Universitas Gadjah Mada (UGM) menerapkan kebijakan kawasan bebas rokok melalui Peraturan Rektor Nomor 29 Tahun 2008. Kawasan bebas rokok adalah area yang melarang aktivitas merokok. Melalui pantauan dan rangkaian wawancara, kami melihat implementasi kebijakan kawasan bebas rokok yang berbeda-beda di tiap fakultas. Beberapa fakultas sangat ketat, tetapi beberapa fakultas masih cukup longgar terhadap penerapan ruang bebas rokok.
Ketatnya pengendalian rokok di FKKMK
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) merupakan salah satu fakultas yang sangat ketat menerapkan kawasan bebas rokok. Menurut pengalaman Azaqi Ananta Boga (FKKMK ’20), ia jarang menemui perokok di kawasan fakultasnya. “Mungkin karena basic-nya kami adalah sejawat di bidang medis dan kami bergerak di bidang pengendalian kesehatan. Oleh karena itu, di lingkungan kami ini memang sangat terbebas dari rokok,” papar Azaqi.
Ia juga menambahkan jika sejak awal masuk di FKKMK, ia dan rekan-rekannya didoktrin bahwa sebagai orang yang bergerak di bidang kesehatan, maka mereka tidak boleh membahayakan kesehatan diri sendiri.
Ketat, tetapi masih kecolongan
Fakultas Farmasi, yang berada tidak jauh dari kawasan FKKMK juga menerapkan kebijakan yang hampir sama terhadap pengendalian rokok. “Kalau sejauh yang saya tahu sih, upaya dari fakultas itu memang ada imbauan untuk tidak merokok di kampus,” ujar Inggita (Farmasi ’19). Ia juga menambahkan bahwa di lab dan ruangan juga tertulis dengan jelas tentang kawasan dilarang merokok.
Namun, karena sedang ada pembangunan gedung baru di Fakultas Farmasi dan melibatkan banyak pekerja dari luar, Inggita bercerita bahwa ia beberapa kali melihat para pekerja tersebut merokok di kawasan Fakultas Farmasi. Sedangkan, dari sivitas akademika Fakultas Farmasi sendiri, Inggita mengungkapkan jika ia belum pernah menemui sivitas akademika Fakultas Farmasi yang merokok di kawasan fakultas.
Ada yang cukup bebas
Di sisi lain, ada fakultas yang tidak terlalu ketat terhadap pengendalian rokok, salah satunya adalah Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Ketika ditanyai tentang seberapa sering melihat sivitas akademika FIB merokok, Daffa Iqbal Habibullah (FIB ’19) menyatakan bahwa sudah menjadi hal yang lumrah menemui perokok di kawasan FIB.
Tidak hanya di satu tempat tertentu, ia menyebutkan beberapa tempat yang biasa digunakan untuk merokok. “Biasanya di daerah bangku hitam, terus di bawah Jembatan Budaya, di depan perpus, kadang juga di Kandang Antro, kadang juga di Selasar Margono, kadang di Teras Sugondo,” ujarnya.
Sejumlah tempat yang tidak diperbolehkan merokok umumnya adalah ruang kelas dan ruangan ber-AC. Walaupun begitu, Daffa menuturkan bahwa tak jarang ia menemui orang yang merokok di dalam ruangan.
Masih ada kesempatan
Lain cerita dengan yang terjadi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis, fakultas ini ketat menerapkan kawasan bebas rokok. Salah satu perwujudannya adalah dengan meniadakan kawasan khusus merokok.
Penerapan kebijakan yang ketat, tak membuat perilaku merokok terhenti, Jeremy Pradhana Subiakto (Akuntansi ‘20) menyatakan bahwa walaupun fakultas meniadakan kawasan khusus merokok, banyak mahasiswa masih tetap merokok, tetapi ke tempat lain. “Kalau buat FEB sendiri itu memang nggak boleh merokok di dalam kampus ya. Jadi, kalau untuk tempat merokok juga nggak disediain, kalau kita mau merokok, kita harus ke Fisipol,” papar Jeremy. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa kebijakan di Fisipol cenderung lebih longgar daripada di FEB. “Iya (Fisipol lebih longgar terhadap rokok –red). Di Fisipol malah boleh ngerokok di mana- mana seingetku,” tambahnya.
Karena Fisipol bersebelahan dengan FEB, mahasiswa yang merokok biasanya akan pergi ke perbatasan antara FEB dan Fisipol—biasa disebut Lorong. Namun, sekarang Lorong itu sudah ditutup sehingga mahasiswa FEB yang ingin merokok tidak lagi memiliki tempat. “Sekarang, lorong itu ditutup, jadi nggak ada tempat (untuk merokok –red). Intinya, anak FEB, in short, kita nggak boleh ngerokok di mana-mana,” jelas Jeremy.
Perihal sponsor ternyata seirama
Keketatan pengendalian rokok memang berbeda di tiap fakultas, terutama terkait dengan kawasan khusus merokok. Namun, kalau masalah sponsor, semua fakultas kompak untuk tidak mengambil sponsor dari perusahaan yang berafiliasi dengan rokok. “Itu tidak mungkin karena memang, ya, komitmen kami ini tidak mau menggunakan, apalagi sponsor,” jelas Azaqi ketika ditanyai mengenai sponsor perusahaan rokok dalam kegiatan fakultas. Selaras dengan FKKMK, Inggita yang berasal dari Fakultas Farmasi juga menyatakan jika kegiatan fakultasnya tidak menerima sponsor dari perusahaan rokok.
Tidak hanya di kedua fakultas sebelumnya, dua fakultas lain, FIB dan FEB, juga menerapkan kebijakan yang ketat terkait hal ini. “Kalau kegiatan internal fakultas kayanya nggak boleh sih (menerima sponsor dari perusahaan rokok –red),” papar Daffa. Begitu juga dengan yang terjadi di FEB, Jeremy menyatakan bahwa FEB sangat ketat terhadap sponsorship, apalagi dari rokok. “Kalau di FEB itu kita strict banget sama sponsorship. Jadi, nggak boleh, sponsor rokok itu nggak boleh,” ujarnya.
Saran kebijakan
Terkait dengan ketidaksamaan penerapan pengendalian rokok di tiap fakultas, Ova Emilia, Dekan FKKMK, menyatakan jika pengendalian rokok yang ketat seharusnya tidak hanya diterapkan di FKKMK saja. “Untuk level di UGM mestinya itu secara tegas ada pengendalian untuk perilaku merokok ini. Kalau toh fakultas tidak mampu melakukan secara 100 persen, tetapi ya perlu diatur,” papar Ova. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa tidak hanya orang yang merokok, orang yang tidak merokok juga mempunyai hak untuk menikmati udara tanpa rokok.
Menurut Ova, jalan terbaik adalah memitigasi supaya perilaku merokok tidak mempengaruhi orang-orang yang tidak merokok. Salah satu cara yang dapat diterapkan adalah membuat tempat khusus untuk merokok. Tempat khusus ini seharusnya berbentuk ruangan dan tidak dibuat nyaman. “Jadi jangan dibuat nyaman itu adalah salah satu disinsentif,” ujarnya. Kalau dibuat nyaman, orang-orang justru akan betah berlama-lama di ruangan tersebut dan makin merasa senang. Jadi, tempat khusus merokok tersebut memang harus benar-benar dikhususkan untuk merokok, bukan untuk hal lain.
Sejalan dengan pernyataan dari Ova, Gumilang Aryo Sahadewo, Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Masyarakat, Kerja Sama, dan Alumni FEB, menyatakan jika penerapan kawasan bebas rokok perlu konsistensi antara fakultas satu dengan fakultas lain. Konsistensi ini diperlukan agar tidak ada orang-orang yang mengambil kesempatan dengan adanya ketidaksamaan penerapan di berbagai fakultas. “Kalau di satu kawasan itu betul-betul strict, kemudian di kawasan lain, misal di fakultas atau unit lain, itu tidak strict atau tidak konsisten, maka kemudian ada kesempatan untuk mereka itu merokok di kawasan-kawasan tersebut (kawasan yang tidak ketat –red),”.
Tidak hanya konsistensi, informasi dan kesadaran bahwa UGM merupakan kawasan bebas rokok juga kurang dipahami secara mendalam. Gumilang menganjurkan agar informasi mengenai hal ini digencarkan kembali. Selain itu, penegakan juga perlu dilakukan. Tidak hanya teguran, usaha lain yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan audit secara acak dan berkala. “Misalnya di hari acak yang dipilih dalam satu minggu, kemudian kita bisa melakukan inspeksi di daerah-daerah sekitar fakultas atau unit yang memang merupakan kawasan bebas merokok untuk memastikan bahwa tidak ada yang merokok atau tidak ada bekas kegiatan merokok yang bisa kita lihat,” papar Gumilang.
Beberapa harapan untuk kemajuan
Ke depannya, Ova berharap agar lingkungan kampus dapat menjadi contoh lingkungan yang sehat, salah satunya dengan pengendalian rokok yang baik. “Kita tahu bahwa mungkin 40 persen waktu dari mahasiswa, tendik, staf, ataupun dosen itu adalah di kampus. Apabila kampus itu, selama 40 persen dia berada di tempat yang tidak sehat, tentunya kita semua tidak sehat,” jelas Ova. Menurutnya, di sanalah peluang yang perlu dibenahi untuk menjadikan kampus dan lingkungan sehat.
Di sisi lain, Gumilang memiliki empat harapan. Pertama, ia berharap jika orang-orang menjadi semakin sadar akan kerugian merokok. Selain daari segi kesehatan, merokok juga bisa merugikan dari segi ekonomi. “Pengeluaran untuk merokok ini sebenarnya bisa dialihkan untuk pengeluaran lain yang bisa meningkatkan kualitas dari hidup,” ujarnya.
Kedua, ia berharap agar pengawasan dan penegakan aturan mengenai kawasan bebas rokok dapat berjalan secara konsisten. Perlu adanya upaya rutin dan periodik untuk memastikan bahwa aturan di bawah kawasan bebas rokok dijalankan dengan baik oleh semua pihak.
Ketiga, kebijakan kawasan bebas rokok seharusnya dimulai di sekolah-sekolah, baik SD maupun SMP. “Dimulai di sekolah-sekolah, baik di SD maupun di SMP, dan itu tidak hanya berlaku untuk siswa, tetapi berlaku juga untuk guru dan tendiknya,”.
Kemudian keempat, perlu adanya kebijakan terkait informasi bahwa pengeluaran rokok cukup besar. “Saya kira konsistensi tersebut, antara peraturan yang ada dan penerapannya itu, adalah sesuatu yang perlu kita upayakan bersama untuk memastikan bahwa perilaku merokok itu bisa menurun,” pungkas Gumilang.
Dari sudut pandang mahasiswa, Azaqi berharap jika kesadaran untuk tidak merokok di kawasan kampus tumbuh di dalam diri masing-masing sivitas akademika UGM. Inggita menyoroti implementasi kebijakan yang diterapkan oleh fakultas, ia mengharapkan peningkatan kesadaran melalui kebijakan pengendalian rokok di tiap fakultas. “Supaya teman-teman yang tidak nyaman dengan hal seperti ini (asap rokok –red) itu bisa tetap nyaman,”. Apabila sudah diatur dan tertulis jelas mengenai larangan merokok, maka orang yang merokok dan tidak merokok bisa sama-sama nyaman. “Yang merokok bisa menyesuaikan untuk tidak merokok di situ dan yang tidak merokok juga jadi tenang-tenang aja karena nggak akan ada teman-teman yang merokok,” papar Inggita.
Sejalan dengan Inggita, Jeremy turut menyorot peran fakultas dalam menerapkan kebijakan. Ia mengharapkan penyeragaman kebijakan di tiap fakultas. Ketika hal itu sudah berjalan, pihak kampus atau fakultas kemudian harus menyediakan area untuk merokok.
Daffa berharap jika ruangan khusus merokok bisa disediakan agar orang tidak merokok di mana-mana. “Kita harus membalik stigma kita bahwa saat ini bukan orang yang tidak merokok yang mengalah, tapi harus perokok yang mengalah,” ujarnya.
Penulis: Tri Angga/Bul
Editor: Varres/Bul
Liputan ini mendapat dukungan hibah (fellowship) dari Aliansi Jurnalis Independen Kota Jakarta untuk pers mahasiswa.
Tulisan ini sebelumnya dimuat dalam situs Bulaksumur +Plus (bulplus), salah satu media dari Surat Kabar Mahasiswa (SKM) UGM Bulaksumur yang merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) pers mahasiswa yang terdaftar di Universitas Gadjah Mada. Artikel ditayangkan perdana pada 28 Februari 2022.
Discussion about this post