Jakarta, Prohealth.id – Pelbagai regulasi baik di tingkat nasional sampai dengan daerah sudah menghadirkan regulasi terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ini.
Namun regulasi tersebut sering disambut lontaran komentar bahwa merokok merupakan hak asasi.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi menyatakan merokok mungkin sering disebut sebagai itu hak asasi. Namun hal itu sebenarnya tidak tepat kalau merokok dikatakan sebagai hak asasi.
“Yang tepat adalah merokok itu merupakan hak,” ucap Tulus dalam sambutannya di Webinar Nasional “Implementasi Kawasan Tanpa Rokok Untuk Perlindungan Kesehatan Konsumen” yang diadakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada Jumat, 13 Oktober 2023 lalu.
Dia melanjutkan, banyak merokok ini hanya hak. “Antara hak asasi dengan hak itu berbeda. Levelnya tentu lebih tinggi asasi,” tuturnya.
Ia menegaskan terlindungi atau terbebas dari paparan asap rokok di tempat umum, tempat kerja, dan angkutan umum merupakan hak asasi. Oleh karena itu implementasi KTR menjadi terasa penting sekali mengingat masih banyak yang melakukan pelanggaran.
Asal tahu saja, sejumlah negara sudah sampai pada tingkat rumah bebas asap rokok. Kalau ada yang merokok maka dia keluar rumah untuk melindungi anggota keluarganya dari paparan asap rokok.
“Nah, sekali lagi KTR menjadi sebuah instrumen untuk melindungi masyarakat agar mendapatkan hak asasinya. Yaitu hak sehat, hak nyaman, hak udara bersih, dan hak asasi lainnya. Sedangkan merokok itu hanya hak yang tidak boleh sembarangan diimplementasikan atau dilakukan di sembarang tempat,” terang Tulus.
Tak hanya itu, lokasi wisata yang nyaman dan terbebas dari asap rokok bisa dijumpai di luar negeri. Situasi tersebut dirindukan di Indonesia ketika melancong sehingga tidak terpapar oleh gangguan-gangguan itu.
Dukungan penerapan KTR di sektor pariwisata ini diuraikan Direktorat Standarisasi Sertifikasi Usaha Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Retno Bertha.
Inisiatif ini dilakukan di sektor pariwisata melalui sertifikasi CHSE ketika COVID-19 berlangsung pada 2020-2021. Upaya sertifikasi tersebut guna menjamin kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan sehingga meningkatkan kepercayaan konsumen di tengah tren wisata yang berubah saat dan pasca pandemi.
CHSE sementara ini masih dalam taraf pengembangan namun Retno menyebutkan penerapan KTR nantinya akan diintegrasikan di CHSE. Retno menyebut pihaknya sedang menyusun bersama Kementerian Koordinator Perekonomian dan akan mengkaji ulang standar usaha yang sudah diterbitkan tahun 2021 tersebut untuk di 2024 ini menerbitkan standar usaha yang memasukkan unsur KTR.
“Dalam penyusunan standar tersebut tentunya mengajak para asosiasi sektor pariwisata dan pelaku usaha,” ungkapnya.
Langkah sosialisasi dan pendekatan kesadaran dilakukan. Termasuk menyediakan tempat khusus untuk merokok.
“Perlu kita sosialisasikan supaya lebih mudah diserap oleh masyarakat. Tentunya para perokok bukan tidak boleh merokok di semua tempat. Tetapi tempat merokoknya disediakan di tempat tertentu sehingga tidak mengganggu konsumen lainnya,” tambah Retno.
Sementara instruksi, aturan, dan putusan terkait terkait larangan merokok di atas kereta api dimulai sejak 2012 karena hal itu berkaitan dengan Undang-Undang Kesehatan yang memuat KTR di poin angkutan umum dan tempat umum.
Vice President Public Relation PT Kereta Api Indonesia Joni Martinus menjelaskan, ada instruksi dari Direksi PT Kereta Api Indonesia pada 2014 tentang larangan merokok di rangkaian kereta api.
“Kemudian muncul lagi instruksi dari Direksi PT Kereta Api Indonesia pada 2015 bahwa semua perjalanan di kereta api adalah perjalanan tanpa asap rokok,” jelas Joni.
Pengumuman larangan merokok disampaikan melalui audio secara periodik di seluruh rangkaian kereta api selama perjalanan. Baik melalui bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ini dilakukan karena ada juga turis atau penumpang mancanegara yang melakukan perjalanan menggunakan kereta api. Sedangkan syarat dan ketentuan menggunakan kereta api sudah disebutkan sejak mengakses aplikasi penjualan tiket maupun di media sosial.
Di stasiun kereta, KTR diterapkan dengan pemasangan penanda larangan merokok berupa stiker atau papan larangan. Namun area merokok disediakan secara terbatas di tempat-tempat yang sudah ditentukan.
Sementara Research and Development Department dari Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) Oktavian Denta memaparkan peran orang muda dalam pengendalian tembakau dan mendorong KTR.
Menurutnya, jumlah penduduk Indonesia itu di bawah usia 40 tahun saat ini 107 juta. Tetapi usia produktif ini rentan penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, maupun diabetes, sehingga menjadi sumber kerugian negara, menghambat bonus demografi, dan tidak bisa menjadi sumber pendapatan bagi keluarganya serta dirinya sendiri.
Hal ini faktor utama pemicunya adalah perilaku. Seperti mengonsumsi makanan siap saji, kurang mengonsumsi sayur dan buah, mengonsumsi minuman bersoda, kurang beraktivitas fisik terutama ketika masa pandemi, dan paling tinggi adalah perilaku merokok. Perilaku merokok sebagai dampak iklan, promosi, dan sponsorship dari perusahaan rokok.
Oleh karena itu Oktavian memandang hal tersebut perlu dikendalikan. Seperti dengan menegakkan KTR yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Meskipun di KTR melarang iklan dan produksi rokok, kadang-kadang masih saja ditemukan pelanggaran.
“Setelah tahu regulasinya bahwa rokok itu berbahaya sekarang bagaimana peran generasi muda untuk bisa memperjuangkan implementasi KTR? Yang paling simpel adalah suarakan,” tegas Denta.
Langkah sederhana bisa dimulai dengan mempelajari peraturannya. Lokasi mana yang membolehkan merokok dan melarang dipetakan. Kemudian diadvokasi ketika ada pelanggaran-pelanggaran. Misalnya ketika ditemukan puntung rokok di KTR.
“Kita mulai dengan hal yang kecil. Cari puntung rokok itu lalu buktikan kepada pimpinan instansi terkait bahwa di sini ternyata implementasinya kurang. Bila tidak berani secara langsung mungkin bisa lewat surat atau mungkin memakai layanan aduan yang dimiliki beberapa instansi dan daerah,” tutur Denta.
Oktavian menyebutkan hal itu bisa digunakan untuk menyuarakan sehingga bisa menggetarkan pemangku kebijakan dan bisa membuat suara kita menjadi lebih bermakna.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post