Jakarta, Prohealth.id – Sejumlah organisasi masyarakat sipil memberikan surat berisi somasi kepada Menteri Kesehatan untuk mencabut aturan tentang implementasi vaksinasi karena dicemaskan akan merugikan publik jika nanti jaminan kesehatan itu dikenakan biaya.
Dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Sabtu (31/7/2021), LaporCovid-19, YLBHI, ICW, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, Lokataru, Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Forum Bantuan Hukum Untuk Kesetaraan (FBHUK) memberikan somasi kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, untuk segera mencabut dan/atau membatalkan ketentuan pada Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Vaksinasi
dalam rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), yang mengatur tentang vaksin berbayar.
Ada banyak alasan-alasan atas dilayangkannya somasi tersebut. Pertama, pada angka 5 Pasal 1 Permenkes No. 19 Tahun 2021, berbunyi: Vaksinasi Gotong Royong adalah pelaksanaan vaksinasi COVID-19 kepada individu/orang perorangan yang pendanaannya dibebankan kepada yang bersangkutan, atau pelaksanaan vaksinasi Covid-19 kepada karyawan atau karyawati, keluarga atau individu lain terkait dalam keluarga yang pendanaannya ditanggung atau dibebankan pada badan hukum/badan usaha.
Kedua, dalam masa pandemi Covid-19 vaksin merupakan salah satu intervensi pengendalian pandemi yang berperan besar dalam menyelamatkan nyawa manusia, namun ketika ketersediaan vaksin Covid-19 masih terbatas, vaksin Covid-19 adalah barang publik, sehingga adalah tidak etis jika pemerintah menerbitkan kebijakan perolehan vaksin dengan metode mandiri atau berbayar.
Ketiga, dari sisi ketersediaan vaksin saat ini pun masih belum menjangkau seluruh target yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu sebanyak 208.265.720 penduduk. Hal ini bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan di atasnya yakni kewajiban Memenuhi Hak atas Kesehatan Warga Negara.
Somasi ini menjelaskan, sejak awal ditemukan kasus pertama Covid -19 di Indonesia pada awal Maret 2020, data Kementerian Kesehatan menunjukkan hingga tanggal 27 Juli 2021 total angka pasien positif mencapai 3.239.936, total angka sembuh 2.596.820, total angka meninggal 86.835. Dengan kasus aktif 556.281 orang.
Oleh karena itu, pemerintah mentargetkan 208.265.720 masyarakat untuk divaksin selama kurun waktu kurang lebih satu tahun.
Namun sejak dimulainya program vaksin di Indonesia awal tahun 2021 diawali oleh penyuntikan vaksin kepada Presiden Jokowi pada tanggal 13 Januari 2021, hingga tanggal 27 Juli 2021 baru 45.278.549 alias 21,74 persen saja orang telah mendapatkan vaksin dosis pertama. Ada 18.666.343 orang telah mendapatkan vaksin dosis kedua sebanyak 8,96 persen.
Sesuai dengan janji Presiden Joko Widodo secara tegas menyatakan vaksinasi Covid-19 untuk seluruh warga negara yang dapat diperoleh secara gratis. Presiden juga telah memberikan instruksi untuk mempercepat pelaksanaan vaksin, dengan target 2 juta pemberian vaksin per hari.
Namun pernyataan Jokowi ini masih bertolak belakang dari kondisi yang terjadi saat ini. Pasalnya, masih banyak warga negara yang masuk dalam kategori rentan, belum mendapatkan akses vaksin. Bahwa, terdapat lebih dari 20 persen tenaga kesehatan di provinsi Papua, lebih dari 15 persen di provinsi Maluku, dan provinsi lainnya yang belum mendapatkan vaksin.
Oleh sebab itu, Kementerian Kesehatan seharusnya berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Bappenas, dan Kementerian terkait lainnya untuk memperoleh solusi atas permasalahan ketentuan administrasi kependudukan yang kerap menjadi hambatan dalam memperoleh akses untuk vaksin. Kondisi ini tentu bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan di atasnya yakni kewajiban Melindungi Hak Warga Negara untuk Sehat. Apalagi jika merujuk pada UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Pasal 14 ayat (1) berbunyi; Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Pada Pasal 16 berbunyi; Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Sementara pada Pasal 19 tertulis; Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya Kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau. Begitu pula pada Pasal 62 ayat (1) berbunyi; Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau kegiatan lain untuk menunjang tercapainya hidup sehat. Pada pasal yang sama, Psal 62 ayat (2) juga tertulis; Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/ atau masyarakat untuk menghindari atau mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit.
Selain itu, dalam kewajiban Hak Asasi Manusia, maka setelah kelompok pertama pemberian vaksin untuk kelompok esensial selesai dilaksanakan, selanjutnya warga negara yang dikategorikan sebagai kelompok rentan antara lain; tenaga kesehatan, mereka yang memiliki komorbiditas, lansia, perempuan adat, warga binaan, masyarakat pedalaman dan perbatasan, masyarakat miskin kota, kelompok difabel, mereka wajib diperhatikan dan diberikan program afirmasi untuk mendapatkan vaksin.
Bahwa ketentuan ini juga bertentangan dengan Asas Umum Pemerintahan yang baik yakni Asas Kepastian Hukum dan Asas Pengharapan yang layak, dimana Presiden Republik Indonesia telaj membuat pernyataan secara terbuka bahwa Vaksin akan dilakukan gratis untuk seluruh rakyat Indonesia.
Somasi ini menegaskan, bahwa vaksin berbayar menambah beban ekonomi masyarakat di saat pandemi Covid-19 menimbulkan persoalan medis yang serius, sekaligus berdampak signifikan terhadap kebutuhan ekonomi masyarakat. Saat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan ekonominya tapi dibebani dengan kebijakan vaksin berbayar praktis menguras finansial masyarakat.
Pada sisi lain masyarakat yang hendak mengakses vaksin yang berlaku saat ini berbenturan dengan waktunya untuk bekerja. Dalam situasi ini masyarakat mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasarnya. Sementara skema untuk memberikan kompensasi terhadap masyarakat yang ingin mendapatkan vaksin dalam waktu kerja tidak ada sama sekali.
Kondisi ini menghambat orang untuk mendapatkan vaksin, sehingga dengan adanya penerapan kebijakan vaksin berbayar menjadi faktor penghambat orang untuk mendapatkan vaksin;
Selain itu, saat ini di beberapa tempat mensyaratkan untuk mendapatkan vaksin menunjukan keterangan kerja dari tempat kerja. Kebijakan ini sulit didapatkan terhadap pekerja sektor informal atau pekerja lepas/harian yang tidak memiliki status hukum ketenagakerjaan yang jelas.
Dalam konteks kebijakan vaksin saat ini yaitu vaksin gotong royong, kesulitan yang dihadapi pekerja sektor informal/lepas dan harian akan menimbulkan keterlambatan mengikuti program vaksinasi gotong royong. Keterlambatan ini beresiko menghadapi atau mendorong mengikuti kebijakan program vaksin berbayar. Padahal vaksin berbayar menimbulkan beban finansial yang serius dan tidak mudah mengeluarkan biaya untuk vaksin pada saat kebutuhan dasar semakin menipis dan sulit.
Organisasi masyarakat sipil juga menilai vaksinasi yang berjalan saat ini direspon beberapa perusahaan yang menginisiasi peraturan yang memuat persyaratan telah mengikuti program vaksin untuk melamar pekerjaan.
Di tengah persoalan dan tantangan mendapatkan akses vaksin gotong royong, dalam konteks vaksin berbayar tentu persyaratan telah mengikuti vaksin bukan solusi tepat bagi pihak yang melamar pekerjaan. Sebab dalam tujuan melamar pekerjaan berharap dapat bekerja dan mendapatkan upah.
Sementara dalam kondisi tidak memiliki pekerjaan karena tidak memiliki penghasilan/upah menyulitkan mendapatkan vaksin berbayar. Saat darurat kesehatan masyarakat akibat pandemi Covid-19 Pemerintah seharusnya lebih fokus untuk mengalokasikan sumber dana dan sumber daya untuk penyempurnaan tata kelola pelaksanaan vaksin bagi seluruh rakyat Indonesia, ketimbang membagi sumber dayanya untuk mempersiapkan vaksin berbayar.
“Bahwa menurut kami, pembatalan ketentuan vaksin berbayar tidak cukup hanya disampaikan secara verbal, karena sebagai negara hukum, pembatalan terhadap ketentuan hukum harus dilakukan dengan penerbitan peraturan yang setingkat, demi menjamin kepastian hukum. Sehingga, walaupun kami menyambut baik pernyataan Bapak Presiden tentang pembatalan vaksin berbayar, namun menilik pada ketidakonsistenan yang selama ini kami rekam, maka Permenkes dimaksud harus segera dicabut,” tegas aliansi ini dalam surat somasi.
“Berdasarkan hal-hal di atas Kami meminta Menteri Kesehatan segera mengeluarkan Permenkes untuk mencabut kententuan pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dalam waktu 7 hari atau 7×24 Jam, jika dalam waktu tersebut tidak dipenuhi kami akan melakukan langkah-langkah hukum dan konstitusional sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” tegasnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post