Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat terdapat lebih dari 70 juta perokok di Indonesia. Meski masyarakat menormalisasi rokok, kini perilaku merokok menimbulkan perdebatan antara hak individu untuk merokok dan hak masyarakat untuk menikmati udara bersih.
Dalam momentum peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia tahun ini yang jatuh setiap tanggal 10 Desember, perlu kiranya merefleksikan ironi antara kebebasan merokok sebagai hak individu dan hak masyarakat untuk hidup di lingkungan yang sehat.
Pengakuan atas Hak Asasi Manusia pertama tertuang dalam Magna Charta tahun 1215 di Inggris. Selanjutnya masih berkembang dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini mengatur 30 pasal yang menjamin hak-hak dasar, termasuk hak hidup, kebebasan berekspresi, dan hak atas kesehatan. Namun, dokumen ini juga menggarisbawahi bahwa kebebasan individu tidak bersifat absolut.
Prinsip Siracusa, yang berlaku secara internasional, menjelaskan bahwa ada pembatasan atas hak individu. Tujuannya demi melindungi kepentingan umum, termasuk kesehatan masyarakat. Dalam konteks ini, kebebasan merokok sebagai pilihan pribadi dapat dibatasi untuk memastikan masyarakat luas terlindungi dari bahaya paparan asap rokok.
Sayangnya, perilaku merokok telah lama menjadi bagian integral dari kebiasaan masyarakat Indonesia. Merokok sering kali sebagai simbol identitas diri, kedewasaan, dan status sosial. Persepsi ini makin kuat akibat strategi pemasaran agresif industri rokok yang mengaitkan produknya dengan maskulinitas, gaya hidup modern, dan keterjangkauan bagi semua kalangan.
Melalui iklan yang menarik, sponsorship acara besar, dan minimnya pembatasan terhadap penjualan, terutama kepada anak-anak dan remaja, industri rokok telah menciptakan ilusi bahwa produk ini aman dan layak dikonsumsi oleh semua kalangan. Akibatnya, kesadaran publik terhadap dampak kesehatan dan sosial dari merokok menjadi semakin teredam dan rantai kerusakan semakin sulit putus.
Alhasil, perilaku merokok yang tidak terkendali akan menciptakan dampak yang meluas. Asap rokok kini memenuhi ruang publik yang seharusnya menjadi tempat nyaman dan aman bagi semua orang. Bahkan kini mengancam hak masyarakat atas udara bersih.
Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan bahwa sekitar 120 juta penduduk Indonesia terpapar asap rokok, baik di ruang privat seperti rumah tangga maupun ruang publik. Lebih memprihatinkan, data Persatuan Kardiologi Indonesia (PERKI) 2018 mencatat sekitar 40 juta balita menjadi korban perokok pasif.
Secara global, laporan WHO 2020 mengungkapkan lebih dari 1 miliar perokok aktif di dunia, dengan lebih dari 8 juta kematian setiap tahun akibat asap rokok. Angka ini sudah termasuk 1,2 juta perokok pasif yang tidak pernah memilih untuk terpapar. Bahkan, sekitar 65 ribu anak meninggal setiap tahun akibat paparan asap rokok. Artinya, anak-anak menjadi korban terbesar dari perilaku merokok di sekitarnya.
Paparan asap rokok tidak hanya merusak kualitas hidup, tetapi juga memberikan dampak kesehatan yang fatal dalam waktu singkat. Dalam lima menit, arteri menjadi kurang fleksibel. Dalam 20-30 menit, risiko serangan jantung meningkat, dan paparan berkelanjutan dapat menyebabkan aritmia atau serangan jantung. Pada anak-anak, asap rokok meningkatkan risiko asma, infeksi pernapasan, stunting, dan sindrom kematian bayi mendadak (Sudden Infant Death Syndrome atau SIDS).
Hak individu untuk merokok adalah bagian dari kebebasan pribadi yang diakui. Namun, kebebasan ini tidak dapat mengesampingkan hak orang lain untuk hidup sehat dan bebas dari paparan asap rokok. Dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM), keseimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan masyarakat harus dijaga. Kebebasan merokok seharusnya tidak mengorbankan hak orang lain untuk menghirup udara bersih. Prinsip Siracusa, menegaskan bahwa ada pembatasan hak individu demi kepentingan umum, termasuk perlindungan terhadap kesehatan masyarakat. Pembatasan ini juga mendapat jaminan dalam Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 71 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ruang publik seharusnya menjadi tempat yang dapat menunjang hak masyarakat luas untuk menikmati udara yang bersih dan lingkungan yang nyaman, terutama untuk anak-anak, perempuan hamil, dan masyarakat non-perokok. Hak mereka untuk hidup sehat dan bebas dari ancaman asap rokok harus mendapatkan jaminan dan penghormatan. Sebagaimana hak perokok untuk memilih merokok juga dihargai. Namun, merokok menimbulkan dampak kolektif yang merugikan, terutama bagi perokok pasif. Hal ini menjadi alasan penting kebiasaan merokok perlu ada peraturan yang tegas. Kebebasan merokok tak mengabaikan kewajiban melindungi kesehatan orang lain. Menyadari konsekuensi dari tindakan tersebut akan memungkinkan kita mengatasi paradoks antara hak merokok dan hak untuk menghirup udara bersih.
Regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan salah satu solusi strategis untuk melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan pemerintah daerah untuk menetapkan tujuh tatanan KTR, meliputi fasilitas kesehatan, tempat pendidikan, tempat bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan ruang publik lainnya. Kebijakan terbaru, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan (PP 28/2024) juga memuat penguatan aturan mengenai KTR. Harapannya, aturan ini akan lebih melindungi masyarakat.
Namun, keberhasilan penerapan KTR bergantung pada kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus menunjukkan komitmen nyata melalui penegakan regulasi yang konsisten, pemberian sanksi tegas terhadap pelanggaran, dan edukasi publik yang intensif. Di sisi lain, masyarakat perlu berperan aktif dengan mematuhi aturan, melaporkan pelanggaran, dan membangun kesadaran bersama tentang pentingnya lingkungan yang sehat.
Pemerintah dan masyarakat perlu memperkuat kolaborasi melalui strategi terintegrasi. Misalnya dengan memperluas cakupan KTR hingga kawasan pemukiman, mengedukasi dampak asap rokok sejak dini, dan mengapresiasi komunitas yang berhasil menciptakan lingkungan bebas rokok. Dengan langkah ini, kita dapat mewujudkan visi masyarakat yang hidup dalam lingkungan bersih, sehat, dan bebas dari ancaman asap rokok.
Melalui momentum Hari HAM Sedunia ini, kesadaran akan pentingnya menghormati dan tidak merenggut hak orang lain untuk hidup sehat harus mendapatkan perhatian dan kebijaksaan semua orang. Masa depan Indonesia yang lebih baik tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa. Bersama, kita dapat memastikan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk hidup sehat dan menikmati udara bersih.
Penulis: Astri Hanna Grace Waruwu
Peneliti Muda Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI)
Discussion about this post