Pemberhentian masa jabatan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta berkaitan dengan mekanisme administrasi sesuai penuntasan masa jabatan yang berakhir tahun ini.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI telah bersurat ke DPRD DKI Jakarta terkait Usulan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang Masa Jabatan Berakhir Pada Tahun 2022. Hal itu juga merujuk pada Surat Edaran Kemendagri Nomor 131/2188/OTDA.
Sesuai Surat Edaran tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diamanatkan untuk melaksanakan rapat paripurna guna mengusulkan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur kepada Presiden dengan melampirkan risalah dan berita acara rapat paripurna.
Dikutip dari situs resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, meski diberhentikan pada 13 September 2022, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan tetap bisa menentukan kebijakan jelang berakhirnya masa jabatan pada 16 Oktober 2022.
Kepala Biro Hukum DKI Jakarta, Yayan Yuhana menegaskan keputusan tersebut tak menyalahi aturan penentuan kebijakan. “Gubernur memiliki tugas dan tanggung jawab, termasuk dalam mengambil kebijakan menurut aturan berlaku,” terang Yayan.
Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi dan Anggota Fraksi PDI Perjuangan menyatakan, Gubernur Anies dilarang membuat kebijakan strategis jelang satu bulan terakhir masa jabatan. Dia menjelaskan sebulan terakhir yang dimaksud terhitung setelah rapat paripurna pengumuman pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta yang digelar hari ini 13 September, hingga 16 Oktober 2022.
Menurut Yayan, jika larangan tersebut didasarkan pada pasal 71 ayat (2) dan (3) UU No.10/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang, maka Undang-undang tersebut tidak membuat Gubernur Anies menyalahi aturan.
“Karena ketentuan dalam pasal tersebut dikhususkan untuk kepala daerah yang akan mengikuti seleksi pemilu, sedangkan tahun 2022 tidak ada pemilu,” ungkap Yayan.
Selain itu berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014, tidak terdapat pengaturan mengenai tugas dan wewenang Gubernur selama (1) satu bulan masa jabatan berakhir. Dengan demikian dapat disimpulkan tugas dan wewenang Gubernur tetap mengacu kepada Pasal 65 UU No.23/2014.
“Karena itu ketentuan ini atau ketentuan lainnya yang ada pada rezim pengaturan pemilihan Gubernur, tidak dapat dijadikan dasar atau diberlakukan kepada Gubernur dalam jabatan normal dan tidak sedang mengikuti pelaksanaan pilkada (peserta pilkada),” tegas Yayan.
Adapun ketentuan tersebut bersifat khusus (lex spesialis) dalam kaitannya dengan pembatasan pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur pada masa pemilihan Gubernur. Hal ini diperjelas dengan klausul pasal 71 ayat (5) yang menyebutkan dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Selain itu, Yayan juga menyatakan bahwa Paripurna terkait Pengumuman Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2022 oleh DPRD DKI Jakarta, hanya merupakan rangkaian proses administrasi semata.
“Paripurna hanya sebagai rangkaian proses administrasi untuk pengumuman pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur. Tidak ada kewenangan yang berubah atau berkurang, semua masih sama,” tandas Yayan.
Gantungnya Raperda KTR
Salah satu kebijakan yang saat ini masih dalam proses penantian adalah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Berdasarkan wawancara eksklusif tim Prohealth.id dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria pada Juni 2022 lalu, dia menegaskan bahwa Raperda KTR yang bertujuan mengendalikan dampak zat adiktif bisa dirampungkan tahun ini. Riza menyebut, dia dan Anies Baswedan punya komitmen meninggalkan legacy kebijakan untuk menurunkan prevalensi perokok, khususnya perokok anak. Meski demikian, belum ada informasi lanjutan terkait nasib draf raperda KTR saat ini.
Secara tersirat dalam proses wawancara, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria memang menyebu adanya banyak prioritas dalam isu kesehatan masyarakat di DKI Jakarta. “Tanpa bermaksud mengurangi urgensi Perda KTR, pada saat ini upaya pencegahan dan pengendalian tembakau di DKI Jakarta dapat berjalan dengan cukup baik melalui regulasi-regulasi daerah terkait rokok.”
Hal tersebut kata Ariza berkaitan dengan beberapa kebijakan yang sudah pernah diluncurkan oleh Pemprov DKI Jakarta. Sebut saja misalnya, aturan tentang pencemaran udara sampai Seruan Gubernur tentang Kawasan Tanpa Rokok.
“Beberapa pembatasan tentang rokok sudah diterapkan lebih dulu dibandingkan provinsi lain. Misalnya Pergub Kawasan Dilarang merokok, Kebijakan Strategis Daerah, Instruksi Sekda, Seruan Gubernur, yang semuanya berupaya mengutamakan kesehatan masyarakat Jakarta. Tentu, kami akan terus berupaya memperjuangkan Perda KTR akan masih berlanjut, sampai akhirnya semua warga Jakarta mendapatkan hak menghirup udara bersih dan sehat tanpa asap rokok,” ungkap Ariza.
Berdasarkan penelusuran Prohealth.id, selama ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang tidak pernah mengesahkan secara tegas tentang Kawasan Tanpa Rokok. Meski demikian, ada sejumlah aturan yang pernah disahkan oleh beberapa gubernur sebelumnya tentang menjaga udara bersih sampai pengendalian konsumsi rokok melalui pajak reklame rokok dan iklan rokok.
Meski demikian, dari grafis di atas dapat disimpulkan bahwa sejak masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, belum ada inovasi untuk pengendalian perokok di tengah gempuran inovasi produk tembakau dan kreasi iklan produk rokok elektronik.
Pada masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), draf Raperda KTR juga pernah menjadi pembahasan di level DPRD DKI Jakarta sekitar tahun 2016. Namun raperda tersebut tidak kunjung selesai seiring dengan alotnya pembahasan di level legislatif dan selesainya masa jabatan Ahok-Djarot.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Prohealth.id, raperda KTR akhirnya menjadi pembahasan ulang yang diambil alih oleh eksekutif pada masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pembahasan tersebut sempat tertunda dua tahun terakhir akibat energi eksekutif yang diprioritaskan untuk penanganan Covid-19. Alhasil, raperda ini baru kembali disentuh dan dibahas oleh level eksekutif pada awal 2022 seiring dengan terkendalinya kasus penularan Covid-19.
Kini, pemberhentian status kepemimpinan Anies Baswedan dan Ahmad Riza Patria tentu memicu tanda tanya, seperti apa kelanjutan nasib Raperda KTR? Akankah sama seperti nasib draf tersebut enam tahun yang lalu tergantung antara eksekutif dan legislatif?
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post