Jakarta, Prohealth.id – Pertemuan kelima para pihak dari Konvensi Minamata tentang merkuri berakhir hari Jumat, 3 November 2023 pukul 5 sore waktu Jenewa.
Pertemuan ini bertepatan dengan peringatan sepuluh tahun Konvensi yang mengatur kesepakatan global tentang merkuri. Saat ini, 147 negara telah menjadi negara pihak dari Konvensi Minamata.
Yuyun Ismawati, pendiri dan Senior Advisor dari Nexus3 Foundation dari Jenewa menyatakan sepuluh tahun setelah Konvensi Minamata tentang Merkuri diadopsi oleh 128 negara.
“Banyak perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai berkat kerjasama semua pemangku kepentingan,” katanya, melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Minggu (5/11/2023).
Kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan dalam pertemuan kelima para pihak tahun ini menjadi dasar pertimbangan untuk melakukan aksi bersama untuk 10 tahun ke depan. Namun demikian, penanganan pencemaran merkuri yang semakin meluas, penghentian perdagangan merkuri untuk kegiatan tambang emas skala kecil, dan intervensi kesehatan bagi masyarakat yang mengalami keracunan merkuri masih belum mendapat perhatian serius dari semua pihak.
“Kami berharap pada COP-6 akan ada perkembangan dan komitmen yang lebih ambisius dari semua negara pihak, termasuk Indonesia, untuk melindungi kesehatan publik, keberlanjutan lingkungan dan keanekaragaman hayati,” ujarnya.
Pada COP-5 (the Conference of the Parties), para negara pihak mengadopsi beberapa kesepakatan baru dan menetapkan tenggat waktu penghapusan tambal gigi merkuri, nilai ambang batas merkuri dalam limbah, merkuri dalam kosmetik, dan memberi kesempatan kepada masyarakat adat (indigenous peoples) yang terdampak oleh pencemaran merkuri di lokasi-lokasi tambang emas skala kecil.
Kesepakatan penting pertama, menindaklanjuti Deklarasi Bali yang diluncurkan Indonesia pada COP-4, pemantauan perdagangan merkuri diperketat, pemberantasan perdagangan ilegal merkuri diperkuat dengan kerjasama lintas organisasi internasional. Dalam resolusi kesepakatan, para negara pihak juga harus melaporkan stok merkuri nasional serta melaporkan keberadaan sumber-sumber merkuri baik informal, formal, legal maupun ilegal dalam periode pelaporan berikutnya.
Kesepakatan penting kedua, merkuri dalam tambang gigi. Pada awal konvensi ini disepakati, hanya mendorong para negara pihak untuk melakukan pengurangan atau phase down. Namun berdasarkan pengalaman di beberapa negara berkembang, salah satunya Indonesia, tambal gigi merkuri bisa dihapuskan dan dilarang penggunaannya untuk semua aplikasi, bukan hanya untuk anak-anak dan perempuan hamil. Sehingga pada pertemuan COP-5 ini, tambal gigi amalgam diusulkan untuk dihapuskan (phase-out) pada tahun 2030 dan masuk ke dalam Annex A, dan untuk diputuskan pada COP-6 tahun 2025.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan lewat Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun 2019 sudah melarang penggunaan tambal gigi amalgam sejak 2019, termasuk alat kesehatan lain yang mengandung merkuri (termometer dan tensimeter). Namun demikian, penanganan alat kesehatan yang mengandung merkuri yang sudah ditarik belum mendapat penanganan dan penyimpanan yang serius serta berisiko digunakan untuk mengekstraksi emas.
Kesepakatan penting ketiga, tentang nilai ambang batas limbah merkuri. Setelah melalui proses konsultasi dan diskusi selama tujuh tahun, akhirnya thresholds untuk konsentrasi merkuri dalam limbah disepakati secara global. Perdebatan tentang konsentrasi nilai ambang batas ini cukup alot karena negara-negara Afrika meminta konsentrasi yang cukup ketat; awalnya 1 mg/kg atau paling tidak 10 mg/kg, karena tidak mau jadi tempat pembuangan limbah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara maju, menginginkan konsentrasi nilai ambang batas limbah merkuri 25 mg/kg.
Setelah melalui dua hari perdebatan di Contact Group hingga larut malam, akhirnya disepakati nilai konsentrasi 15 mg/kg. Menurut International Pollutant Elimination Network (IPEN), kelompok pegiat lingkungan yang mengadvokasi masa depan bebas racun, nilai ini tidak protektif karena membuka peluang limbah yang mengandung merkuri dibuang ke negara berkembang dan mencemari lingkungan.
Kesepakatan penting keempat, COP-5 mengadopsi proposal untuk menghapuskan kosmetik yang sengaja menambahkan merkuri sebagai bahan pengawet pada tahun 2025. Namun, usulan amandemen untuk memperketat batas merkuri dalam kosmetik untuk dilarang total gagal mencapai konsensus. Sebaliknya, delegasi mendukung usulan untuk melakukan penelitian lagi. Padahal laporan WHO pada tahun 2019 sudah menyerukan tindakan untuk mengakhiri penggunaan merkuri dalam kosmetik karena membahayakan kesehatan konsumen.
Hasil sampel beberapa produk kosmetik produk negara lain yang dijual di Indonesia 95 PERSEN mengandung merkuri lebih nesar dari 1 ppm dan rentang konsentrasi merkuri dalam produk kosmetik pemutih wajah berkisar antara 1.18 ppm hingga 64.700 ppm. Di Indonesia, Peraturan Kepala BPOM No. 17 tahun 2022 menetapkan konsentrasi merkuri dalam kosmetik yang diizinkan maksimal 1 ppm.
Kesepakatan penting kelima, partisipasi aktif dari masyarakat adat atau indigenous peoples dalam pertemuan-pertemuan Konvensi Minamata tentang merkuri. Berangkat dari fakta dan keprihatinan terdesak dan terdampaknya masyarakat adat di berbagai negara oleh kegiatan tambang emas ilegal yang menggunakan merkuri, Kaukus Masyarakat Adat, memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi lebih besar dalam pertemuan terkait merkuri.
Hal ini juga berkaitan dengan keberlanjutan lingkungan di berbagai negara di Amerika Latin yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati dan tercemar merkuri sebagaimana dilaporkan dalam the Global Biodiversity Outlook (2020) dan laporan UN Special Rapporteur on Toxics and Human Rights (2022) tentang merkuri, tambang emas skala kecil, dan HAM.
Kesepakatan penting keenam, COP5 mengadopsi keputusan tentang kerjasama antara Sekretariat Konvensi Minamata dengan Montreal-Kunming Global Biodiversity Framework terutama untuk mencapai Target 7. Tragedi Minamata 70 tahun yang lalu mengajarkan kita bahwa memulihkan lahan dan perairan yang terdegradasi akibat pencemaran merkuri merupakan tugas yang paling berat bagi setiap negara, terutama negara-negara berkembang.
Pembersihan Teluk Minamata dan pengerukan lumpur di Teluk Minamata memakan waktu 14 tahun dan biaya sekitar 350 juta USD. Pemulihan keanekaragaman hayati dan kerusakan ekosistem memberi pesan yang jelas mengenai dampak buruk pencemaran merkuri, terutama akibat kegiatan tambang emas ilegal yang menggunakan merkuri.
Konvensi Minamata tentang merkuri adalah perjanjian global untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak buruk merkuri. Indonesia mengadopsi Konvensi Minamata tahun 2013 di Kumamoto bersama 127 negara lainnya dan meratifikasi Konvensi Minamata tahun 2017.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post