Jakarta, Prohealth.id – Rokok diproduksi secara masal sejak 1800-an. Industri ini tidak mendapatkan kendala atau halangan apa pun dan dinilai sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Namun, perubahan terjadi usai banyak penelitian yang membuktikan rokok itu berbahaya pada 1960-an. Seperti kandungan nikotin yang menyebabkan kecanduan dan ribuan zat kimia berbahaya. Lalu perusahaan rokok mencoba menutupi fakta tersebut. Tujuannya untuk mengubah persepsi dan menyembunyikan fakta bahwa rokok membahayakan kesehatan.
“Dari dekade ke dekade sudah terlihat berbagai bukti yang menunjukkan industri tembakau atau rokok secara umum melakukan berbagai macam misinformasi, disinformasi, atau bahkan kebohongan,” kata Lisda Sundari dari Yayasan Lentera Anak.
Dia melanjutkan,”Kalau kita lihat perjalanannya, ada jejak sejarah yang menunjukkan bahwa DNA industri rokok itu ya memang berbohong.”
Kebohongan industri rokok dilakukan terus menerus dan ketiadaan untuk melawannya membuatnya seolah-olah itu benar. Hal ini disampaikan Lisda Sundari dalam lokakarya “Tolak Hoaks Rokok” yang berlangsung pada bulan Maret ini.
Dia pun merujuk pada peristiwa 1994 ketika eksekutif puncak tujuh perusahaan rokok terbesar di Amerika Serikat mengangkat sumpah di depan Kongres bahwa nikotin bukan zat adiktif. “Ini saya kira kebohongan paling besar yang dilakukan perusahaan rokok.”
Pengadilan Washington Amerika Serikat pada 1998 memutuskan perusahaan rokok melakukan pembohongan dan kesalahan.
Pasca peristiwa tersebut, perusahaan rokok melakukan kebohongan-kebohongan secara lebih halus dibandingkan dengan sebelumnya yang sangat vulgar. Seperti pada 2000-an, rokok light and mild diproduksi dan perusahaan rokok menyebutnya lebih aman. Padahal berbagai studi literatur menyebutkan bahwa akibat adiksi maka orang yang sudah merokok itu kebutuhan akan adiksinya tidak akan cukup dengan rokok light and mild sehingga akan merokok lebih banyak lagi daripada yang sebelumnya. Hal ini berarti perusahaan rokok melakukan kebohongan semata-mata untuk mempertahankan profit atau mengambil keuntungan dari adiksi masyarakat terhadap rokok.
Lisda juga mengingatkan cara-cara tersembunyi yang dilakukan perusahaan rokok sehingga harus melihat dengan lebih kritis atas pesan-pesan yang disampaikan perusahaan rokok. Karena perusahaan rokok secara global saat ini memakai topeng seolah-olah mendukung Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC).
“Mereka mempromosikan dunia bebas asap. Seolah-olah sepakat dengan FCTC. Sampai-sampai perusahaan rokok global mendirikan yayasan yang didedikasikan untuk mempromosikan dunia bebas asap. Industri rokok secara global sekarang berubah caranya. Ini kontradiksi yang tentu saja membingungkan orang.”
Lisda turut mengutarakan disinformasi ketika Pemerintah dan DPR membahas Undang-Undang Kesehatan pada 2023 lalu. Disinformasi tentang rokok pada waktu itu disebutnya mirip dengan peristiwa di Amerika Serikat pada 1994.
Sedangkan Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho menyebutkan hoaks sangat berbahaya. “Ini kami nilai sangat berbahaya karena bisa mempengaruhi masyarakat. Penerimaan masyarakat atas rokok itu juga sangat dipengaruhi banyaknya disinformasi,” ucapnya.
Dia mengingatkan penggunaan internet atau media sosial yang bisa menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan sambil mengutip Nicholas Carr dalam bukunya “The Shallows”.
Dampak yang sebenarnya tidak diinginkan yaitu mendangkalnya pemahaman. Mengandalkan informasi dari media sosial tanpa memakai kaidah yang benar dalam membaca informasi menyebabkan kemampuan berpikir itu semakin dangkal.
Apalagi muncul aplikasi video pendek yang membuat orang kemudian tidak lagi terbiasa mendalami informasi dengan utuh sehingga sangat mudah menjadi korban pembentukan opini yang bertentangan dengan fakta sebenarnya.
Lalu fenomena global yang dijelaskan Tom Nichols dalam buku “The Death of Expertise” menurut Septiaji sangat relevan.
Dia mengemukakan,”Saat ini yang seringkali dipegang masyarakat itu bukan lagi pendapat pakar. Bukan lagi pendapat otoritas. Tetapi seringkali adalah pendapat mana yang menarik. Pendapat mana yang disajikan dengan unik, ramai, atau viral.”
Ruang digital yang seharusnya membuka wawasan lebih luas justru yang terjadi malah sebaliknya. Seringkali informasi dari pakar tidak didengar. Masyarakat justru mendengar kepada hal-hal yang lebih disenangi. Aspek emosional lebih mempengaruhi seseorang ketika mengambil keputusan dibanding dengan fakta yang objektif.
“Itu penyebab yang kami amati mengapa orang mempercayai hoaks. Ketika ketemu dengan orang yang sudah terpapar dengan hoaks dan kami mencoba memberikan fakta tetapi banyak yang tidak mau menerimanya,” kata dia.
Editor: Irsyan Hasyim
Discussion about this post