Jakarta, Prohealth.id – Keputusan untuk beralih tanam dari tembakau menjadi tanaman ubi atau sayuran ternyata bisa memberikan keuntungan lebih bagi para petani.
Pada sela-sela lokakarya daring untuk jurnalis, Ekonom Senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri memamerkan gambar makanan ringan kemasan.
“Ini keripik ubi. Beragam jenis ubi dengan kemasan (berkisar) 100 gram merambah ke seantero dunia,” katanya dalam lokakarya bertajuk Revisi PP Pengamanan Zat Adiktif: Prioritas Kesehatan Vs Dalih Ekonomi, Selasa (15/6/2021).
Brets, nama merek keripik tersebut. Ada gambar bendera Prancis di kemasan itu. Produk makanan ringan diberandol dengan harga yang beragam di pasaran, tergantung bobot kemasan. Ada yang Rp40 ribu sampai Rp70 ribu.
“Harganya sangat menggiurkan. Petani (ubi) sejahtera, makin banyak diolah semakin stabil harga,” ucapnya.
Tujuan Faisal menunjukkan keripik kemasan yang harga jualnya tinggi itu untuk membandingkan keuntungan petani ubi dan tembakau. Petani tembakau, kata Faisal, penjualan hasil bertanamnya cenderung oligopsoni atau monopsoni.
“Pembelinya satu atau segelintir, biasanya pabrik rokok posisi mereka kuat,” katanya.
Faisal menjelaskan, demi meningkatkan keuntungan, petani perlu menyesuaikan pasar yang lebih luas.
“Kalau menanam tembakau, (petani) bergantung pada pabrik rokok. Tapi kalau menanam ubi, mobilisasi (produk) bisa lewat bermacam-macam model bisnis,” ujarnya.
Sebab itulah, Faisal memakai percontohan produk keripik kemasan asal Prancis. Dia berharap, bukti keripik ini mendorong peningkatan produksi dan kesejahteraan petani.
“Kuncinya mengolah produk sehingga nilai tambahnya tinggi,” ucapnya.
Contoh lain, dia menambahkan, para petani tembakau yang berganti menanam ubi jalar di Kecamatan Windusari, Magelang, Jawa Tengah. Menurut dia, para petani tersebut mampu melihat peluang ketika berjualan tembakau tak lagi menguntungkan.
“Perubahan membutuhkan penyesuaian. Adaptasi peluang dan tantangan baru mudah-mudahan lebih menyejahterakan,” katanya.
Bermula sekadar mencoba berganti tanaman pertanian, Istanto, 60 tahun, salah satu warga Desa Candisari, Windusari, Magelang mendapat keuntungan ketika bertani ubi jalar. Sebelum menanam ubi, Istanto melakoni keseharian sebagai petani tembakau. Pada 2013, ia tak lagi sepenuhnya menanam tembakau.
“Tanaman komoditas tembakau terganggu cuaca,” katanya.
Pancaroba menimbulkan masalah pertanian untuk produksi tembakau. Ketika cuaca kian tak menentu, hasil pertanian pun terus merosot. Istanto bersama para petani setempat mencari peluang bertanam dengan modal biaya yang sama untuk pengolahan lahan, yakni ubi jalar.
“Biaya pengolahan lahannya Rp1,5 juta untuk 0,1 hektare,” tuturnya.
Para petani tembakau perlahan ikut menanam ubi, terutama yang lahannya di ketinggian 300 meter hingga 700 meter di atas permukaan laut. Ketika panen ubi memang tak langsung mendapat keuntungan tentunya para petani mesti menjajal pola perniagaan baru.
Pernah petani menggunakan sistem borongan. Namun, kata Istanto, petani masih belum untung. Keadaan itu membuat mereka mencoba perniagaan melalui pengepul di dusun. Para pengepul lokal ini membeli ubi, Rp2.300 per kilogram.
“Diterima masuk ke truk dengan harga Rp2.500 per kilogram,” katanya. Dari pola seperti itu, menurut dia, petani bisa merasakan langsung keuntungan.
Istanto menjelaskan, setiap 0,1 hektare bisa menghasilkan ubi rata-rata tiga ton. Jika menghitung perkalian dari harga Rp2.500 per kilogram, maka petani sudah mendapat keuntungan.
“Berarti untung lebih dari dua kali lipat dari modal pengolahan lahan tadi,” ucapnya.
Kecenderungan itu pula yang memikat minat para petani tembakau lainnya. Minat itu juga dipengaruhi perawatan tanaman ubi yang cenderung gampang dibandingkan tembakau.
“Kalau tanam tembakau pemupukan 10 hari,” tuturnya.
Dia menambahkan, proses lanjutan mendangir alias pembersihan di sekitar tanaman supaya tanah tetap subur. “Ini (mendangir) butuh tenaga waktu yang cermat,” ucapnya.
Bertanam ubi pun melewati masa pemupukan 10 hari. Setelah itu hanya pemantauan biasa. Tak perlu banyak perawatan lanjutan. “Nanti umur empat bulan langsung panen,” sambung Istanto.
Soal proses perniagaan ubi pun cenderung singkat dibandingkan tembakau. Dia mengatakan, proses menjual tembakau masih berkali-kali melewati tahapan.
“Pengepul tidak langsung bayar, tapi dirajang (mengiris tembakau) dulu. Setelah itu dikemas, kemudian dibawa ke gudang,” katanya. Tahap lanjutan disalurkan ke pengepul besar lalu ke pabrik.
“Nanti petani tembakau mendapat uangnya. Tapi ada juga kalau pengepul bermodal besar itu bisa membeli langsung tunai dengan petani,” tuturnya.
Runtunan itu membuat petani tembakau melirik peluang bertanam ubi. “Kalau ubi sudah naik ke truk, petani langsung menerima bayaran, jadi tidak banyak proses niaga,” kata Istanto.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post