Ketika melahirkan putri kedua pada Juni 2021, Gemala (bukan nama sebenarnya) seorang perempuan berusia 30 tahun sempat mengalami masalah kesehatan fisik dan mental selama hamil. Bagaimana tidak, kala itu pandemi Covid-19 tengah mencatatkan kenaikan kasus yang tinggi akibat varian Delta, suaminya teridentifikasi kontak erat dengan salah satu pasien positif. Untung saja, segenap anggota keluarga Gemala dinyatakan negatif melalui tes PCR sehingga proses persalinan berjalan lancar.
Gemala mengenang pada semester pertama pasca melahirkan, ia rajin bertandang ke Puskesmas Sehat Sejahtera di wilayah Bogor Barat, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Berbagai aktivitas seperti imunisasi dan pemantauan tumbuh kembang anak menjadi prioritas Gemala untuk sang putri, Prisia (bukan nama sebenarnya).
“Anak saya sudah lengkap untuk imunisasi dasar sampai usia enam bulan. Nah, untuk vaksin PCV pun yang pertama sudah disuntik pada usia 4 atau 5 bulan, sebelum bulan keenam sudah kok,” kata Gemala kepada Prohealth.id.
Tak hanya Gemala, pasangan muda Fabian Praska dan Blessia Elmena mengaku telah menuntaskan imunisasi untuk putra sulung mereka, Raynar (13 bulan) sesuai jadwal dan anjuran dokter anak di RS. Carolus Salemba.
“Sejak melahirkan Raynar, kami memutuskan langsung ikut program imunisasi dari rumah sakit. Semua sudah diatur jadwalnya sesuai arahan dokter maupun petunjuk teknis dari Kementerian Kesehatan,” ungkap Blessia, kepada Prohealth.id.
Ada beberapa alasan Fabian dan Blessia fokus melakukan konsultasi tumbuh kembang anak di rumah sakit ketimbang posyandu. Selain karena faktor kenyamanan dengan dokter yang sudah mengurus Blessia pra kelahiran, menurut Fabian kesimpangsiuran kondisi Covid-19 membuat pasangan ini bersepakat mencari lokasi yang aman. “Kalau di rumah sakit pasti kan safety. Kami pun berencana pindah rumah ke Pondok Cabe, kami cari yang tidak ribet untuk urus administrasinya,” tutur Fabian.
Raynar yang lahir pada April 2021 lalu sempat mengalami penundaan vaksinasi oleh rumah sakit akibat penyebaran Covid-19. Untung saja, penundaan itu tidak berlangsung terlalu lama. Fabian dan Blessia menyebut beberapa langkah efektif misalnya imunisasi drive-thru yang dilakukan di mobil agar anak tetap mendapatkan hak vaksinasi.
“Jadi meski ada banyak kendala, vaksinasi Raynar tuntas, termasuk vaksinasi PCV itu sudah sampai yang ketiga, tinggal booster saja,” jelas Blessia.
Pneumococcal conjugate vaccine atau PCV, biasa disebut vaksin pneumokokus adalah jenis vaksin untuk mencegah infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae yang menyebabkan pneumonia pada anak. Maklum saja, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada 25.481 kematian balita tahun 2017 karena infeksi pernapasan akut.
Pneumonia pun tak hanya menular melalui udara misalnya dari batuk atau bersin, tetapi juga melalui darah, khususnya selama atau setelah kelahiran. Penularan juga bisa terjadi melalui permukaan yang terkontaminasi.
Dengan faktor penyebab yang cukup banyak mengintai anak, Gemala mengaku cemas namun imunisasi PCV kedua untuk Prisia belum dia lakukan karena biaya yang digelontorkan terbilang besar. Berdasarkan Jadwal Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), vaksin PCV seharusnya diberikan dalam 3 kali dosis dasar dan 1 kali dosis boosting dengan target mulai usia 2 bulan, 4 bulan, lalu 6 bulan, dan booster pada usia 12-15 bulan.
Seperti yang dialami pasangan Fabian-Blessia, Gemala menyebut jadwal imunisasi Prisia juga mundur akibat merebaknya varian Delta kala itu. Belum lagi, harga untuk satu kali suntikan vaksin PCV terbilang cukup mahal yakni sekitar Rp1-1,5 juta. Hal ini disebabkan rata-rata penyuntikan vaksin PCV tidak banyak dilakukan di posyandu.
“Saya akhirnya mengakses PCV itu bersamaan dengan vaksin rotavirus, dan itu tidak di posyandu, tetapi di sebuah klinik daerah Bintaro. Posyandu dan puskesmas disini saya sudah keliling dan tidak menyediakan PCV,” ungkap Gemala.
Sejauh ingatan Gemala, dia menggelontorkan sekitar Rp1,2 untuk vaksin PCV dan rotavirus pada 2021 lalu. Untung saja, biaya imunisasi masih bisa dibiayai oleh asuransi kantor sang suami. Dia mengaku akan sangat sulit mengeluarkan uang sebesar itu dalam waktu singkat tanpa asuransi.
“Saya jadi berpikir karena setelah konsultasi dengan kenalan bidan, PCV tidak wajib sampai booster. Karena kalau harus mengeluarkan uang sebesar itu sampai tiga kali, cukup terbebani juga keuangan dan tabungan keluarga,” sambung Gemala.
Tak terhindarkan, harga yang cukup mahal ini juga dialami oleh Fabian dan Blessia. Sejauh ingatan Blessia, dia dan suami mengeluarkan sekitar Rp1,3 juta saat penyuntikan vaksin PCV dosis pertama. Biaya itu tak hanya untuk biaya vaksin saja, tetapi juga biaya administrasi dan biaya konsultasi rumah sakit sekitar Rp400.000.
“Nanti di bulan Juli, baru Raynar bisa dapat vaksin PCV lagi yang booster, karena usianya sudah 15 bulan,” sambung Fabian yang mengaku harus meronggoh kas pribadi untuk menuntaskan imunisasi putranya.
Berdasarkan pantauan Prohealth.id, harga vaksin PCV memang berkisar dari Rp750.000 sampai Rp1,2 juta. Tak hanya didistribusikan melalui fasilitas kesehatan, vaksin PCV bahkan ditawarkan melalui toko belanja online, salah satunya di Tokopedia. Prohealth.id menemukan, Mayapada Clinic Tangerang misalnya menawarkan vaksin PCV untuk dewasa di Tokopedia dengan harga asli Rp1,4 juta dengan diskon 26 persen menjadi Rp1,05 juta.
Upaya Pengendalian Harga
Sulitnya mengakses vaksin PCV akibat harga memotivasi pemerintah ingin mengendalikan harga. Terbukti pada April 2021 lalu Indonesia menerima 1,6 juta dosis pertama vaksin PCV dengan harga yang turun berkat mekanisme GAVI Advance Market Commitment (AMC). Pasalnya, proses pengadaan vaksin PCV tersebut dibantu oleh UNICEF guna mencegah 500.000 kasus pneumonia anak. GAVI sendiri adalah bentuk kolaborasi sektor publik dan swasta mendistribusikan vaksin secara merata dan menjangkau negara-negara kurang mampu.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun mengakui kerja sama ini menunjukkan komitmen pemerintah terhadap layanan kesehatan primer termasuk pencapaian imunisasi PCV. Vaksin yang diterima pertengahan 2021 itu rencananya akan didistribusikan ke Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Jawa Timur.
“Ditargetkan imunisasi PCV ini dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia pada tahun 2024,” ungkap Budi dikutip dari situs resmi UNICEF Indonesia.
Tahun ini, vaksinasi PCV telah masuk sebagai imunisasi dasar rutin yang akan disebarkan ke seluruh Indonesia. Budi menyebut pemerintah Indonesia menargetkan cakupan vaksin PCV sebesar empat juta anak per tahun. Adapun anak yang melewatkan jadwal, maka pemerintah akan melaksanakan strategi vaksin “susulan” alias imunisasi kejar.
Strategi Percepatan Akibat Pandemi
Kementerian kesehatan menerangkan, kini vaksin PCV masuk dalam introduksi vaksin baru rutin per 2022. Meski terbilang belia, vaksin ini sebenarnya mulai dikenalkan pada masyarakat pada 2017. Menurut Dr. Mei Neni Sitaresmi, PhD, Sp.A(K), Sekretaris Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), terlepas dari harga yang mahal, vaksin PCV harus menjangkau semua anak Indonesia mengingat penyebab kematian bayi dan balita yang tinggi adalah pneumonia atau radang paru-paru, diare (rotavirus), infeksi otak, dan campak.
Prof. DR. Dr. Soedjatmoko Sp.A(K), M.Si, selaku Anggota Satgas Imunisasi IDAI menambahkan hal ini perlu jadi perhatian karena target capaian imunisasi dasar dan lengkap pada bayi sepanjang 2018-2021 menurun. “Penurunan cakupan imunisasi ini signifikan sejak pandemi. Anak yang tidak mendapat imunisasi rutin bisa menyebabkan gagalnya herd immunity alias kejadian luar biasa atau wabah.”
Untuk mencegah terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB), Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan, dr. Imran Agus Nurali, SpKO mengatakan imunisasi dasar rutin dan lengkap merupakan solusi untuk mencegah KLB, sekalipun faktor pembatasan sosial masih menjadi penyebab utama rendahnya capaian imunisasi.
“Apabila anak tidak mengalami imunisasi lengkap dia bisa sakit, cacat, bahkan meninggal dunia. Maka harus tetap imunisasi, sekalipun posyandu tidak aktif,” tegas dr. Imran.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, dr. R. Nina Susana Dewi, Sp.PK(K), M.Kes., MMRS menjelaskan selama pandemi Covid-19, pihaknya menganjurkan segenap petugas kesehatan daerah untuk menjalankan imunisasi sesuai jadwal kepada warga yang berdomisili di Jawa Barat. Oleh karena itu, dr. Nina ingin agar petugas fasilitas kesehatan bisa mengejar target imunisasi dengan mencontoh masifnya pelaksanaan vaksinasi Covid-19. Misalnya dengan melakukan imunisasi kejar, terutama dalam Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) yang dimulai per Mei 2022.
“Imunisasi kejar untuk 12-59 bulan ini untuk melengkapi status imunisasi anak yang belum lengkap. Pelaksanaan bisa di puskesmas, drive-thru, atau posyandu keliling,” tutur dr. Nina.
Penguatan Kesadaran Masyarakat dan Kader Posyandu
Plt. Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan, Dr. Prima Yosephine, MKM menerangkan hampir sebagian besar prevalensi pneumonia di Indonesia mengalami kenaikan. Lagi-lagi akibat pandemi, tercermin dari capaian deteksi kasus pneumonia sejak dua tahun terakhir masih rendah dengan rata-rata nasional 34,81 persen.
“Oleh karena itu, tahun 2022 ini kita masukkan PCV masuk dalam program imunisasi nasional seluruh Indonesia. Ini memberi percepatan untuk perlindungan anak Indonesia terhadap pneumonia,” tuturnya.
Agar orang tua tak ragu, Dr. Prima pun menjamin vaksin PCV yang beredar diberikan secara gratis dan sudah tersertifikasi izin edar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang dikemas multidose. Selain itu, orang tua tak perlu cemas karena sejak PCV disuntikkan pertama kali di wilayah NTB pada 2017-2019, tidak ada temuan serius kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI).
“Kami terus koordinasi introduksi PCV dengan semua provinsi, sampai pelatihan orientasi pelaksanaan PCV di beberapa provinsi,” tuturnya.
Lebih lanjut, Dr. Prima menyebut pentingnya dukungan Asosiasi Dinas Kesehaan untuk melakukan advokasi kepada pimpinan daerah mensukseskan PCV. Selain peran dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota, penting juga kesadaran tenaga kesehatan di puskesmas, dan posyandu dalam pelaksanaan introduksi imunisasi PCV di wilayahnya masing-masing untuk memastikan hak anak bernapas lega tanpa ancaman pneumonia.
Penasihat Program Kesehatan dan Nutrisi Save The Children Indonesia, dr. Firda Yani mengakui masih ada tantangan untuk meningkatkan kesadaran kader posyandu, tenaga kesehatan di puskesmas, maupun orang tua akan pentingnya vaksinasi PCV. Misalnya saja, saat program introduksi vaksin PCV digelar di NTB, dr. Firda masih mendapatkan temuan rendahnya pemahaman tenaga kesehatan terkait vaksin PCV. Berangkat dari kejadian itu, Save The Children menyusun strategi dengan menambah kapasitas tenaga medis, sampai kader posyandu. Dia pun menjamin, Save The Children akan terlibat dalam upaya advokasi level pemerintah daerah sampai pemerintah pusat untuk mengakselerasi program vaksin PCV.
“Kami sekarang menekankan di puskesmas-puskesmas, segera melakukan sweeping, siapa saja anak yang belum melakukan vaksinasi PCV agar bisa mengejar ketinggalan,” tutur dr. Firda.
Dia juga mengapresiasi langkah Kementerian Kesehatan memasukkan vaksinasi PCV sebagai imunisasi dasar rutin. Keputusan ini menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia meningkatkan level kekebalan anak terhadap pneumonia.
Editor: Afwan Purwanto
Discussion about this post