Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 28 tahun 2024 sebagai turunan dari Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 tahun 2023. Seperti namanya, PP Kesehatan hendak mengatur perlindungan kesehatan publik. Sebanyak 34 pasal mengatur produk tembakau dari peredaran, pemasaran, distribusi, hingga konsumsinya. Isian dalam PP yang mengatur pengendalian tembakau itulah yang menuai kontra dari sekelompok orang atau organisasi.
Menurut Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021, sebanyak 35,5 persen penduduk Indonesia adalah perokok. Sementara itu, Survei Kesehatan Indonesia 2023 oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan jumlah perokok aktif mencapai 70 juta orang, dengan 7,4 persen di antaranya adalah pelajar 10-18 tahun.
Guna merespon dinamika itu, Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT) menyelenggarakan diskusi publik. Tujuannya, untuk mengurai permasalahan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 Tentang Kesehatan bagian pengamanan zat adiktif dari perspektif ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Soal pengamanan zat adiktif menjadi salah satu keributan yang paling kontroversial karena menyangkut industri dan perlindungan kesehatan, sehingga terutama selalu dibenturkan antara kepentingan ekonomi dan kesehatan.
Tarik-menarik kepentingan antara industri rokok dan pengendalian tembakau membuat pembahasan PP Kesehatan ini alot. Alhasil memerlukan waktu hampir 12 bulan. Harapannya, peraturan tersebut menjadi lebih kuat dalam mengatur produk tembakau, serta mengatur rokok elektronik seperti rokok konvensional. Ukuran peringatan kesehatan bergambar juga naik dari 40 persen menjadi 50 persen. Lalu larangan menjual rokok kepada setiap orang di bawah usia 21 tahun, yang sebelumnya 18 tahun.
Pengaturan terhadap rokok yang makin kuat dan komprehensif ini patut mendapat apresiasi. Apalagi mengingat prevalensi perokok di Indonesia masih yang tertinggi di dunia. Fakta yang lebih mencemaskan, belanja rokok masyarakat memperburuk taraf sosial-ekonomi keluarga Indonesia, khususnya keluarga miskin.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021, belanja rokok masih menjadi pengeluaran tertinggi rumah tangga miskin di perkotaan dan perdesaan setelah konsumsi beras. Dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di pedesaan. Angka tersebut hanya lebih rendah dari konsumsi beras dan lebih tinggi dari pengeluaran untuk protein seperti daging, telur, tempe, serta ikan.
Hasil studi dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia yang membuktikan 1 persen peningkatan belanja rokok meningkatkan potensi kemiskinan rumah tangga sebesar 6 persen.
Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau menyatakan, manusia yang sehat, produktif, dan cerdas adalah durable capital bagi negara. Kalau sampai rusak oleh rokok, maka akan sangat berbahaya.
“Hasil riset yang menunjukkan bahwa pengendalian rokok berdampak pada kerugian ekonomi negara itu keliru. Konsumsi rokok justru sebagai jebakan kemiskinan”, ungkap Hasbullah.
Dalam kesempatan yang sama, Nancy Dian Anggraeni, Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit, Kemenko PMK menegaskan latar belakang pengendalian konsumsi tembakau dan rokok elektronik adalah karena adanya peningkatan konsumsi rokok dan rokok elektronik yang berdampak pada Penyakit Tidak Menular (PTM), kematian, kerugian ekonomi makro, dan stunting. Nancy menjelaskan, pemerintah sudah mengatur regulasi tentang pengamanan zat adiktif ini, dulunya ada dalam PP No. 109 Tahun 2012 kemudian melalui revisi dan masuk dalam PP No. 28 Tahun 2024. Ia menjelaskan di dalamnya sangat jelas tujuan pengamanan zat adiktif. Tidak hanya menurunkan prevalensi perokok dan mencegah perokok pemula tetapi juga menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat merokok.
“PP ini menjadi acuan bagi kementerian dan lembaga untuk diimplementasikan,” kata Nancy.
Teguh Dartanto, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menambahkan dari sisi ekonomi, biaya yang timbul akibat konsumsi rokok meliputi beban biaya kesehatan. Biaya akibat merokok itu sangat besar bisa sampai Rp410 triliun. Biaya ini jauh lebih besar daripada pendapatan cukai rokok. Studi tentang regulasi kemasan polos, larangan jualan, iklan rokok akan mengakibatkan kerugian ekonomi bagi negara, patut menjadi topik perdebatan.
“Kemungkinan besar ini hanya dari satu sisi, sehingga hasilnya tampak luar biasa. Padahal orang yang tidak beli rokok bisa dialihkan konsumsinya ke yang lain.”
Menurut kajian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) di tahun 2019, biaya kesehatan akibat merokok mencapai Rp17,9-27,7 triliun setahun. Dari total biaya ini, Rp10,5 – 15,6 triliun merupakan biaya perawatan dari badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Biaya tersebut setara 20-30 persen dari besaran subsidi Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per tahun sebesar Rp48,8 triliun dari kantong APBN.
Yurdhina Meilissa, Chief Strategist Center for Indonesia’s Strategic Development Indonesia (CISDI), menambahkan bahwa pro-kontra soal rokok dalam kebijakan pasti akan selalu ada. Maka, perlu ada kesepakatan arah dan tujuan mengendalikan konsumsi tembakau.
CISDI melakukan studi yang kurang lebih sama dengan yang dilakukan INDEF. Yurdhina menjelaskan, orang tidak membeli rokok jelas industri rokok turun. Namun pengalihan konsumsi dari rokok ke produk lain, misal membeli baju, membeli produk yang lain itu masih nett positive.
“Kita punya beberapa pemodelan bahkan sampai 45% kenaikan cukai, itu masih nett positive. ”
Melalui diskusi publik ini para narasumber sepakat bahwa argumentasi yang menyatakan pengendalian tembakau membuat “boncos” negara adalah kekeliruan dan kesalahpahaman. Sebaliknya, berbagai negara yang telah memberlakukan pengendalian konsumsi produk zat adiktif ini secara komprehensif justru bisa mendapat “cuan” dengan perbaikan produktivitas penduduknya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post