Jakarta, Prohealth.id – Ketua Muhammadiyah Tobacco Control Centre (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang Retno Rusdjijati menegaskan bahwa tembakau merupakan salah satu komoditas dari 39 produk unggulan nasional, sesuai Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2010-2014.
“Tembakau merupakan produk unggulan perkebunan non pangan yang menempatkan Indonesia dalam peringkat ke-7 sebagai negara produsen tembakau,” katanya dalam kegiatan diskusi daring media, Senin (26/7/2021).
Survei Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) pada tahun 2020 menjelaskan soal peningkatan ekspor dan impor tembakau sejak tahun 2011 hingga 2017.
“Jumlah ekspor dan impor tembakau paling tinggi terjadi pada tahun 2017, dengan jumlah ekspor 29.134 ton dan impor 121.390 ton,” terang Retno.
Karena tonase impor tembakau lebih banyak ketimbang ekspornya, Kementerian Kesehatan membuat Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan (2015-2024).
“Pembatasan nilai impor untuk melindungi petani tembakau lokal,” ujarnya.
Retno kemudian menjelaskan bahwa di UU no 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, negara hadir untuk melindungi dan memberdayakan petani.
Perlindungan petani dimaksudkan untuk membantu dalam menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, dan perubahan iklim
“Jadi disini kalo petani mengalami berbagai macam masalah, maka pemerintah harus melindungi,” kata Retno.
Sementara pemberdayaan petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan agar melaksanakan usaha tani yang lebih baik, melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, teknologi dan informasi serta penguatan kelembagaan petani.
“Pemerintah juga harus melakukan pemberdayaan petani,” tegas Retno.
MINIMNYA PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI
Jika melihat potret petani tembakau selama ini, Retno bertanya, apakah petani sudah memperoleh perlindungan dan pemperdayaan dari pemerintah sesuai undang-undang?
Untuk memahami hal itu, Retno merujuk data TCSC IAKMI 2020, yang menyebut perkebunan tembakau di Indonesia tersentralisasi hanya di dua pulau, yaitu Jawa dan Nusa Tenggara.
“Dan dari dua pulau itu, hanya tiga provinsi sebagai penghasil tembakau diatas 10 ribu hektare, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan NTB,” katanya.
Kemudian sebaran jumlah petani tembakau di Indonesia menurut TCSC IAKMI, hanya ada di Jawa dan Nusa Tenggara Barat, dikenal sebagai sentra pertanian tembakau.
“Dan jumlah petani terbanyak diatas 10 ribu KK hanya di Jatim dan Jateng,” ujarnya.
Dari sisi produksi, merujuk data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, ternyata dalam 10 tahun terakhir produksi tembakau di indonesia cenderung stagnan. Misalnya di tahun 2017 produksinya sebanyak 181.142 ton, meningkat 195.482 ton di tahun 2018. Lalu tahun 2019 sebesar 269.803 ton, tahun 2020 ada 261.439 ton, dan tahun 2021 mencapai 261.011 ton.
“Jadi cenderung stagnan, meskipun dari 2017 mengalami peningkatan. Tapi peningkatannya hanya sedikit,” terang Retno.
Informasi terakhir menurut Retno datang dari Pak Yamidi, petani tembakau di Temanggung yang sudah melakukan diversifikasi komoditas. Untuk melindungi petani, Bupati Temanggung menginstruksikan agar industri rokok memfasilitasi para petani tembakau.
“Industri rokok ada dua disana, yaitu Djarum dan Gudang Garam, mereka diwajibkan membeli seluruh produk tembakau yang dihasilkan petani Temanggung,” katanya.
Hanya saja, Retno belum bisa memastikan, apakah instruksi bupati tersebut telah dilaksanakan atau tidak. Pasalnya, petani belum panen tembakau. “Nanti sekitar bulan Agustus hingga Oktober,” ucapnya.
Ternyata persoalan tidak berhenti hanya disitu, karena ada pihak ketiga yang juga terlibat di paska produksi. Mereka kerap menentukan harga yang tidak bersahabat bagi petani.
“Yang dikhawatirkan adalah adanya tengkulak, pedagang pengumpul, grader yang membuat mata rantai dari petani ke industri semakin panjang. Dan disini terjadi fluktuasi harga yang kadang tidak sesuai dengan yang sudah ditentukan,” kata Retno.
Oleh karena itu, Retno mengusulkan adanya harmonisasi penentuan biaya produksi dari awal masa tanam sampai panen. Termasuk pihak industri dan petani harus membuka arus komunikasi secara intensif terhadap beban produksi yang harus dikeluarkan masing-masing.
Situasi agak berbeda dengan petani tembakau Virginia di Kec. Sakra Timur Kab. Lombok Timur NTB. Disana muncul masalah setelah kemitraan antara petani dengan industri rokok dilakukan.
“Ternyata kemitraan tidak mengubah tingkat kesejahteraan petani. Petani justru semakin terpuruk,” ujar Retno.
Fasilitasi industri mitra berupa penyediaan sarana produksi dari mulai pembibitan, pengolahan lahan, penanaman dan pengomprongan, pembinaan dan pembelian hasil produksi dalam bentuk tembakau krosok (kering) ternyata tidak mempengaruhi daya saing produk tembakau virginia.
“Motivasi kewirausahaan petani rendah sehingga tidak mampu mengoptimalkan daya saing produk tembakau virginia,” ungkap Retno.
Selain itu, untuk memperoleh sarana produksi, para petani harus mengambilnya di industri dengan biaya sendiri dan masih dikenakan bunga.
“Biaya yang dikeluarkan, terkadang lebih tinggi dibandingkan hasil panen tembakau,” katanya.
Motivasi petani juga rendah karena terbatasnya pendidikan dan pengetahuan sehingga tidak mampu mengoptimalkan daya saing produk tembakau Virginia.
“Di waktu bersamaan, peran pemerintah setempat terhadap petani tembakau sangat kecil,” kata Retno.
Belum lagi jika dikaitkan dengan penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang diwujudkan dalam bentuk uang tunai dan jumlahnya tidak begitu besar.
“Hanya ini bunda, kita diajak pelatihan terus dikasih uang saku Rp15 ribu. Pernah pak Jopi mengatakan seperti itu,” kata Retno merujuk pada pengakuan petani tembakau di Lombok yang mendapatkan DBHCHT.
Kondisi itu diperparah dengan hubungan sosial kurang baik di antara sesama petani mitra yang bersaing untuk mendapatkan perhatian dari grader dalam memperoleh harga yang tinggi.
“Dampaknya tentu pada daya saing produk tembakau Virginia,” paparnya.
SURVEI DARI MTCC UNIMMA
Retno menegaskan, kepedulian pemerintah terhadap nasib petani masih rendah. Hal itu terbukti dari survei yang dilakukan terhadap petani tembakau dampingan di Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung yang belum beralih tanam sebelum pandemi Covid-19.
“Jadi kami bagi dua, sebelum pandemi Covid dan setelah pandemi Covid. Kami melakukan survei di sejumlah petani,” terangnya.
Dari survei itu, mereka mencatat jika partisipan menyatakan mengenal tembakau sejak kecil karena budidaya tembakau sudah merupakan tradisi. Juga diketahui tidak ada komoditas lain selain tembakau yang dapat dibudidayakan dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar.
Kendala utama dalam budidaya tembakau adalah cuaca yang tidak menentu dan tata niaga tembakau yang buruk.
Diketahui, partisipan tetap akan menanam tembakau karena belum menemukan komoditas pengganti yang mampu memberikan keuntungan lebih besar daripada tembakau dan takut terjadi malapetaka apabila tidak menanam tembakau.
Partisipan juga tidak akan pernah berhenti untuk bertanam tembakau, meski ada komoditas lain yang bisa menghasilkan keuntungan lebih besar.
Oleh karena itu, partisipan berharap kepada Pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada mereka seperti; a) stabilisasi harga tembakau, b) memperoleh manfaat dari DBHCHT, dan c) mengurangi impor tembakau.
Survei serupa yang dilakukan selama pandemi Covid-19, menurut Retno menemukan sejumlah hal, seperti seluruh partisipan masih rutin menanam tembakau setiap tahun baik secara monokultur maupun polikultur
“Ini biasanya wilayah yang ketinggiannya diatas 100 mdpl atau wilayah dengan sistem irigasi yang kurang baik. Kemudian para petani selama pandemi Covid-19 masih rutin menanam tembakau setiap tahun, baik secara monokultur atau polikulturl,” katanya
Luas lahan tembakau yang ditanami semakin berkurang karena lahan pertanian lebih dimanfaatkan untuk menanam tanaman pangan. Mereka mencoba melakukan diversifikasi pertanian.
“Di masa pandemi Covid-19 ini, seperti di Kabupaten Temanggung, bupatinya menginstruksikan untuk mengurangi lahan tembakau, ditanami dengan tanaman pangan.
Kualitas tembakau antara kurang bagus dan bagus berimbang. Namun harga mengalami penurunan.
Dalam kondisi apapun, petani masih akan menanam atau berhubungan dengan tembakau, karena tembakau sudah merupakan tradisi yang bersifat turun-temurun.
Sementara itu, hasil survei MTCC UNIMMA pada petani tembakau yang sudah beralih tanam sebelum pandemi, ditemukan fakta menarik, yakni: partisipan mulai melakukan diversifikasi.
“Jadi kalaupun mereka menanam komoditas lain, itu dengan sistem diversifikasi, bukan dengan beralih tanam. Tembakau masih tetap ditanam,” kata Retno.
Partisipan mengatasi masalah yang dihadapi dalam buddaya tembakau melalui diversifikasi dengan komoditas lain seperti tanaman hortikultura dan kopi.
Partisipan memperoleh keuntungan yang lebih besar bila dibandingkan hanya dengan tanam tembakau saja.
Petani akan berhenti menanam tembakau jika mengalami kerugian akibat cuaca tak menentu dan tata niaga tembakau yang buruk. Mereka akan beralih ke kopi, ubi, dan hortikultura.
“Meskipun belum memahami cara budidayanya, mereka terus belajar,” kata Retno
Temuan lainnya, keuntungan yang diperoleh setelah alih tanam jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tembakau.
“Bahkan untuk produk ubi jalar dan kopi sudah diekspor,” terangnya.
Sementara survei terhadap petani tembakau yang sudah beralih tanam setelah pandemi terjadi ditemukan sejumlah hal menarik, dimana petani tidak mengalami kendala terkait dengan budidaya tembakau karena sudah beralih tanam.
Namun, komoditas alternatif yang sudah dibudidayakan harga jualnya kerap berfluktuatif, bahkan mencapai harga terendah seperti tananama hortikultura yakni cabe dan bawang putih.
“Baru-baru ini, kami di MTCCC memborong hasil panen para petani. Kami berikan cuma cuma kepada masyarakat di sekitar kampus kami,” terang Retno.
Saat itu, petani bahkan tidak melakukan panen, karena biaya panen jauh lebih tinggi dibandingkan harga jual tanaman hortikultura tersebut. “Ini karena adanya PPKM yang pada tahun sebelumnya sempat dilaksanakan,” katanya.
Khusus produksi bawang putih, menurut Retno, harganya anjlok tidak terjadi hanya pada saat Covid-19 saja. Sebelum pandemi, petani bawang putih juga mengalami hal serupa.
“Pada saat panen, pemerintah melakukan impor bawang. Akhirnya harganya rendah dan bawang petani tidak laku hingga menumpuk berton-ton,” papar Retno.
“Terus kalau kami dengan petani muncul pertanyaan, Bu, bawang kami mau dibuat apa? Karena tidak laku. Kalaupun laku harganya sangat rendah,” imbuh Retno kemudian.
Pada kondisi itu, petani sebenarnya sudah sadar agar tidak tergantung pada satu jenis komoditas saja, yaitu tembakau. Itu yang membuat mereka beralih atau melakukan diversifikasi ke komoditas lain.
“Jadi petani itu tidak masalah jika diminta untuk menanam apapun asal keuntungannya bisa atau hampir sama atau melebihi dari tembakau,” kata Retno.
Petani yang telah melakukan diversifikasi pertanian atau beralih tanam ke komoditas selain tembakau, menurut Retno perlu didukung dan dilindungi. Mengingat upaya yang telah dilakukan tersebut juga menghadapi banyak kendala.
“Karena industri rokok masih sering mengiming-imingi, mengintimidasi agar kembali lagi bertanam tembakau,” kata Retno.
Dukungan lain yang diharapkan dari pemerintah adalah membantu petani untuk memfasilitasi sarana dan prasarana sehingga diversifikasi pertanian atau beralih tanam dapat terwujud.
Ketika komoditas tembakau masih diharapkan untuk dibudidayakan, maka pemerintah wajib menetapkan kebijakan-kebijakan yang mendukung petani tembakau. “Karena jika tidak didukung penuh oleh pemerintah, petani tetap merugi dari waktu ke waktu,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post