Jakarta, Prohealth.id — Ketua Indonesian Health Economics Association (InaHEA) Prof. Hasbullah Thabrany mengkhawatirkan pembangunan manusia Indonesia, khususnya generasi muda umat Islam. Pasalnya, tingginya prevalensi perokok anak bertentangan dengan pandangan ilmu kesehatan yang menginginkan masyarakat yang sehat dan produktif
Banyak hal yang berhubungan dengan perilaku mengakibatkan kesia-siaan dan ditengarai tidak memberi manfaat bagi sesama dan lingkungan, bahkan terkesan mubazir.
“Mengapa saya bilang mubazir, karena kalau kita hitung-hitung paling tidak sekitar Rp400 triliun setahun dibakar untuk merokok,” papar Prof. Hasbullah di sesi webinar “Rokok dan Perspektif Islam” pada Selasa (9/11/2021).
Jika diumpamakan dengan membangun satu unit masjid seharga Rp4 triliun, maka setiap tahunnya dapat dibangun Rp100 ribu masjid dari uang konsumsi rokok.
“Luar biasa banyaknya pemborosan dan pemubaziran bangsa ini, yang sangat memprihatinkan kami,” ujar Prof. Hasbullah yang dikenal sebagai tokoh kesehatan masyarakat.
Untuk mengatasi hal itu, salah satu cara pengendalian yang paling efektif, belajar dari negara-negara lain adalah menaikkan cukai rokok. Membuat mahal harga rokok, sehingga tidak mampu dibeli oleh anank-anak dan remaja.
“Tapi ini sangat sulit. Ini ada keanehan yang saya amati. Jika alkohol yang dicukai sebesar 80 persen, namun sayangnya UU Cukai kita hanya membatasi untuk rokok maksimum 57 persen saja,” katanya.
Ini terbukti, ketika harga minuman beralkohol menjadi lebih mahal dan tidak semua orang mampu membelinya. Hal itu, bukan saja karena harganya yang mahal, namun juga perilaku masyarakat telah menyadari bahwa alkohol bersifat memabukkan, sehingga tidak dikonsumsi.
“Tetapi untuk rokok tidak dipahami sebagai barang yang haram. Beruntung ada Muhammadiyah yang membuat fatwa rokok haram, meskipun organisasi lain belum secara bulat melakukan hal serupa,” ujar Prof. Hasbullah.
Sekitar 10 tahun lalu, menurut Prof. Hasbullah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah melakukan hal itu. MUI mengharamkan rokok, namun terbatas hanya pada ibu hamil dan menyusui.
Sebagai analogi, Prof. Hasbullah menjelaskan bahwa di seluruh dunia, tidak ada satu maskapai pun yang mengizinkan penumpang untuk merokok. Situasinya berbeda dengan minuman beralkohol yang tetap diperbolehkan. “Artinya rokok lebih berbahaya dari alkohol. Tapi hal itu belum dipahami masyarakat,” ucapnya.
Padahal surat al baqarah 219 telah secara jelas menyebutkan mengapa alhkohol dan judi diharamkan. Ayat itu menjelaskan tentang manfaat dan mudarat. Jika mudaratnya lebih besar dari manfaatnya, menurut Prof. Hasbullah, sudah selayaknya rokok menjadi barang haram.
“Jika kita perhatikan bahwa rokok menjadi barang yang menyebabkan candu dan yang mengkonsumsi rokok tidak ada manfaatnya. Jadi lebih berbahaya,” terangnya.
Selain itu, ilmu kedokteran telah membuktikan bahwa lebih dari 140 penyakit berkaitan dengan konsumsi rokok. Bukan hanya mereka yang mengkonsumsi, namun juga lingkungan sekitar dan keluarga bisa terkena imbasnya.
Akibat dampak buruk rokok, banyak negara maju yang notabene non-muslim telah mengatur konsumsi dengan cara menaikkan harga melalui mekanisme cukai yang dikenal sebagai Sin Tax atau pajak dosa.
“Artinya negara-negara maju yang non-muslim mengakui jika merokok merupakan perbuatan yang tercela. Jadi dikenai pajak supaya orang tidak mengonsumsi barang-barang yang berdosa,” katanya.
FATWA HARAM ROKOK
Anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah Wawan Gunawan Abdul Wahid yang hadir pada diskusi daring bertajuk “Rokok dan Perspektif Islam” menjelaskan bahwa Muhammadiyah memposisikan itjihad haram rokok sebagai bagian dari mengisi peringatan 100 tahun yang kedua.
“Jika dulu, 100 tahun pertama dicirikan dengan membersihkan takhayul, bidah, pandangan yang menyimpang, mengoreksi arah kiblat, maka fatwa haram rokok merupakan koreksi terhadap pandangan masyarakat, khususnya kalangan agamawan dan lebih khusus lagi ulama,” paparnya.
Menurut Wawan, Muhammadiyah sampai pada kesimpulan bahwa merokok itu haram disebabkan oleh lima aspek yang semuanya menunjukkan pada keburukan ketimbang manfaat.
“Pertama, ketika seseorang merokok, maka sesungguhnya ia sedang mengurangi kekuatan tubuhnya. Itu disebut Iftar,” jelasnya.
Sesuatu yang melemahkan tubuh, disamakan dengan sesuatu yang haram dan agama telah melarangnya. Itu sebabnya, setiap yang memabukkan dan melemahkan tubuh secara pelan-pelan dilarang oleh agama melalui kitab suci.
Ketika seseorang merokok, maka dia mulai melemahkan fungsi-fungsi tubuhnya. Bayangkan, jika ia melakukannya selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, maka dampaknya sangat merusak.
“Lalu secara fatamorgana sering mengatakan di berbagai kesempatan; saya kuat, saya sehat. Sesungguhnya itu sama sekali tidak, karena pada akhirnya jika diperiksa, itu bukan menguat tapi melemah,” terang Wawan.
Dia menambahkan, “Bahkan saya pernah memperhatikan bentuk tubuh perokok, bahkan wajahnya pun berubah. Lebih cekung dan cepat tua. Jadi seolah tersedot oleh asap rokok yang begitu merusak.”
Alasan kedua, seorang perokok berarti membunuh dirinya sendiri secara perlahan. Tidak membunuh secara langsung, namun karena melemahkan tubuh, maka otomatis ibarat bunuh diri pelan-pelan. “Sedangkan agama melarang tindakan bunuh diri,” tegasnya.
Ketiga, setiap benda yang sifatnya merusak, maka masuk dalam kategori khobaits atau sifat yang tercela. “Jadi kata Allah dalam firmannya, dia nabimu menghalalkan semua makanan yang baik, dan mengharamkan kepada mereka semua yang jelek dan merusak,” papar Wawan.
Itu sebabnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 2010 dan khususnya tahun 2020 tiba pada pandangan bahwa merokok berpengaruh buruk terhadap kesehatan. “Sehingga jika ada yang mengatakan sebaliknya, maka bisa jadi dia sudah dibeli oleh industri rokok. Rokok itu jelek dan merusak,” tegasnya.
Keempat, ketika seseorang merokok maka otomatis bertentangan dengan ajaran agama, dimana jiwa harus dijaga, harta harus dikembangkan, akal harus diisi dan keluarga harus diusahakan tetap sehat.
“Semuanya dirusak oleh perilaku merokok. Tindakan beragama dilanggar karena ini nyambung dengan alasan yang kelima,” katanya.
Kelima, agama melarang sesuatu yang sifatnya mubazir atau pemborosan. Ketika seseorang menginvestasikan sesuatu namun tidak mendatangkan manfaat, maka yang terjadi malah merusak.
Alquran surat Al Isra ayat 26 dan 27 telah menjelaskan tentang larangan bagi aktivitas yang mubazir. Dengan landasan itu, umat muslim di Indonesia dapat berperan besar untuk mendorong kebijakan yang dapat melindungi sesamanya dari konsumsi rokok yang merusak.
“Perilaku perbuatan merokok jika menggunakan ayat Al Isra 26-27 merupakan bagian dari kekufuran. Sesungguhnya orang berperilaku seperti itu kawannya setan. Dan sesungguhnya setan itu berperilaku kufur kepada tuhannya. Berarti seseorang yang merokok ada unsur kufur,” terangnya.
Wawan juga menambahkan, “Bahkan di kalangan terbatas, saya sering mengatakan, betapa berdosanya seorang perokok ketika dia merusak dirinya dan orang lain yang daya rusaknya 3 kali lipat dibandingkan dirinya. Karena orang lain menjadi perokok pasif.”
Ketika asap rokok terbang ke udara, maka akan mengikat zat-zat lain yang sifatnya beracun, lebih berbahaya daripada nikotin. Ketika bergabung, lalu dihisap oleh perokok, maka orang tersebut dikategorikan tidak beriman.
“Jika seseorang ingin disebut Islamnya bagus, maka ia akan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat,” katanya.
DUKUNG FATWA HARAM ROKOK
Senada dengan Wawan, Guru Besar UIN Jakarta Prof. Azyumardi Azra sangat setuju dengan keluarnya fatwa dari ormas Islam Muhammadiyah yang mengharamkan rokok.
“Itu sangat bagus. Kita harus mendukung hal itu,” katanya.
Hanya saja, jika menelisik lebih jauh dari sudut pandang agama, ternyata masih banyak ormas Islam yang belum berani bersikap. Sebagian dari mereka, menyebut rokok sebagai mubah, artinya boleh dikerjakan, boleh tidak.
“Makruf jika didekat kita ada orang lain, atau dalam kondisi pasif smoking. Itu jadinya Makruf,” katanya.
Prof. Azyumardi meyakini tidak ada ormas Islam selain Muhammadiyah yang mengeluarkan fatwa rokok haram. Hanya saja, dia menilai, masih banyak anggota Muhammadiyah yang tidak berani merokok secara terbuka. “Mereka merokok secara sembunyi-sembunyi. Karena fatwa tersebut, mereka menjadi sungkan,” ucapnya.
Bahkan di Muhammadiyah ada dua mazhab, yakni Syafii yang anti rokok dan Maliki yang memperbolehkan rokok. Oleh karena itu, Prof. Azyumardi mengatakan, tidak ada hubungan tegas antara agama dengan konsumsi rokok. Juga tidak ada korelasi positif diantara keduanya.
“Saya cek dalam semua agama, tidak ada yang secara eksplisit melarang merokok. Semua agama, ayat-ayat yang dipakai sama nadanya, bahwa merokok itu merusak jasmani, bisa merusak rohani juga. Itu semua sama. Doktrinnya sama,” terangnya.
Lebih jauh, Prof. Azyumardi menjelaskan bahwa fatwa haram itu bagus jika dilaksanakan oleh orang lain diluar kelompok Muhammadiyah. Namun faktanya, dari 10 negara pengonsumsi rokok terbesar di dunia, kebanyakan berasal dari latar belakang agama yang berbeda.
“Dimana paling banyak adalah China yang merupakan penganut agama Thao atau penganut Khonghucu, namun angka perokoknya tetap yang tertinggi di dunia,” ujarnya.
Di urutan kedua ada India yang mayoritas Hindu ternyata belum mampu mengurangi konsumsi rokok. Kemudian Indonesia yang mayoritas agama Islam.
“Jika kita lihat prosentase perokoknya, China lebih dari 40 persen, India juga begitu. Lebih dari 40 persen. Dan Indonesia 39,39 persen, dimana laki-lakinya perokok. Bayangkan itu. Tinggi ya,” ujar Prof. Azyumardi.
Setelah itu ada Amerika serikat di posisi keempat. Rusia dengan penganut Kristen Ortodox di posisi kelima, dan Bangladesh di posisi keenam yang mayoritas adalah Islam. Selanjutnya Jepang di posisi ketujuh yang kebanyakan bergama Shinto, Turki (Islam) di posisi ke delapan, Vietnam posisi kesembilan yang umumnya Budhis, serta Filipina (Katholik) diurutan kesepuluh.
Oleh karena itu, Prof. Azyumardi tetap setuju jika ingin menurunkan prevalensi perokok adalah dengan menaikkan cukai rokok, meskipun tidak ada jaminan anak-anak tidak membelinya.
“Di AS, harga Marlboro mungkin 4-5 kali harga Marlboro di Indonesia. Mungkin harganya lebih dari US$10, sementara di Indonesia hanya USD$2,” katanya
Sementara di Eropa, cukai rokok juga sangat tinggi, namun mereka mengakalinya dengan menggunakan rokok tingwhe (melinting sendiri). Sehingga rokok lintingan sangat populer disana.
“Tetap saja dia merokok, gak beli yang mahal tetapi memilih menggunakan lintingan yang murah. Jadi tidak efektif,” katanya.
Sementara di Indonesia, Prof. Azyumardi mengatakan, pajak dari produk tembakau di tahun 2020 sebesar Rp139,9 triliun. “Itu sektor pembayar pajak yang paling besar di tanah air kita,” jelasnya.
Selain menaikkan cukai rokok, Prof. Azyumardi mengusulkan sejumlah hal agar produksi rokok tidak terus bertambah dan tidak mudah dijangkau oleh anak-anak. Pertama dengan mengganti tanaman tembakau dengan tanaman yang lain yang lebih memiliki nilai tambah dan mudah dikembangkan masyarakat.
“Bagaimana jika petani tembakau di Madura diganti tanamannya dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan. Kemudian diharapkan Kementerian Pertanian atau IPB melakukan inovasi agar tanaman tembakau bisa digantikan dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan,” katanya.
Di sisi lain, masih ada organisasi Islam yang tidak bersedia mengharamkan rokok, karena banyak anggotanya adalah petani tembakau. Sehingga jika dilarang, maka akan menimbulkan konflik kepentingan. “Oleh karena itu tanaman tembakaunya harus diganti,” tegas Prof. Azyumardi.
Kedua terkait perubahan sikap pemerintah. Di Indonesia setiap orang bebas untuk membeli rokok. Tak heran jika di warung, anak kecil pun bisa membeli rokok dengan mudah.
“Di AS dan Eropa tidak boleh anak kecil membeli rokok, dia harus menunjukkan KTP dan telah berumur 17 tahun. Dan letaknya tidak bisa dijangkau oleh anak kecil,” paparnya
Ketika di Indonesia, kondisinya tidak demikian, maka hal itu harus diubah. “Tidak boleh lagi menjual rokok secara asongan dan ketengan di jalan. Kita bisa menyaksikan itu dan pembelinya adalah anak-anak,” terangnya.
Ketiga adalah perubahan sikap budaya. Menurut Prof. Azyumardi, di beberapa wilayah di Indonesia, rokok diidentikkan dengan sirih sekapur. “Jadi kalau kita mengundang orang biasanya pake sirih sekapur untuk perempuan, dan untuk laki-laki disodorkan rokok. Itu harus diubah,” ujarnya.
Sehingga, tidak boleh lagi pakai istilah sirih sekapur dan rokok sebatang. Sistem budaya seperti itu harus diubah. “Ini menurut saya yang harus kita lakukan secara berbarengan dan simultan,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post