bahkan ada perdebatan sengit terkait satu kata “harus” ketika pembahasan Undang-Undang tersebut.
“Harus ada pendidikan inklusif karena negara wajib memastikan setiap warganya memiliki akses, kesejahteraan, inklusif, dan tidak adanya diskriminasi,” tegas Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.
Tak Sekadar Niat Baik
Meskipun Undang-Undang yang mengatur tentang hak-hak disabilitas sudah hadir tetapi tantangan terbesar dalam implementasi. Bukan saja dari sektor ekonomi. Pendidikan inklusif dan aksesibilitas masih menjadi hambatan utama guna memperoleh keterampilan yang diperlukan di dunia usaha.
Ada sejumlah payung hukum yang menaungi komunitas disabilitas di Indonesia. Seperti Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak Disabilitas, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Tetapi Penasehat Portadin Siswadi Abdul Rochim menyebutkan keberadaan fasilitas pendidikan yang ramah disabilitas masih sangat terbatas. Rasio Sekolah Luar Biasa (SLB) terhadap jumlah kecamatan di Indonesia baru mencapai sekitar 2.366 SLB dari total 7.288 kecamatan. Artinya, setiap tiga kecamatan baru ada satu SLB, dan rasio terhadap desa atau kelurahan adalah 2.366 SLB dari 83.794 desa, dengan rata-rata satu SLB untuk setiap 35 desa. Fakta ini menunjukkan bahwa akses pendidikan khusus dan inklusif masih sangat terbatas.
Upaya pembangunan Sekolah Inklusi dan Sekolah Rakyat Inklusi diharapkan dapat menjadi solusi alternatif sekaligus mengatasi permasalahan keterbatasan jumlah SLB. Tantangan lainnya adalah memastikan kualitas dan keberlanjutan pendidikan inklusif ini agar anak-anak disabilitas tidak sekadar mendapatkan akses tetapi juga memperoleh pendidikan yang berkualitas.
Lebih dari sekadar pembangunan fasilitas, isu utama yang perlu mendapat perhatian adalah tenaga pendidik yang mampu menangani siswa inklusif serta pengembangan kurikulum yang adaptif dan fleksibel.
Kebijakan afirmatif telah ditetapkan kuota 2 persen untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) dan 1 persen untuk karyawan swasta. Kebijakan ini diharapkan memungkinkan penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak yang sama dalam dunia pekerjaan. Di samping itu ada potensi yang menanti untuk diberdayakan melalui jalur wirausaha.
Sementara Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyampaikan apresiasi yang besar kepada para orangtua yang tidak pernah menyerah untuk memastikan hak dasar anak-anaknya terpenuhi.
“Dalam keterbatasan anak, kita menemukan kekuatan luar biasa dari hati orangtua. Keteguhan hati Bapak Ibu adalah lentera yang menuntun anak-anak penyandang disabilitas menuju cahaya harapan,” ucap dia.
Negara sudah mengakui pentingnya perlindungan anak penyandang disabilitas melalui berbagai regulasi dan program. Kementerian Sosial contohnya, hadir bukan hanya sebagai pelaksana kebijakan tetapi sebagai sahabat perjuangan bagi Portadin dan seluruh keluarga penyandang disabilitas melalui tiga matra. Yakni perlindungan dan jaminan sosial, rehabilitasi sosial, serta pemberdayaan sosial ekonomi. Namun, kendala utama terletak pada implementasi dan partisipasi aktif semua pihak.
Editor : Fidelis Satriastanti

Discussion about this post