Bertepatan menuju hari peringatan kemerdekaan RI yang ke-79, masyarakat dikagetkan dengan pemberitaan bunuh diri. Korban yang adalah dokter progam pendidikan dokter spesialis (PPDS) di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) membangkitkan keriuhan masyarakat. Sudahkah Indonesia bebas dari budaya kekerasan?
Dokter Aulia Risma Lestari (30), korban bunuh diri adalah mahasiswa PPDS di Universitas Diponegoro, Semarang. Berdasarkan penelusuran Prohealth.id, indikasi masalah kesehatan mental dan jiwa akibat tekanan perundungan menjadi penyebabnya. Dokter Aulia Risma kerap mencurahkan isi hati dan beban yang ia alami karena desakan dan tuntutan dari para senior di program PPDS. Tak heran, jika Aulia Risma bahkan pernah mengadu ke orang tua untuk mundur dari pendidikan PPDS.
Kematian Dokter Aulia tentu membangkitkan kembali kewaspadaan universitas di lingkungan akademik agar bebas dari perundungan atau bullying. Di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung, dengan tegas memberikan sanksi kepada 10 orang terduga pelaku perundungan di PPDS bedah saraf, Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Melalui siaran pers, Dekan FK Universitas Padjajaran, Dandi Supriadi menyatakan dari level rektorat, fakultas, hingga pimpinan rumah sakit, agar menjamin keamanan dan kenyamanan peserta didik dari ancaman perundungan. Apalagi, perundungan di lingkungan akademis kedokteran. Cara taktis misalnya dengan melakukan penindakan tegas dan cepat kepada terduga pelaku kekerasan tesebut.
Secara terpisah, mewakili Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmizi dari Biro Komunikasi Publik menyatakan pemerintah juga serius untuk menangani masalah perundungan ini. Ia menjelaskan dalam kasus kematian dokter Aulia, pembinaan dan pengawasan PPDS ada pada Pendidikan Dokter Spesialis FK Universitas Diponegoro. Bukan pada RS Kariadi sebagai unit dari Kemenkes.
“Walau demikian Kemenkes sudah bergerak cepat dan tegas untuk menginvestigasi kejadian ini,” tuturnya.
Siti Nadia menjamin bahwa Tim Itjen Kemenkes sudah turun ke RS Kariadi untuk menginvestigasi pemicu bunuh diri peserta didik tersebut. Tujuannya untuk memastikan unsur perundungan tersebut. Oleh karenanya, proses investigasi ini akan mencakup kegiatan korban selama bekerja dan belajar di RS Kariadi.
“Walau PPDS ini program Undip, Kemenkes tidak bisa lepas tangan karena yang bersangkutan juga melakukan pendidikannya di lingkungan RS Kariadi sebagai UPT Kemenkes,” sambungnya.
Dengan demikian, penghentian sementara kegiatan PPDS Anastesi Universitas Diponegoro di RS Kariadi untuk memberikan kesempatan investigasi dapat berjalan baik. Proses akan aman karena bebas potensi intervensi dari senior atau dosen kepada juniornya serta memperbaiki sistem yang ada.
“Kami juga meminta Universitas Diponegoro dan Kemendikbud turut membenahi sistem PPDS.”
Ia menjamin, seperti sikap para pimpinan perguruan tinggi, Kemenkes juga tidak sungkan melakukan tindakan tegas pada pelaku perundungan. Misalnya dengan mencabut SIP dan STR, jika ada dokter senior yang melakukan praktek perundungan hingga mengakibatkan kematian.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post