Jakarta, Prohealth.id – Pendiri dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Satyani Saminarsih mengatakan bahwa secara umum, UU Kesehatan lama memang sudah membutuhkan pembaruan. Sehingga ada beberapa pasal dalam RUU Kesehatan yang memang patut diapresiasi. Namun, tidak sedikit pasal dalam rancangan undang-undang ini yang perlu mendapat kritik dan perhatian masyarakat.
“Ada kesan bahwa beberapa pasal di RUU Kesehatan ini yang mengembalikan desentralisasi kesehatan menjadi sentralistik. Di antaranya dengan memberi kewenangan luas kembali ke pemerintah pusat,” ujar Diah melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Senin (20/2/2023).
Selain itu, ada pasal mengenai pembentukan komite sektor kesehatan yang hanya berisi kementerian dan lembaga negara, tanpa menyertakan ahli, organisasi profesi, atau masyarakat sipil.
Selain temuan tersebut, ada enam catatan krusial CISDI dalam RUU Kesehatan.
Pertama, minimnya pelibatan masyarakat secara bermakna dan inklusif dalam Perumusan di DPR. CISDI melihat pembahasan Rancangan Undang-undang Kesehatan di Baleg DPR ini terlalu singkat. Isu adanya omnibus kesehatan ini pertama kali muncul akhir September 2022. Waktu itu, Badan Legislasi DPR mengundang perwakilan beberapa organisasi profesi membahas RUU ini. Sayangnya, meski banyak kritik dan penolakan, baleg DPR nyata jalan terus membahas RUU ini. Bahkan, masyarakat kebanyakan juga susah mengakses drafnya.
“CISDI melihat reformasi di sektor kesehatan memang perlu. Namun, proses ini hendaknya dilakukan secara inklusif dan transparan,” jelas Diah.
Seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengharuskan DPR melibatkan masyarakat yang memiliki kepentingan atau terdampak langsung dari peraturan yang sedang mereka susun, dalam konteks ini adalah RUU Kesehatan.
Artinya, DPR tidak hanya cukup mengundang organisasi profesi, tetapi juga harus mendengar suara masyarakat sipil yang mengetahui dengan jelas kondisi di lapangan. Terutama menyangkut kelompok rentan, seperti anak-anak, lansia, atau penyandang disabilitas, termasuk yang mendampingi tenaga kesehatan.
Kedua, ada wewenang berlebihan ke Kementerian Kesehatan yang dikhawatirkan berpotensi mengarah kepada sentralisasi dan minim pelibatan aktor non-pemerintah. CISDI melihat Kementerian Kesehatan menjadi memegang peranan lebih luas dalam RUU ini.
Diah memerinci, setidaknya ada dua pasal yang menempatkan Kemenkes memiliki kewenangan lebih. Pertama, pasal 425 yang mengubah beberapa isi Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pasal 425 ayat 3, misalnya, terang-terangan menyebut BPJS Kesehatan berkewajiban melaksanakan penugasan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Beleid ini mengubah isi Pasal 13 dalam UU BPJS.
“CISDI khawatir perubahan pasal ini akan menghilangkan independensi BPJS Kesehatan. Independensi BPJS Kesehatan penting agar lembaga ini tetap dapat mempertahankan otonominya secara operasional untuk menjalankan fungsi sebagai pembeli dalam sistem kesehatan,” tegas Diah.
Penugasan dari Kementerian Kesehatan berpotensi makin menghilangkan otonomi BPJS Kesehatan untuk memilih metode pembayaran, menetapkan tarif, dan mengontrak pemberi layanan. Dengan begitu, BPJS kesehatan akan kesulitan mengelola dana amanat dan menjamin solvabilitas.
Penugasan BPJS Kesehatan tidak seharusnya dimonopoli oleh Kementerian Kesehatan. Dalam hal pengalokasian sumber daya untuk BPJS Kesehatan misalnya, juga penetapan premi, pemilihan paket manfaat, seharusnya melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas: Kementerian Keuangan, Asosiasi Tenaga Kesehatan Profesional, Akademisi, Industri dan juga publik. Fungsi-fungsi ini sudah tepat dijalankan oleh komite-komite di dalam DJSN.
CISDI mendesak agar Kementerian Kesehatan lebih berkonsentrasi untuk memperbaiki perannya guna memastikan standar kualitas layanan, kepatuhan terhadap protokol penegakan diagnosis, tata laksana klinis, dan alur rujukan untuk penyakit-penyakit yang tercakup dalam paket manfaat.
“Kementerian Kesehatan juga sebaiknya bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk memastikan kepatuhan standar praktik klinis dan pedoman penyelenggaraan layanan dengan menggunakan instrumen kebijakan verifikasi klaim,” sambung Diah.
Kemudian, ada juga Pasal 426 RUU Kesehatan yang membahas soal Komite kebijakan sektor Kesehatan. Komite ini merupakan wadah koordinasi dan komunikasi dalam rangka akselerasi pembangunan dan memperkuat ketahanan sistem kesehatan. Sayangnya, ayat 4 dari pasal ini sama sekali tidak menyebut keterlibatan masyarakat dan elemen lain sebagai salah satu bagian dari komite.
“Padahal Indonesia bisa melihat konsep National Health Assembly (NHA) milik Thailand yang sudah berjalan sejak 2008. Mereka mengusung konsep kolaborasi antara profesional di bidang kesehatan, perwakilan pemerintah, dan masyarakat sipil,” katanya.
Catatan ketiga, sistem kesehatan berpusat pada rumah sakit belum berfokus pada layanan kesehatan primer yang komprehensif. Diah menyoroti bahwa revisi UU Kesehatan seharusnya mengarah kepada rencana transformasi layanan kesehatan primer agar lebih komprehensif yaitu layanan kesehatan primer yang mengintegrasikan upaya kesehatan perorangan dan masyarakat. Akan tetapi pasal 22 dan 29 RUU Kesehatan secara eksplisit memisahkan terminologi Pelayanan Kesehatan Primer (merujuk upaya kesehatan perorangan) dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Primer (merujuk upaya kesehatan masyarakat).
Di satu sisi, pembagian kerja ini memungkinkan adanya alokasi sumber daya spesifik, akan tetapi juga mereduksi makna layanan kesehatan primer yang komprehensif. Selain itu, upaya untuk mengintegrasikan layanan kesehatan primer seharusnya tidak hanya berfokus pada sektor publik tapi juga mengintegrasikan sektor swasta dan masyarakat.
Pada Bab VI Fasilitas Pelayanan Kesehatan, pembahasan fasilitas kesehatan tingkat pertama masih menitikberatkan beban pelayanan kesehatan primer pada Puskesmas. Sementara itu, peran fasilitas kesehatan tingkat pertama swasta masih bersifat opsional. Bahkan belum diatur regulasi terkait dengan pemberian kewenangan serta insentif yangbisa diberikan kepada layanan swasta.
Catatan lain ada di Pasal 193 ayat 1 RUU Kesehatan yang secara khusus merinci apa saja kategori Sumber Daya Manusia Kesehatan. Salah satunya di poin d, yaitu tenaga pendukung atau penunjang kesehatan. Sayangnya, ayat 18 dari Pasal 193 ini sama sekali tidak menyinggung kader kesehatan, yang artinya status kader kesehatan masih terpisah dari komponen SDM Kesehatan.
“RUU Kesehatan mengunci tenaga penunjang atau pendukung kesehatan pada sebatas tenaga administrasi, tenaga keuangan, petugas pemulasaran jenazah, dan supir ambulans. Pasal ini berpotensi untuk mendorong pelembagaan kader kesehatan sebagai SDM Kesehatan yang ruang lingkupnya berada pada Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM),” terang Diah.
Padahal, Pasal 34 RUU Kesehatan mengenai UKBM sudah lebih komprehensif dengan adanya penambahan frasa “difasilitasi pemerintah pusat dan/atau daerah dengan melibatkan sektor lain yang terkait”. Artinya, kader kesehatan mendapat jaminan alokasi sumber daya yang bisa mereka pakai. Meski sudah mendapat jaminan memperoleh sumber daya, status Kader yang masih terpisah dari SDMK membuat pengelolaan peran serta pemberian insentif kader kesehatan masih bersifat anjuran, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 36 RUU Kesehatan yang berbunyi: Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat memberikan penghargaan dan/atau insentif kepada kader.
Catatan keempat, potensi pasal karet aturan yang mempidanakan kelalaian tenaga kesehatan. Pada bagian ini, CISDI melihat ada salah satu pasal yang krusial yaitu Pasal 462 yang ada di Bab 18 mengenai ketentuan pidana. Pasal tersebut terang-terangan menyebut tenaga medis yang lalai berat sehingga menyebabkan pasien luka bakal dipidana 3 tahun. Sementara jika menyebabkan pasien meninggal akan terkena hukuman penjara 5 tahun.
Masalahnya, RUU ini sama sekali tidak menjelaskan definisi dari “kelalaian berat”. Penjelasan pasal dalam RUU ini juga tidak jelas. “Ini mengkhawatirkan karena selain berpotensi menjadi pasal karet, pasal ini juga berpotensi menimbulkan ketakutan di kalangan tenaga kesehatan,” ungkapnya.
Sebagai masyarakat sipil, CISDI berpihak pada layanan kesehatan berkualitas yang diberikan oleh tenaga kesehatan kepada publik. Walaupun prinsip kehati-hatian sangat penting dalam pemberian layanan kesehatan, CISDI melihat bahwa pasal ini dapat menimbulkan keraguan, berujung pada potensi over care yang malah menghambat akses ke layanan kesehatan.
Selain itu, Bab 18 mengenai ketentuan pidana ini juga sama sekali tidak menyinggung hubungannya dengan aturan lain yang sudah ada. Misalnya dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Ada pertanyaan besar, apakah Bab 18 tentang Pidana kemudian mengeliminasi kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kehormatan Kedokteran atau komite ahli lainnya yang menentukan apakah suatu tindakan oleh tenaga kesehatan merupakan kelalaian atau bukan, dan seberapa berat kelalaian tersebut.
Catatan kelima adalah prioritas pendanaan kesehatan. Pada bagian ini, CISDI mengapresiasi Pasal 420 ayat 2 RUU Kesehatan yang menaikkan mandatory spending anggaran kesehatan menjadi 10 persen dari APBN di luar gaji. Sebelumnya, dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah hanya mewajibkan alokasi anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN. Keputusan menaikkan alokasi anggaran ini tentu menjadi langkah yang baik. Namun, CISDI meminta pemerintah agar memastikan belanja kesehatan ini tak didominasi pembelian alat-alat kesehatan, khususnya di daerah.
CISDI meminta pemerintah pusat khususnya Kementerian Kesehatan bisa lebih merefleksikan komitmennya atas prioritas penguatan layanan kesehatan primer melalui prioritas anggaran pada transformasi layanan primer dan SDM Kesehatan.
“Sebab, 54 persen anggaran Kementerian Kesehatan di 2023 lebih banyak dialokasikan untuk Transformasi Pembiayaan Kesehatan,” terang Diah. Sementara, proporsi untuk Transformasi Layanan Primer dan SDM Kesehatan di bawah 10 persen.
Catatan keenam, definisi kelompok berisiko dan belum adanya insentif tenaga kesehatan dalam penanganan pandemi. Diah mengapresiasi jika RUU Kesehatan ini mencantumkan soal landasan dasar dari penanganan pandemi. Sayangnya, masih ada beberapa definisi yang belum jelas dari pasal di dalamnya. Misalnya, di Pasal 386 dan Pasal 391 yang secara khusus menyebut “populasi berisiko”. Sayangnya, RUU ini tidak menjelaskan siapa yang masuk kategori populasi berisiko. “Apakah kelompok rentan, seperti ibu hamil, lansia, anak-anak, atau penyandang disabilitas,” tegas Diah.
Pemerintah juga luput memastikan pelayanan dasar kesehatan selama pandemi. Contohnya, program imunisasi dasar yang melambat atau pelayanan untuk ibu hamil juga tersendat. Pemerintah juga tidak menyebut insentif khusus untuk tenaga kesehatan yang ikut dalam penanganan wabah. “Padahal, belajar dari penanganan Pandemi COVID-19, insentif ini menjadi isu sendiri di kalangan tenaga kesehatan,” ujarnya.
Berkaca dari keenam catatan krusial ini, Diah menganggap penting bagi masyarakat dan seluruh elemen yang bersinggungan dengan RUU Kesehatan terus mengawal aturan ini. Sebab, CISDI hanya bisa menyentuh bagian-bagian yang rawan dalam RUU Kesehatan sesuai keahlian di tim internal organisasi.
“Masalahnya, CISDI melihat ada bagian lain yang perlu diperjelas namun membutuhkan keahlian dan komentar dari organisasi profesi, fakultas kedokteran, rumah sakit, dan kolegium yang terlibat dalam pendidikan dokter spesialis,” ungkapnya.
Diah juga menegaskan bahwa perubahan di sektor kesehatan memang penting, namun, ia meminta DPR tidak terburu-buru mengesahkan RUU Kesehatan.
“Jika DPR mengesampingkan masukan dari elemen masyarakat, yang dikhawatirkan RUU ini bukan menguatkan tapi malah melemahkan sistem kesehatan nasional” kata Diah.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post