Dalam webinar bertajuk “Masihkah Pemerintah Berkomitmen Menurunkan Prevalensi Perokok Anak Sesuai Mandat RPJMN 2020-2024” yang diadakan Lentera Anak pada Kamis (28/7/2022), seorang anak perempuan bernama Ulfa membeberkan sebuah fakta mencengangkan. Adik dari Ulfa, yang masih duduk di bangku 5 sekolah dasar (SD) ternyata dengan mudah membeli rokok elektronik melalui took belanja daring alias market place. Sang adik ternyata nekat membeli rokok tersebut dengan bermodalkan uang hadiah Lebaran. Ulfa yang juga aktif dalam, Departemen Penelitian dan Pengembangan Indonesia Youth Council for Tobacco Control (IYCTC) otomatis cemas dengan kenyataan bahwa sang adik sudah merokok.
“Saat itu memang adik saya tidak mengakui awalnya dia membeli rokok elektrik, dia masih bohong, karena orang tua melarang. Orang tua saya memarahi adik saya pada kejadian pertama, yang kata dia (adik Ulfa) rokok itu milik temannya,” tutur Ulfa.
Kebohongan tersebut jelas membuat murka orang tua Ulfa. Bersama dengan sang kakak, Ulfa mencoba menggali kejujuran si adik. Hal ini mengingat sudah banyak anak-anak SD di lingkungan rumah Ulfa sudah banyak yang aktif menggunakan rokok elektronik. Menurut pengakuan Ulfa, rata-rata anak SD ini membeli rokok elektronik dengan uang sisa jajan mereka yang ditabung.
“Mereka anak-anak SD banyak melihat rokok elektronik di Tiktok, di Instagram, di Youtube. Dia masih pakai email dari kakak-kakaknya, jadi kami bisa cek di bagian history search itu dia cari tentang vape, seperti apa kapas dan per, liquidnya seperti apa, cara menggunakannya, semua informasinya mudah sekali didapatkan di internet,” tutur Ulfa.
Ulfa mengakui rata-rata rokok yang dibeli melalui toko online ini mengirimkan perlengkapannya secara terpisah. Berkaca dari kasus sang adik, awalnya produk yang dikirimkan melalui jasa kurir itu adalah liquid jenis rasa-rasa dari rokok elektronik. Baru lalu dikirimkan lagi per dan kapasnya.
“Hal ini sangat mengkhawatirkan karena anak sekarang handphone memang diawasi tetapi mereka juga menggunakan ini untuk sekolah, apalagi masih sekolah online. Jadi mereka pegang handphone sendiri untuk sekolah. Maka video-video ini jangan sampai diakses anak-anak dan mereka jangan sampai dibuat video yang sampai detail begitu dan tidak bisa diakses anak-anak SD dan SMP yang mulai suka coba-coba,” ungkap Ulfa.
Lain lagi kisah M (bukan nama sebenarnya) salah satu perokok anak membeberkan, awalnya hanya seringkali menyisihkan sebagian besar uangnya untuk membeli rokok. “Saya beli rokok ketengan yang Rp5000 dapat 3,” ujar M mengakui dia tetap membeli rokok sekalipun uang jajan yang dia miliki sangat terbatas.
Dia menjelaskan hanya butuh lima langkah saja, M bisa menemukan toko kelontong dekat rumahnya yang menjual rokok ketengan tersebut. Sekalipun M menyadari bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan, apalagi bagi anak-anak, namun dia tetap mencoba rokok tersebut.
“Kelas 1 SMP sampai naik kelas 2 SMP saya pernah coba berhenti, setahun saja, lalu saya coba lagi saat kelas 2 naik ke kelas 3 saya merokok lagi.”
Adanya tuntutan dalam pergaulan yang semua teman-temannya merokok, M kembali mencoba rokok dan akhirnya ketagihan kembali.
Cerita unik lainnya datang Rin (bukan nama sebenarnya), salah satu mahasiswa di Jawa Timur. Dia menjelaskan, dia sudah berhenti merokok konvensional namun kini mengonsumsi rokok elektronik. Dia menilai rokok elektronik tidak sama dengan rokok, bahkan, dia menyebut dirinya sudah me
“Saya berhenti rokok konvensional itu baru-baru ini, sekitar April 2022 lalu. Lalu saya coba ke vape (rokok elektronik),” tuturnya.
Banyak kawan-kawan dalam lingkaran pergaulan Rin yang beralih ke rokok elektronik. Tak pelak, hal itu ikut mempengaruhi Rin untuk juga mencoba rokok elektronik.
Dalam webinar tersebut, Rin juga mengakui rokok elektronik sebaiknya tidak digunakan oleh anak-anak di bawah 17 tahun. Menyoal kejadian yang dialami Ulfa, aksesibilitas sang adik terhadap rokok elektronik juga dikarenakan dia memiliki akun-akun media sosial dengan menggunakan email para kakak, yang mana, kakak-kakaknya sudah berusia di atas 17 tahun sehingga bisa mengakses konten atau iklan rokok elektronik.
“Maka itu saya setuju kalau rokok elektronik juga diatur oleh pemerintah.” Menurut Rin rokok elektronik memiliki kandungan kimia yang tidak berbahaya seperti rokok konvensional. Misalnya saja, kadar nikotin dalam rokok elektronik jauh lebih kecil dari nikotin dalam rokok konvensional. Dia menyebut rokok elektronik sebagai produk alternatif dan menjadi jembatan bagi para pecandu rokok untuk beralih dari konvensional ke elektronik.
Anak tidak sadar menjadi korban
Menanggapi cerita-cerita ini, Oktavian Denta dari IYCTC menjelaskan dalam temuan dan kajian yang dilakukan IYCTC, rokok elektronik adalah bentuk bisnis baru dari industri tembakau. Dia memastikan bahwa kandungan dalam rokok elektronik sama bahayanya dengan rokok konvensional. Menurut Denta, rokok konvensional juga memiliki kandungan seperti nikotin dan formalin yang berdampak buruk bagi Kesehatan. Jadi, jika dikatakan rokok elektronik lebih aman, faktanya justru rokok jenis ini lebih berbahaya karena punya dampak yang lebih tinggi bagi pecandunya.
Tak hanya itu, Denta juga sangat mengkhawatirkan masifnya iklan rokok elektronik di internet. Selain itu, hasil investigasi yang dilakukan IYCTC juga menemukan betapa mudahnya anak mengakses rokok elektronik melalui toko daring (market place), dan betapa mengkhawatirkannya narasi menyesatkan yang sudah mempengaruhi anak muda bahwa merokok elektronik lebih terlihat keren dan gaul.
Beberapa temuan yang tak kalah mencengangkan kata Denta, semakin banyak saja anak-anak SD dan SMP yang bisa saling bertukar cara pembelian rokok elektronik. Misalnya, si A membeli untuk si B, dan sebaliknya. “Jadi dari cerita Ulfa dan ada banyak juga yang di daerah, beberapa responden kami menyatakan dia bisa beli sendiri rokok elektronik dan mempelajari caranya di rumah, melalui Tiktok,” tutur Denta.
Dia berharap dengan sejumlah kasus dan temuan IYCTC, pemerintah seharusnya segera mengatur rokok elektronik. Negara tetangga seperti Timor Leste pun sudah melakukan pengaturan atas distribusi dan konsumsi rokok elektronik.
“Maka kami mendorong pemerintah segera merevisi PP 109/2012 dan segera memperkuat aturan iklan, promosi, sponsor, rokok elektronik utamanya di media sosial,” pungkas Denta.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post