Jakarta, Prohealth.id – Perundungan media sosial kepada anak banyak memberi dampak negatif pada kondisi kesehatan mental anak.
Cyberbullying adalah kondisi dimana seseorang merasa tidak nyaman terhadap komentar/informasi/gambar foto yang ditujukan untuk dirinya, yang bertujuan menyakiti, intimidasi, menyebar kebohongan dan menghina, yang di posting di internet, jejaring media atau teknologi digital lainnya, yang dilakukan oleh orang lain. Data dari Broadband Search menemukan, 73 persen dari pelajar pernah merasakan bullying selama hidup mereka. Sementara 44 persen diantaranya mengatakan itu terjadi dalam kurun waktu 30 hari.
Psikolog Anna Surti Ariani selaku perwakilan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia menyatakan, anak-anak masih rentan mengalami perundungan di media sosial jika tak ada bantuan dari keluarga khususnya orang tua.
Anna menerangkan, 45 persen dari 2,777 anak muda usia 14-24 tahun pernah mengalami perundungan media sosial atau cyberbullying berdasarkan Survey UNICEF U-Report 2021. Adapun alasan orang khususnya anak melakukan cyberbullying adalah ia ingin merasa kuat, harga dirinya rendah, kurang berempati, ingin popular dan tidak sadar akan dampak yang ditimbulkan.
Anna mengutip data survei ECPAT pada 2021 yang menemukan, 1203 responden anak saat pandemic ada 287 alami pengalaman buruk saat berinternet,112 mendapat pesan tidak senonoh, 66 anak menerima gambar/video yang membuat tidak nyaman, ada 27 menerima gambar/video pornografi, ada 24 anak diajak lakukan live streaming untuk bicara hal tak senonoh, ada 23 hal-hal buruk mereka diunggah tanpa ijin, dan ada 16 anak mendapat tautan konten pornografi.
Oleh karena itu kondisi perundungan membuat orang tua wajib untuk peka mendeteksi jika anak mengalami perundungan. Berikut beberapa ciri seseorang yang terdampak cyberbullying.
Pertama, anak cenderung menarik diri, mudah emosi, menjadi cenderung pendiam dan tidak mau bersosialisasi. Kedua, anak atau remaja mengganti akun media sosial. Ketiga, anak tidak lepas dari gawai kehilangan minat melakukan kegiatan lain
Serangkaian dampak itu membuat Anna merumuskan beberapa cara khususnya untuk orang tua mencegah anak menjadi korban perundungan media sosial. Pertama, membatasi waktu memegang gawai dengan skejul dan durasi tertentu.
Kedua, memberikan edukasi terkait apa itu cyberbullying. Ketiga, membatasi konten dan aplikasi pada gawai. Keempat, orang tua wajib menjadi contoh dalam memperilaku digital yang baik.
Sementara itu, Saiti Gusrini, Manager Program Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia menambahkan, berdasarkan beberapa hasil survei yang dilakukan baik oleh EU Kids Online Survey 2020, maupun SEJIWA, KPIA, UNICEF, APJII maupun laporan yang diterima Polda Metro Jaya, menunjukkan ada kenaikan dari kasus perundungan yang paling banyak dialami oleh anak-anak usia remaja. Secara rinci, berdasarkan EU Kids Online antara 7 persen sampai 45 persen anak-anak di 19 negara Uni Eropa melaporkan mereka mengalami cyberbullying. Bahkan, antara 21 persen sampai 59 persen anak-anak berusia 11-17 tahun melaporkan terpapar cyberhate.
“1 dari 5 anak di negara Uni Eropa mengalami cyberbullying. Artinya, cyberbullying adalah resiko yang paling berbahaya yang dihadapi oleh anak-anak ketika menggunakan internet,” terang Saiti.
Jika mengacu dari Polda Metro Jaya tercatat ada 25 kasus cyberbullying dilaporkan setiap harinya. Sementara itu, KPAI mencatat jumlah angka anak korban bullying sudah mencapai 22,4 persen pada tahun 2018 lalu.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post