KONTRIBUSI terhadap pendapatan asli daerah (PAD) sering dijadikan tameng para penolak kebijakan pelarangan atau pembatasan reklame rokok. Tameng yang terbukti tidak lebih dari sekadar mitos. Tengoklah apa yang terjadi di Kota Bogor.
Pada 2008, ada 372 iklan rokok yang diizinkan mejeng di sudut-sudut kota. Mereka menyumbang pajak pendapatan sebesar Rp 3 miliar ke total PAD sebesar Rp 80 miliar. Di tahun-tahun berikutnya, jumlah iklan rokok terus anjlok, sementara sebaliknya besaran PAD terus bertambah. Iklan rokok berizin betul-betul nol di sekujur kota sejak 2013. Pada tahun yang sama, Pemkot Bogor mencatat PAD yang melonjak hingga Rp 464 miliar.
“Jadi omong-kosong (pelarangan) iklan rokok berdampak pada PAD. Justru tanpa iklan rokok, PAD kita terus naik,” kata Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto dalam sebuah lokakarya di Bogor, awal Oktober 2016 lalu.
Kebijakan anti-tembakau di Kota Bogor dimulai jauh sebelum Bima Arya menjabat. Pada 2009 Pemkot menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 12 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Setahun berselang, terbit Peraturan Wali Kota Nomor 7 tentang Petunjuk Pelaksana Perda KTR. Implementasinya, Pemkot tidak memperpanjang izin penyelenggaraan reklame rokok. Di akhir tahun, jumlah iklan rokok berizin tinggal 77 titik.
Keputusan tidak memperpanjang izin penyelenggaraan reklame rokok terus dilakukan pada tahun-tahun berikutnya. Penguatan dari aspek hukum juga dikerjakan. Pada 2014, terbit Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 3 tentang Larangan Penyelenggaran Reklame Produk Rokok di Kota Bogor. Setahun berselang, Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Iklan Reklame disepakati bersama DPRD Kota Bogor. Larangan reklame rokok termuat dalam peraturan tersebut.
Selengkapnya baca: Mitos Rokok Penopang PAD
Sumber: Pikiranrakyat.com
Penulis: Tri Joko Her Riadi
Discussion about this post