“Dalam jangka pendek ini pertama dunia harus mempunyai kapasitas pembiayaan untuk mencegah dan menghadapi pandemi, yang kedua membangun ekosistem kesehatan yang tersinergikan lintas negara,” ujar Presiden RI Joko Widodo, Minggu, 13 November 2022 lalu meresmikan dana pandemi dalam forum G20 di Bali.
Jokowi mengakui, dalam tiga tahun terakhir Indonesia menghadapi disrupsi terberat dalam seabad terakhir akibat pandemi COVID-19. Jokowi menilai tak hanya Indonesia, seluruh dunia terbukti tidak siap menghadapi pandemi, dunia tidak mempunyai arsitektur kesehatan yang andal untuk mengelola pandemi.
Hasil studi yang dilakukan Bank Dunia dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) awal tahun ini menemukan, kebutuhan pembiayaan adalah sebesar US$31,1 miliar setiap tahunnya untuk membiayai sistem pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon terhadap pandemi di masa yang akan datang. Atas dasar tersebut, forum G20 telah sepakat untuk membentuk dana pandemi bagi kepentingan pencegahan, kesiapsiagaan dan respons terhadap pandemi. Artinya, semua negara harus memastikan ketahanan komunitas internasional dalam menghadapi pandemi.
“Pandemi tidak boleh lagi memakan banyak korban jiwa dan meruntuhkan sendi-sendi perekonomian global,” tegasnya.
Dengan semangat itu, presidensi Indonesia di G20 harus mendorong penguatan arsitektur kesehatan global untuk mewujudkan sistem kesehatan global yang lebih andal terhadap krisis, serta lebih inklusif dan berkeadilan.
“Saya menyampaikan terima kasih kepada para donor dari negara-negara G20 dan non G20, serta dari lembaga-lembaga filantropi yang telah memberikan kontribusi, namun dana yang terkimpul masih belum mencukupi. Saya mengharapkan dukungan yang lebih besar lagi untuk dana pandemi ini,” tambah presiden.
Jokowi tak hanya meminta kontribusi dana, dia juga mengajak semua pihak untuk mendukung beberapa inisiatif antara lain pembentukan platform koordinasi penanggulangan gangguan kesehatan, berbagai data genomik internasional untuk mendukung pemantauan patogen, pengembangan jaringan digital secara global, serta sertifikasi vaksin untuk memfasilitasi keamanan perjalanan internasional dan pembentukan pusat penelitian dan manufaktur yang lebih adil dan merata.
Kilas balik dana pandemi
Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Wempi Saputra menjelaskan, dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, anggota G20 memang telah bersepakat membentuk dana pandemi (Pandemic Fund) yang sebelumnya adalah Financial Intermediary Fund (FIF) untuk Pandemic Prevention, Preparedness, and Response (PRR), dan menyusun tata kelola dana tersebut. Dana Pandemi ini merupakan sumber daya tambahan yang nantinya ditujukan untuk mempersiapkan dalam kondisi mendesak.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengakui ide dana ini akibat ada kesenjangan dalam arsitektur kesehatan global dalam mempersiapkan dan merespons ancaman kesehatan.
Dirancanglah dana pandemi mengkombinasikan pembiayaan publik dan swasta melalui alokasi anggaran negara anggota hingga lembaga filantropi. Dana dikelola melalui struktur governing board yang terdiri atas co-investors yakni negara yang masuk dalam struktur, namun tidak berkontribusi finansial, ada juga contributors/investors yakni negara yang berkontribusi finansial, perwakilan filantropi, dan organisasi masyarakat sipil yang miliki hak memberi suara dalam pengambilan keputusan.
Akhirnya dari proses koordinasi awal tersebut, US$1,4 miliar dolar yang sudah terkumpul untuk mengatasi kesenjangan dalam kesiapsiagaan dan respon mencegah pandemi. Sejumlah negara yang telah berkomitmen menjadi donor antara lain; Australia, Canada, Komisi Eropa, Perancis, Jerman, China, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea, Selandia Baru, Norwegia, Afrika Selatan, Singapura, Inggris, Spanyol, Amerika Serikat dan UEA. Selanjutnya tiga filantropi, yaitu The BIll & Melinda Gates Foundation, The Rockefeller Foundation, dan Wellcome Trust.
Sesuai tujuan menjangkau masyarakat global maka tidak hanya delegasi negara G20. Dalam pertemuan tersebut terlibat juga perwakilan lembaga donor seperti; Global Alliance for Vaccine and Immunization (GAVI), Bank Dunia (WB), IMF, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), dan lembaga internasional seperti UNICEF, UNDP dan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan dana pandemi untuk pembiayaan kapasitas (PPR) adalah bentuk komitmen pemerintah bahwa kesehatan adalah kekayaan manusia yang utama. Hal ini makin nyata akibat pandemi COVID-19 yang menyadarakan bahwa nasib perekonomian sangat erat dengan kondisi kesehatan. Sehingga dibutuhkan jalinan antara keuangan dan kesehatan yang kuat untuk menjadikan masyarakat global menjadi lebih kuat. Untuk itu dibutuhkannya dana darurat pandemi utamanya guna mengatasi kesenjangan kritis sesuai standar International Health Regulation (2005), yakni: surveilans penyakit, sistem laboratorium, penguatan tenaga kesehatan, dan kesiapan penanggulangan medis.
“Dana pandemi adalah landasan dimana kami akan membangun kembali dan memperkuat arsitektur kesehatan global” ujar Menkes Budi.
Dalam kesehatan konferensi global, Budi juga melaporkan sejumlah kesuksesan pemerintah Indonesia di hadapan perwakilan negara dunia. Sebut saja diantaranya; menyelesaikan evaluasi ACT-A untuk meningkatkan akses ke penanggulangan medis pandemi; membuka jalan bagi peningkatan berbagi pengawasan genomik secara global; memungkinkan kebebasan perjalanan internasional melalui sistem sertifikat kesehatan yang dapat dioperasikan; serta memetakan jaringan penelitian dan pembuatan vaksin, terapi dan diagnostik yang ada dan sedang berkembang.
“Ke depan, kita harus menyepakati bagaimana kita akan memanfaatkan dana pandemi dengan sebaik-baiknya untuk menciptakan dunia yang lebih tangguh dan tahan pandemi,” ujar Budi.
Oleh karena itu, forum G20 bagi Budi berfungsi sebagai fasilitas kerjasama internasional untuk mencapai stabilitas keuangan keuangan dan kesehatan.
“Harapan saya adalah ikatan antara keuangan dan kesehatan akan tetap kuat di tahun-tahun mendatang, karena pekerjaan penting kita untuk memperkuat arsitektur kesehatan global tetap relevan seperti sebelumnya, karena kekayaan terbaik adalah kesehatan” ujar mantan pimpinan perusahaan pelat merah tersebut.
Dia bahkan optimis kerja sama keuangan dan kesehatan G20 telah memenuhi tujuan untuk membawa Indonesia keluar dari krisis dan menuju arah perdamaian. Beralih dari trauma ke kemenangan, dari bencana ke pemulihan, dari penyakit dan kemiskinan ke kesejahteraan dan kemakmuran.
Atas nama penguatan arsitektur kesehatan global
Dalam forum yang sama, Budi membenarkan bahwa pembelajaran dari pandemi adalah urgensi penguatan arsitektur kesehatan global. Artinya infrastruktur tersebut merupakan kebutuhan mendesak dalam memastikan sistem kesehatan di tingkat nasional, regional dan global, memiliki kapasitas yang lebih baik dalam mengantisipasi pandemi di masa mendatang.
“The world must be ready, untuk pandemi yang bisa datang kapan saja dan menimbulkan ancaman terhadap stabilitas ekonomi dunia. Kegagalan dalam penanganan pandemi dapat mengarah pada terjadinya gangguan stabilitas sosial dan politik, sebagaimana terjadi di sejumlah negara di dunia.”
Dalam pertemuan tersebut, para menteri keuangan dan menteri kesehatan mendengarkan informais terbaru mengenai perkembangan termasuk panduan strategi dana pandemi oleh para co-chairs dewan pengelola dana pandemi yakni; Chatib Basri dari Indonesia dan Daniel Ngamije, Menteri Kesehatan Rwanda. Nuansa pertemuan melahirkan harapan yang sama yakni semua anggota G20 menantikan peluncuran “Call for Proposal” pertama sesegera mungkin.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan, banyak negara semakin bergerak menuju kehidupan normal baru dengan COVID-19. Namun jutaan kasus baru dan ribuan kematian masih dilaporkan setiap minggunya. Oleh karena itu penting bagi setiap negara memiliki dan pandemi untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi di masa yang akan datang.
“Satu tahun setelah mandat yang ditetapkan oleh para pemimpin dunia dalam Deklarasi Roma 2021, hari ini kami memiliki kesempatan untuk membahas pencapaian yang telah kami raih bersama untuk melakukan reformasi arsitektur kesehatan global dan hal lain yang penting untuk kita kerjakan.” ujar Sri Mulyani.
Dia juga menyinggung tentang cara terbaik untuk meningkatkan pengaturan koordinasi antara keuangan dan kesehatan. “Termasuk menilai apakah akan memperluas cakupan Gugus Tugas serta tujuan utama untuk tahun 2023,” tambah Sri Mulyani.
Selanjutnya, pada tahun 2023 Gugus Tugas akan kembali diketuai bersama oleh Indonesia dan Italia yang mewakili perspektif ekonomi negara berkembang dan maju, memanfaatkan keahlian dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), Bank Dunia, lembaga keuangan internasional dan organisasi terkait lainnya, dengan dukungan dari Kepresidenan G20 India di 2023.
Mengawal akuntabilitas penggunaan dana
Di sela-sela peresmian dana pandemi, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak para pemimpin G20 untuk melanjutkan komitmen politik terhadap penguatan arsitektur kesehatan global pada presidensi G20 berikutnya. Hal penting dalam agenda G20 untuk dipastikan keberlanjutannya adalah tentang penyelesaian ketimpangan kapasitas pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon pandemi akibat COVID-19 serta penguatan ketahanan kesehatan secara menyeluruh.
Diah S Saminarsih, Founder & CEO CISDI menjelaskan, forum G20 memiliki momentum dan kekuatan strategis untuk menghimpun serta memobilisasi komitmen politik dan sumber daya global. Presidensi G20 Italia, melalui pembentukan High Level Independent Panel on Financing the Global Commons for the Pandemic Preparedness and Response, telah meninjau situasi dan kebutuhan pembiayaan pandemi global. Dilanjutkannya inisiatif tersebut melalui peluncuran dana pandemi oleh Presidensi G20 Indonesia merupakan awal yang menjanjikan keberhasilan dunia menuju kesiapsiagaan pandemi, berawal dari tata kelola pembiayaan kesehatan global.
Artinyam meski dunia sedang ditimpa krisis multidimensional akibat COVID-19, konflik geopolitik karena perang Rusia-Ukraina, hingga krisis energi dan pangan di berbagai negara, masyarakat perlu mengapresiasi bahwa para pemimpin G20 masih dapat mencapai konsensus untuk membentuk dana pandemi.
“Inisiatif ini merupakan upaya strategis menutup ketimpangan pembiayaan pendanaan global untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon pandemi sebesar US$10,5M atau setara Rp10,6T setiap tahun dalam lima tahun ke depan. Melalui Presidensi G20, Indonesia saat ini memiliki kapasitas menyuarakan kepentingan negara berpenghasilan rendah dan rendah-menengah untuk mendapatkan manfaat lebih melalui dana perantara ini, terlebih dengan terpilihnya Chatib Basri selaku Co-Chair Dewan Pengurus pandemic fund,” ungkap Diah S Saminarsih.
Meski begitu, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilanjutkan, disempurnakan, dan diselesaikan oleh G20, kerangka multilateral, maupun inisiatif global lainnya untuk mendesain ulang arsitektur kesehatan global yang mampu menjamin ketahanan kesehatan bagi semua. CISDI miliki catatan dan rekomendasi terkait beberapa hal tersebut:
Pertama, peran publik dan masyarakat sipil dibutuhkan untuk memastikan pengawasan terhadap penggunaan sumber daya tambahan ini dapat berjalan baik dan transparan. Pendanaan dana pandemi hingga saat ini masih bergantung kontributor tradisional. Ini mengakibatkan dana yang baru terkumpul hanya sebesar US$1,4 miliar atau baru 10 persen dari keseluruhan target yang dicanangkan terkumpul dalam dana pandemi sesuai perhitungan Bank Dunia dan WHO. Selain itu, tidak semua kontributor menandatangani kerja sama jangka panjang, baik dalam siklus kontribusi tiga maupun lima tahunan sehingga keberlanjutan pendanaan ini dipertanyakan. Indonesia sendiri menyumbang setidaknya Rp740 miliar atau US$50 juta dalam dana pandemi melalui sumber pembiayaan APBN.
“Memberikan komitmen finansial tambahan untuk global health bukanlah sebuah langkah yang biasa diambil oleh Indonesia. Masuknya representasi masyarakat sipil dalam struktur tata kelola dana pandemi sebagai voting member merupakan langkah awal yang baik untuk memastikan pelibatan bermakna masyarakat sipil sebagai bagian integral dari pengambilan keputusan secara konsisten dan berkelanjutan,” sambung Diah.
Kedua, CISDI meminta fokuskan pembiayaan kesehatan pada pembangunan dan peningkatan kapasitas serta resiliensi sistem kesehatan. Meskipun jumlah dana di tahap pertama belum mencapai target yang diharapkan, rencana tata kelola dan operasional dari dana pandemi tetap harus disiapkan. “Belajar dari pandemi, transformasi layanan kesehatan primer–yang belum secara spesifik disebutkan–serta masukan dari berbagai komunitas sesuai kebutuhan, harus menjadi dasar pertimbangan dalam penentuan prioritas ranah pembiayaan yang akan ditetapkan.”
Secara khusus tentang transformasi layanan kesehatan primer, timpangnya kapasitas layanan kesehatan primer merupakan catatan utama WHO, World Bank, dan GAVI sebagai salah satu penyebab tidak tercapainya cakupan vaksinasi di negara-negara berpenghasilan rendah dan rendah-menengah terhadap negara berpenghasilan tinggi. Penetapan prioritas dana pandemi membutuhkan konsultasi dan partisipasi penerima manfaat untuk dapat merepresentasikan kebutuhan mereka dan tidak berisiko mengulang kembali ketidakadilan struktural pembiayaan kesehatan global.
Ketiga, menggunakan kepemimpinan G20 sebagai enabler untuk mengatasi beban penyakit yang ada (existing disease burden) dan permasalahan akses terhadap obat, vaksin, dan alat kesehatan terkait pandemi sebagai barang publik di tingkat global. Adanya Joint Financial and Health Minister Meeting (JFHMM) serta kesepakatan yang dicapai di bawahnya, sejatinya adalah landasan yang dibutuhkan untuk mencapai kesiapsiagaan pandemi.
“Kesiapsiagaan pandemi berhulu pada kesepahaman dan keterhubungan antara sektor kesehatan dengan keuangan. Adanya kelompok kerja keuangan dan kesehatan serta JFHMM di bawah inisiatif G20 seharusnya menjadi pembuka komunikasi kebijakan terjalin baik antara kedua sektor penting ini agar dunia siap menghadapi pandemi berikutnya,” ujar Diah.
Diah menegaskan, upaya memastikan terkumpulnya komitmen finansial serta utilisasinya yang akuntabel dan transparan adalah tantangan berikut yang akan dihadapi oleh dana pandemic. Di tingkat nasional juga diperlukan sebuah mekanisme koordinasi yang kuat seperti Country Coordinating Mechanism (CCM) Global Fund untuk memastikan harmonisasi dan koordinasi prioritas nasional dan global.
Diah menambahkan, berkaca dari kesuksesan pengumpulan dana global untuk AIDS, TBC, HIV dan Malaria yang dikelola puluhan tahun oleh Global Fund; memang sulit untuk bisa merujuk pada sebuah mekanisme pendanaan lain yang berasal dari tingkat global yang bisa terlaksana dan digunakan oleh negara hingga mencapai komunitas.
“Karenanya, dibutuhkan landasan prinsip nilai yang disepakati bersama dengan semangat inklusi dan kesetaraan agar pendanaan bisa bermanfaat dan mencapai negara-negara hingga komunitas-komunitas yang membutuhkannya,” tegas Diah.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post