Perubahan yang mendadak, bagi saya, sangat tidak nyaman bahkan menakutkan. Akhir tahun 2019, dunia tiba-tiba dibanjiri berita soal pandemi yang terjadi di Wuhan, Cina. Saat itu, pemerintah Tiongkok secara ketat memberlakukan lockdown total bagi warga untuk mencegah virus baru tersebut menyebar luas. Sayangnya, ini tidak berhasil.
Memasuki tahun 2020, saya membaca satu per satu kasus dari negara lain bermunculan dengan cepat. Meski demikian, negara-negara, termasuk Badan Kesehatan Dunia (WHO), hanya dalam kondisi awas saja.
Lalu, kasus pertama di Indonesia muncul bulan Maret 2020. Baru kali ini, saya melihat salah satu reporter di televisi menggunakan masker yang digunakan kebakaran dalam liputan, mungkin karena ketakutan ketularan tetapi tidak ada panduan resmi dari mana pun. Sebagian masyarakat juga giat membagikan tips-tips minuman herbal karena menganggap “hanya flu” biasa. Pemerintah yang terkesan anteng-anteng saja, maju-mundur mengatakan virus belum masuk ke Indonesia hingga menyebabkan kegaduhan dan kebingungan di sosial media. Sungguh kekacauan yang luar biasa.
Beberapa minggu kemudian, Badan Kesehatan Dunia pun menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 (Corona Virus Disease 19) sebagai pandemi, yang artinya, terjadi di seluruh dunia.
Hidup saya dan jutaan orang di planet Bumi ini yang “normal-normal” saja pun akhirnya mulai terganggu. Karena pekerjaan saya saat itu, saya memahami bahwa virus ini merupakan virus baru yang menyebar via droplet dan menyerang saluran pernapasan. Selain itu, virus ini pun belum ada obatnya sehingga metode pengobatan bisa berbeda-beda antar satu pasien dengan yang lainnya.
Normal baru I
Akhirnya, muncul istilah baru, yaitu “New Normal” atau “Normal yang Baru” demi bertahan menghadapi virus ini.
Saya cukup beruntung karena pekerjaan saya saat itu memungkinkan untuk bisa bekerja dari rumah.
Sepanjang 2020-2021, bagi saya, normal adalah bekerja dari kamar tidur, belajar untuk familiar dengan zoom meetings dan model komunikasi lainnya, belanja online baik untuk kebutuhan sehari-hari atau sekadar makan siang, nyetok masker dan hand sanitizer, membeli pembersih ruangan dan sabun-sabun, langganan streaming services, mencuci tangan terus-menerus, memakai masker berlapis-lapis, hingga menggunakan jasa ojek online ketimbang naik kendaraan umum.
Namun, buruknya adalah saya kehilangan interaksi dengan rekan kerja, teman-teman, dan manusia pada umumnya. Interaksi saya dengan manusia lebih didominasi oleh kata “paket” ketimbang ngobrol sebentar dengan manusia lain. Saya lebih sering menonton baik konser, acara TV, atau drama lainnya, dalam kamar ketimbang berkumpul dengan teman-teman. Saya juga kehilangan kebiasaan berolahraga karena lingkungan yang tidak mendukung. Dan, memakai masker saat olahraga sangatlah menyesakkan.
Saya masih ingat, tanggal 16 Maret 2020, ketika tempat kerja saya saat itu meminta untuk kerja dari rumah, saya merasa bahwa hidup saya akan berubah. Meski saya tidak menyangka bahwa dalam satu malam, seluruh hidup saya akan berubah. Bukan hanya hidup saya, tetapi hidup semua orang.
Saat itu, saya menyangka “oke, tunggu seminggu lagi, sabar saja.” Lalu, minggu berikutnya. Lalu, minggu berikutnya. Tiba-tiba, sudah 2 tahun, saya menjalankan kerja dari rumah dengan rutin. Bagi saya, sudah tidak aneh lagi rapat via zoom, belanja pun bolak-balik online sampai ada promosi sebagai “anak sultan”, sudah terbiasa nonton K-drama tiap malam, atau kalaupun harus keluar, saya harus pakai masker berlapis-lapis dan cuci tangan berkali-kali. Ini menjadi normal saya yang baru.
Normal baru II
Gencarnya vaksin dan landai kasus membuat pemerintah merencanakan untuk memasuki pandemi, setidaknya mulai tahun 2022 ini. Artinya, kita sudah mulai harus bisa menerima bahwa selalu akan ada kasus COVID-19.
Saya pun harus mengakui bahwa selamanya tidak bisa tinggal di rumah saja dan mengandalkan layar laptop untuk berinteraksi. Bulan Maret kemarin, tepat 2 tahun pandemi, saya pergi sekeluarga ke Sukabumi, Jawa Barat. Ini perjalanan luar kota dan luar rumah pertama bagi saya. Dan, harus saya akui bahwa sungguh kikuk dan anehnya luar biasa berinteraksi dengan orang lagi. Sebelumnya, memang saya masih ngobrol dengan orang-orang kompleks, tetapi saya jarang melihat kerumunan lagi atau lingkungan di luar kompleks rumah.
Saya juga cukup kaget melihat banyaknya orang yang sudah tidak pakai masker. Ini berbeda dengan lingkungan kompleks saya yang cukup tertib memakai masker. Meski demikian, keluarga kami masih tetap pakai masker dan menjauhi kerumunan orang sebaik mungkin. Untungnya, tidak ada masalah apapun.
Hingga kini, saya sudah keluar Jakarta sebanyak 3 kali. Hampir yang saya jumpai, kebanyakan tidak lagi memakai masker, meski masih ada spanduk-spanduk untuk memakai masker dan cuci tangan. Saya pun masih tetap memakai masker, dua lapis.
Selama beberapa bulan belakangan ini, saya pun kembali menjalani aktivitas sosial, seperti berjumpa dengan kawan. Saya memberanikan diri menggunakan transportasi publik, seperti bus Transjakarta, kereta api, dan MRT. Karena saya tidak pernah menggunakan transportasi publik selama pandemi, jadi saya memang tidak tahu seperti apa operasional sehari-hari.
Namun, untuk di stasiun kereta api, saya melihat lantai-lantai dicat dengan bentuk sepatu menandakan jarak yang harus diambil untuk antrian. Sama halnya dengan bus Transjakarta, di beberapa bus yang saya tumpangi, ada petunjuk bahwa ada jarak dari setiap kursi dan selotip di lantai sebagai petunjuk untuk berdiri.
Untuk beberapa kali gerbong kereta api, beberapa kali sempat ada himbauan untuk tidak berbicara dengan satu sama lain untuk mencegah penyebaran virus. Di terminal Transjakarta, tempat saya masih dicek suhu badan sebelum masuk.
Semua himbauan ini akan perlahan-lahan menghilang karena kita memasuki endemi. Misalnya, sudah boleh membuka masker di outdoor, sudah mulai ada kerumunan lebih dari 20, tidak lagi menggunakan PeduliLindungi atau mengecek suhu badan.
Saya pahami bahwa orang sudah kelelahan dengan pandemi dan akhirnya melepaskan masker. Memang tidak nyaman sekali, apalagi cuaca panas. Saya pun sudah terlalu lelah dengan pandemi. Di sisi lain, saya tidak yakin kalau kondisi “sudah aman” karena kasus cukup meningkat selama beberapa minggu ini.
Meski demikian, saya juga tidak merasa bahwa kita harus balik lagi ke awal pandemi karena sebenarnya sudah banyak kemajuan yang terjadi. Mulai dari penyebab, pencegahan, hingga vaksin, yang membuat dampak dari virus ini tidak fatal pada pertengahan tahun 2021 silam.
Ada banyak hal yang baik yang bisa tetap diteruskan, seperti mencuci tangan dan menjaga kebersihan, setidaknya memakai masker (bisa karena virus juga karena polusi udara yang meningkat), mengatur mobilitas, selain bisa mengurangi kemacetan, juga bisa untuk mengurangi polusi udara).
Bagi saya pribadi, hal normal baru lainnya adalah kembali menjaga kesehatan. Selama pandemi, minimnya olahraga dan mudahnya pesan makanan via online membuat berat badan naik drastis. Tentu saja, ini tidak baik bagi kesehatan fisik dan mental.
Pandemi ini sungguh melelahkan. Selama saya mulai menjalankan aktivitas kembali, saya sempat berpikir “kok bisa ya, 2 tahun hanya di rumah saja?” Ternyata bisa. Tentu saja, dengan harga yang harus dibayar. Meski memang berat, tetapi pandemi ini bisa mengajarkan normal yang baru, terutama soal mobilitas. Manusia sebenarnya bisa mengatur cara interaksi mereka satu sama lain yang selaras dengan alam. Saya masih perlahan-lahan memasuki “normal baru” tahap II ini, tetapi semoga lebih baik dari yang dialami tahun 2021 silam.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post