Jakarta, Prohealth.id – Pada tahun 2020, Indonesia termasuk delapan negara yang menyumbang 2/3 kasus tuberkulosis (TB) dari seluruh kasus yang terdapat di dunia.
Pada level dunia, terdapat lebih dari 4100 orang meninggal dunia dan hampir 30.000 orang tertular penyakit ini pada setiap harinya. TB juga merupakan penyebab utama kematian orang dengan HIV dan kontributor utama resistensi antimikroba. Hanya satu per tiga pasien tuberkulosis Multi Drugs Resistance atau TB MDR atau juga disebut TB Resisten Obat (TB RO) yang dapat mengakses pengobatan.
Dokter Spesialis Penyakit Mikrobiologi Klinik di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) dr. Dimas Seto Prasetyo, Sp.MK(K) menjelaskan, udara sebagai media transmisi penyakit. Udara secara umum tidak steril karena bisa saja dapat mengandung percik renik yang dihasilkan ketika berbicara/menyanyi/bersin, debu dan spora jamur.
Dalam paparan yang bertema; “Kuman di Udara Penyebab Tuberkulosis, Bagaimana Kendalinya?” dr. Dimas menjelaskan terkait bahwa terdapat parameter kontaminan biologi dalam rumah yang mengindikasikan kondisi kualitas biologi udara dalam rumah sesuai Permenkes No.1077 Tahun 2011 terkait Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah, yaitu jamur kadar maksimalnya yaitu 0 CFU/m3, bakteri patogen maksimal 0 CFU/m3, dan kuman yaitu yaitu <700 CFU/m3. Jadi jika di rumah kita ada kuman sebenarnya tidak apa-apa, yang tidak boleh yaitu patogen dan jamur.
Lebih lanjut katanya, ada beberapa penyakit yang dapat menular melalui udara diantaranya tuberkulosis, varicella (cacar air), measles (campak), Covid-19 dan virus respiratori lain, misalnya influenza. Selain itu, dr. Dimas
juga menjelaskan perbedaan antara aerosol dan droplet. Dari segi ukuran, aerosol lebih halus dan bisa menyebar lebih jauh dibandingkan droplet. Partikel dengan ukuran besar lebih cepat turun karena gaya gravitasi. Dari partikel aerosol dan droplet, ada kemungkinan jatuh ke bawah, dimana ada beberapa faktor yang mempengaruhi kestabilannya di lingkungan.
Adapun TB adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan melalui percik renik saat bersin/batuk, berbicara, menyanyi. Menurut dr. Dimas, ada sejumlah karakteristik umum bakteri Mycobacteria.
Pertama, bakteri ini dapat bertahan di benda mati selama berbulan-bulan, jika tidak terpajan sinar matahari. Kedua, bakteri ini dapat dimatikan dengan pemanasan (M.avium mati dalam pemanasan 60oC selama 4 menit), serta dapat dinonaktifkan dengan desinfektan yang mengandung klorin (misalnya hipoklorit), alkohol, chlorohexidine.
Terkait siklus penularan TB, dr. Dimas menjelaskan hal itu terjadi saat bakteri M. tuberculosis yang masuk ke paru-paru, kemudian terjadi respon sel imun makrofag paru-paru yang akan menginaktivasi bakteri, lalu timbul kekebalan primer (ditandai tes Mantoux positif). Namun saat kekebalan turun, bakteri TB dapat kembali aktif, menyebar ke seluruh tubuh.
Oleh karena itu, dia memberikan beberapa langkah pencegahan infeksi TB di rumah, yaitu pasien sebaiknya ditempatkan dalam kamar terpisah, serta menggunakan ruangan yang berbeda dengan penghuni rumah lain (misalnya kamar mandi terpisah), perawat/pengawas minum obat (jika ada) mengenakan masker bedah ketika memasuki kamar pasien, ventilasi kamar pasien dan rumah dijaga baik. Selain itu lakukan pembersihan area yang mungkin terkena percikan droplet pasien TB dengan desinfektan yang sesuai.
Tak lupa, dr. Dimas juga memberikan beberapa tips menjaga udara di rumah tetap sehat.
Pertama, jika aman, buka pintu dan jendela supaya udara masuk. Kedua, jika memungkinkan, buka beberapa jendela dan pintu. Ketiga, jika kondisi tidak aman. Misalnya risiko anak jatuh, polusi udara tinggi, tercetus asma), jangan buka jendela. Keempat, pergunakan kipas angin untuk mengarahkan udara ke luar rumah. Kelima, jika tersedia, gunakan exhaust. Keenam, jika rumah dengan AC sentral dengan filter, pastikan ukuran filter dan bersihkan filter secara rutin.
Terkait pemanfaatan terhadap sinar matahari, dr. Dimas mengatakan bahwa sinar UV sebenarnya lebih diutamakan untuk fasilitas layanan kesehatan, karena jumlah bakteri disana lebih banyak. Jika di rumah yang bakterinya tidak sebanyak di fasilitas layanan kesehatan, sebenarnya sinar matahari cukup.
MENGENAL TBC LATEN
Secara terpisah, Ketua Yayasan Stop TB Partnership dr. Nurul H.W. Luntungan, MPH mengatakan penyakit TBC laten disebabkan oleh bakteri yang bersembunyi di dalam tubuh seseorang. Sehingga orang tersebut nampak tidak memiliki penyakit TBC.
“Penyakit TBC ini disebabkan oleh bakteri, dan bakteri TBC ini beda dengan bakteri lain. Bakteri TBC ini bisa sembunyi di dalam tubuh dan orang yang kena bakterinya belum tentu terlihat sakit TBC,” katanya.
Koordinator Substansi TBC, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakti Menular, Kementerian Kesehatan dr. Tiffany Tiara Pakasi, MA mengatakan infeksi TBC laten terjadi saat seseorang yang terpapar kuman TBC namun memiliki imunitas yang bagus sehingga menyebabkan dia tidak bergejala. Tapi sebenarnya kumah tersebut tidak hilang melainkan dalam posisi tertidur.
“Sehingga sewaktu-waktu kalau daya tahan tubuhnya turun dan lain-lain dia bisa memicu kuman tersebut sehingga terjadi tuberkulosis aktif,” katanya.
Pengendalian TBC laten ini belum lama masuk ke dalam program pemerintah. Pengendalian TBC laten ini ditetapkan sebagai program eliminasi TBC setelah ada komitmen untuk mengakhiri TBC tahun 2030.
“Jadi baru beberapa tahun terakhir pemerintah memfokuskan TBC laten ke dalam program eliminasi TBC, dan fokus pada kelompok yang paling berisiko dalam hal ini kontak erat dari semua usia,” ucap dr. Tiara.
Skrining kontak erat dilakukan melalui pertanyaan dan pemeriksaan dengan tes tuberkulin di kulitnya, atau pemeriksaan melalui darah. Kalau diketahui ada TBC laten maka orang tersebut akan diberikan obat pencegahan TBC.
Dalam tes tuberkulin, sejumlah kecil protein yang mengandung bakteri TBC akan disuntikkan ke kulit di bawah lengan. Bagian kulit yang disuntikkan lalu diperiksa setelah 48-72 jam. Jika hasilnya positif, berarti orang tersebut telah terinfeksi TBC.
Namun, lanjut dr. Tiara, karena TBC laten tidak bergejala, kebanyakan masyarakat tidak mau melakukan skrining. Hal tersebut menjadi salah satu hambatan dalam menemukan dan mengobati orang dengan TBC.
“Di sini memang diperlukan juga edukasi. Bagi orang yang diketahui positif TBC minum obatnya tidak sekali minum, minum obat paling cepat itu 3 bulan seminggu sekali, ada juga yang 6 bulan tiap hari. Sehingga memang perlu diyakinkan masyarakatnya yang sudah kita tes berisiko TBC laten untuk mau minum obat,” ucap dr. Tiara.
Penulis: Irsyan Hasyim
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post