Sepuluh tahun berlalu, 196 negara pernah berkomitmen dalam Perjanjian Paris. Salah satunya membatasi kenaikan suhu rata-rata global di angka 1,5 derajat Celcius pada tahun 2030. Perjanjian Paris terutama memperhatikan negara-negara berkembang yang masih menggunakan bahan fosil dalam mengolah energi dan bahan bakunya.
Mariana Lyrio Public Policy Advisor Observatorio do clima (Brazilian Climate Observator) menyoroti bagaimana komitmen Presiden Lula Da Silva dalam menurunkan suhu panas global pada 2030. Menurutnya, pemerintahan saat ini sedang mempersiapkan paket RUU yang melegalkan deforestasi, penggundulan lahan, dan penghancuran pada sungai Amazon.
Ia menjelaskan, dokumen yang menyoroti 30 dari RUU paling regresif yang sedang dibahas Kongres dan sebagian besarnya terkait dengan penggundulan hutan dan fleksibilitas.
“Padahal, melihat bahwa pemerintah Brasil telah berbicara tentang mengakhiri deforestasi pada tahun 2030. Ini adalah sesuatu yang mereka rencanakan untuk dilakukan tetapi masalahnya transisi dari bahan bakar fosil tidak pernah terjadi di Brasil,” katanya di acara diskusi ‘Memperingati 15 tahun perjanjian paris yang dilakukan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Mariana melanjutkan Lula yang terpilih 2023 malah jadi pihak yang melakukan eksplorasi minyak dan terdapat laporan-laporan yang valid. Jelas ini amat bertentangan dengan ambisi penguasa yang dalam pidatonya berbicara tentang iklim menjadi salah satu point utama. Akibatnya, ini akan menjadi kontradiksi besar.
“Jadi Brasil berjanji untuk mengakhiri deforestasi pada tahun 2030. Janji ini dibuat oleh Lula, dibuat dalam salah satu pidato pertamanya.”
Mariana menambahkan Perjanjian Paris yang bertujuan untuk jadi tempat komitmen para pemimpin dunia untuk mengantisipasi perubahaan iklim telah gagal.
“Menurut kami bahwa perjanjian ini gagal mengatasi penghentian bahan bakar fosil sehingga itu adalah kunci utama,” tegasnya.
Di samping hambatan yang ada di regulasi yang menyerang seperti RUU kongres dan anti lingkungan, serta pengawas desa yang tidak bergerak dalam berkontribusi COP30 acara negara yang menyoroti krisis iklim.
Dalam situasi itu, kondisi tak kalah jauh berbeda juga terjadi di Filipina. Danize Marie Lukban Pengamat Kebijakan Iklim Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC) asal Filipina, menjelaskan bahwa negaranya selama ini mempunyai target posisi Filipina. Target pengurangan emisi sebesar 75 persen (2020-2030) dari skenario baru sebesar 3.340 MtCO2e. Danize melihat posisi Filipina belum sepenuhnya sejalan dengan apa yang ada di perjanjian paris posisi Filipina.
“Ambisi tinggi di atas kertas, tetapi komitmen domestiknya terbatas,” katanya.
Menurut Danzie implementasi perjanjian paris tergantung pada dukungan internasional dari mulai pendanaan, pembiayaan untuk riset dan implementasi tim. Namun, pemerintah bisa melakukan upaya peningkatan dari mengembangkan jalur dekarbonisasi sektoral (energi, transportasi).
Bella Nathania Direktur Program, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyoroti kondisi dan situasi yang ada Indonesia. Di Indonesia pada tahun 2015 memiliki target pengurangan gas rumah kaca sebesar 29 persen tanpa syarat. Lalu 41 persen bersyarat juga pada target yang sama coba ditiru di NDC atau Nationally Determined Contribution pertama tahun 2016 juga di NDC yang diperbarui pada tahun 2021. Namun ICEL melihat peningkatan target dengan pengurangan gas rumah kaca sebesar 31,8 persen tanpa syarat dan 43,2 persen bersyarat.
“Saya dapat mengatakan mengenai proses pengajuan NDC kedua yang baru saat ini jadi sebelum pemerintahan bertransisi. Pada tahun 2024 Indonesia sudah siap mengajukan draf NDC kedua ke sekretariat, tetapi sayangnya dengan perubahan target ekonomi dan prioritas pemerintahan baru. NDC kedua Indonesia ditolak lagi,” ujar Bella.
Ia menyatakan, ada upaya-upaya untuk tidak transparan dari para pemangku kepentingan. Misalnya, saat ingin melihat masyarakat atau orang-orang pada umumnya pemerintah tidak benar-benar tahu di mana prosesnya sekarang. “Ini salah satu perbedaan besar selain dari selain dari proses yang tidak saya dapat katakan cukup transparan,”
Giovani pengamat kebijakan German Watch menyatakan bahwa Perjanjian Paris juga mempunyai salah satu sisi positif dari seperti peningkatan karbon dioksida CO2.
“Kita dapat mengevaluasi Jerman, beberapa negara utara sebagai contoh dan kemudian ketika kita berbicara tentang kebijakan luar negeri. Ini untuk kebijakan luar negeri iklim biasanya itu adalah dikotomi antara negara-negara selatan global yang meminta uang dan global utara yang menganggapnya bahwa hal semacam ini hilang.”
Danzie menambahkan ada hal yang besar yang masyarakat sipil dan organisasi sipil perlu lakukan. Masyarakat bisa melihat dan menggunakan untuk menyatukan prioritas garis iklim dengan pembangunan ekonomi.
“Salah satunya misalnya, di bawah jalur transisi yang adil yang telah berlangsung selama beberapa tahun dan negosiasi perjanjian harga.”
Mariana, Bella dan Giovani menyebut kekuatan masyarakat sipil penting dalam mengawal Perjanjian Paris. Peran yang penting saat ini adalah komitmen para pemimpin negara berkembang serius dengan implementasi yang nyata. Menurut Giovani peran semua pemangku jabatan untuk mendukung Perjanjian Paris dalam target membatasi suhu panas dunia 1,5 tahun 2030.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post