Rokok elektrik kini menjadi tren di kalangan anak muda. Global Adult Tobacco Survey (GATS) menemukan terjadinya lonjakan yang signifikan pada perokok elektrik dari rentang tahun 2011 hingga 2021. Prevalensi penggunaan rokok elektronik meningkat 10 kali lipat, dari yang tadinya 0,3 persen pada tahun 2011 menjadi 3 persen pada tahun 2021.
MH, 22 tahun merupakan mahasiswa UIN Jakarta yang menjadi salah satu pengguna rokok elektrik. MH mengungkapkan awal mula merokok karena terpengaruhi oleh lingkungan pertemanan. Sebelum menggunakan rokok elektrik, dirinya terlebih dahulu mencoba rokok konvensional. Namun, ia merasa kurang cocok karena rokok konvensional meninggalkan rasa pahit.
“Lingkungan pertemanan hampir semuanya pada merokok, coba merokok tapi tidak cocok karena after taste ada rasa pahitnya. Terus iseng mencoba vape punya teman, lalu beli sendiri dan akhirnya cocok sampe sekarang,” tuturnya, Jumat, 2 Februari 2023 lalu.
Sementara itu AA, 22 tahun mengungkapkan alasan awal mencoba vape karena sedang banyak pikiran. Sebagai pelarian atas kondisi tersebut, ia memutuskan untuk mencoba vape. Menurut AA, rokok elektrik membuat dirinya merasa tenang dan sebagai bahan pelampiasan saat merasa stres.
Pakar Sosiologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ida Rasyidah mengungkapkan alasan pesatnya pertumbuhan perokok di kalangan mahasiswa disebabkan karena rasa kecanduan yang diberikan oleh rokok. Menurutnya jika seseorang sudah kecanduan, maka akan sulit untuk melepaskan diri dari kecenderungan untuk merokok.
Ida menjelaskan, saat ini banyak mahasiswa yang memutuskan beralih ke rokok elektrik karena menganggap serius bahaya rokok konvensional. Peralihan tersebut dikarenakan anggapan rokok elektrik memiliki dampak negatif lebih sedikit. Namun, Ida juga menegaskan bahwa tren baru itu juga tetap membawa dampak negatif.
“Ketika ada tawaran di mana mereka masih bisa merokok tetapi memberi dampak negatif yang lebih sedikit, tentu mereka akan memilih itu. Secara rasional sebenarnya mereka tahu itu buruk, tetapi karena sudah menjadi suatu kebiasaan sehingga sulit untuk dihilangkan,” katanya, Jumat 3 Februari lalu.
Selain itu fenomena perokok di kalangan mahasiswa juga disebabkan oleh pengaruh rekannya. Menurut Ida, saat ini di lingkungan masyarakat masih banyak stigma yang melekat dan menganggap merokok adalah bagian dari gaya hidup.
Sementara itu latar belakang mahasiswa UIN Jakarta yang kebanyakan berasal dari pesantren mengakibatkan mereka meniru apapun kegiatan yang dilakukan oleh kiai termasuk merokok. Hal tersebut akhirnya membentuk pola pikir mereka dan beranggapan bahwa rokok bukanlah sesuatu yang haram dan dilarang.
Menciptakan Kawasan Tanpa Rokok
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Arief Subhan mengungkapkan terkait regulasi larangan merokok merujuk pada kode etik mahasiswa. Dalam kode etik mahasiswa, sebenarnya telah terdapat aturan terkait larangan merokok di UIN Jakarta. Namun, kenyataannya masih banyak ditemukan civitas academica yang kedapatan merokok di kawasan kampus. Hal itu dikarenakan masih minimnya sanksi yang diberikan kepada pelanggar. Jika menilik kode etik, hukuman bagi para pelanggar merupakan sanksi yang bersifat akademis seperti teguran lisan hingga teguran tertulis.
Merespon kebijakan itu, Ida menyebutkan larangan saja tidak cukup untuk mengentaskan kecanduan rokok yang dialami mahasiswa. Hal itu dibuktikan masih banyaknya mahasiswa yang kedapatan merokok secara sembunyi-sembunyi di lingkungan kampus.
“Jadi kita sering melihat di gedungnya terdapat tulisan dilarang merokok tapi masih banyak ditemukan puntung rokok di sekitarnya,” ungkapnya.
Kepala Bagian (Kabag) Kemahasiswaan UIN Jakarta, Ikhwan menerangkan aturan yang dikeluarkan terkait larangan merokok harus disertai dengan sanksi. Menurutnya jika aturan diterapkan secara tegas, maka civitas academica secara tidak langsung akan ikut mematuhinya. Ia menjelaskan bahwa kode etik di UIN Jakarta sudah bernilai hukum bagi mahasiswa.
“Kalau terjadi masalah mengacu pada kode etik, sebenarnya itu bernilai hukum juga,” ucap Ikhwan, Rabu, 1 Februari 2023 lalu.
Ikhwan mengungkapkan terdapat faktor kunci untuk mewujudkan kampus bebas asap rokok. Keberhasilan tersebut dapat tercapai jika terdapat regulasi tegas yang disertai sanksi dan sumber daya manusia yang menegakan aturan tersebut.
Berdasarkan kondisi yang terjadi di Kampus UIN Jakarta, Ida Rasyidah menjelaskan kawasan tanpa rokok di lingkungan pendidikan dapat tercipta secara maksimal jika ada aturan yang tegas disertai dengan sanksi. Kalau sudah dibuat Surat Keputusan (SK) tentang larangan merokok harus dijalankan secara jelas.
“Kalau cuma sekedar aturan tapi tidak diterapkan ya cuma sekedar himbauan. Menurut saya perlu ada ketegasan terkait larangan merokok dan pelanggarannya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ida mengungkapkan bahwa aturan yang tegas dan disertai dengan dukungan dari seluruh civitas academica merupakan kunci penerapan kawasan tanpa rokok di UIN Jakarta. Selain itu penting juga menumbuhkan kesadaran untuk tidak merokok di lingkungan kampus.
“Semua lini itu bersama-sama mendukung untuk tidak adanya toleransi bagi perokok untuk bisa merokok. Jadi ruang itu semua ditutup, sehingga kemudian dapat tercipta kawasan tanpa rokok di UIN Jakarta,” tuturnya.
Reporter: Aldy Rahman
Liputan ini mendapat dukungan hibah (fellowship) dari Aliansi Jurnalis Independen Kota Jakarta untuk pers mahasiswa dengan tema ‘Menyoroti Lemahnya Regulasi Penjualan Rokok Elektrik’.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat dalam LPM Institut pada 7 Maret 2023.
Discussion about this post