Jakarta, Prohealth.id – Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Yayasan Kanker Indonesia (YKI), dan Yayasan Jantung Indonesia (YJI) mendesak pemerintah yaitu Presiden Joko Widodo jangan menunda lagi pengesahan revisi PP 109/2012.
Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau mengatakan, saat ini revisi PP 109/2012 melalui proses yang maju mundur di level pengesahan. Terbukti sampai dengan akhir November 2012, draf yang sudah sampai ke Sekretariat Negara dikembalikan lagi ke Kementerian Kesehatan dengan alasan untuk mempertimbangkan suara industri. Menanggapi hal itu, Hasbullah mengingatkan analogi tersebut membuat pemerintah tampak tidak mengutamakan kesehatan publik.
“Ini sama seperti kita mau revisi UU Anti Korupsi, tetapi minta pandangan dari koruptor, kan aneh,” tegas Hasbullah dalam konferensi pers, Minggu (12/12/2021).
Dia menilai hal itu dikarenakan banyak pejabat negara yan masih salah paham tentang cukai rokok, yang dinilainya sebagai sumbangan industri rokok. Padahal cukai rokok adalah uang denda bagi penduduk yang tidak mengikuti protokol kesehatan, hidup sehat dan tidak merusak kesehatan orang lain.
“Bapak Presiden harus paham hal ini, jangan dikecohkan pemahamannya”, lanjut Hasbullah.
Asal tahu saja draft revisi PP 109/2012 yang diajukan kepada Presiden, dikembalikan ke Kementerian Kesehatan sebagai leading sector dengan alasan memerlukan kajian lebih lanjut dan pelibatan pihak terkait. Padahal proses rumusan dan pengajuan untuk PP yang sudah berusia hampir 10 tahun ini sudah berlangsung sejak empat tahun lalu.
“Sangat kami sayangkan bahwa Menteri Sekretaris Negara mengembalikan draft revisi dan meminta mendengar pihak “yang merusak kesehatan rakyat,” ujarnya. Dia menilai proses ini merupakan paradoks kebijakan di negeri ini.
Keppres No. 9/2018 tentang Program Nasional Penyusunan PP Tahun 2018 mencakup revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Namun sampai saat ini, sudah tiga tahun, revisi PP 109/2012 belum juga selesai. Telah delapan kali Pertemuan Antar Kementerian (PAK) tidak mencapai kesepakatan. Berbagai kegiatan masyarakat untuk mendukung revisi PP109/2012 untuk memperkuat upaya negara menyehatkan dan membuat rakyat produktif, belum juga mendapat perhatian Presiden.
“Para pemikir kesehatan dan produktifitas rakyat telah mengadakan puluhan webinar dan diskusi menyajikan hasil-hasil riset dan somasi 1 dan 2 ditambah pelaporan ke Ombudsman mohon jawaban Presiden tentang mandegnya revisi PP109/2012 yang seharusnya menjadi prioritas negara?” tambah Hasbullah.
Menurut dr. Agus Dwi Susanto Sp.P(K), Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pemerintah harus menjalankan UU Kesehatan yang antara lain mencegah penduduk dari penggunaan zak adiktif yang merusak kesehatan. Tugas negara adalah menyehatkan dan membuat rakyat produktif, bukan membiarkan rakyat banyak, khususnya anak dan penduduk miskin dibanjiri informasi atau dipengaruhi iklan konsumsi bahan berbahaya kesehatan.
Alhasil kecurigaan rakyat akan adanya pihak yang bermain dan Pemerintah tidak cukup peduli dengan cemaran bahan adiktif bagi rakyat semakin jelas dengan mempertontonkan peresmian pabrik IQOS, sebuah produk HTP (heated tobacco product) keluaran PT HM Sampoerna (Philip Morris International).
Dia pun sangat khawatir beban karena rokok konvensional yang selama ini harus ditanggung menjadi makin rumit dan berat karena beban konsumsi kesehatan akibat rokok elektronik yang sudah dibuktikan membahayakan kesehatan. “Sejak awal kami sudah mengingatkan Pemerintah soal ini, tapi nyatanya respon Pemerintah berbeda,” katanya.
Menurut Dr. dr. Sally Aman Nasution, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP, selaku Ketua Umum PAPDI, dalam kondisi paradoks yang terjadi saat ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah dalam upaya pengendalian konsumsi produk tembakau, yang selama ini telah dibuktikan memiliki efek bola salju yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah.
Sementara itu, Prof. Dr. dr. Aru W. Sudoyo, SpPD-KHOM selaku Ketua Yayasan Kanker Indonesia menambahkan pemerintah harus serius untuk membangun usaha memperbaiki kualitas bangsa. Namun karena belum optimal, negara terus mengalami berbagai masalah kesehatan yang tinggi dengan faktor risiko merokok; mulai dari terus naiknya prevalensi penyakit tidak menular (PTM) mematikan, biaya kesehatan, stunting, sampai keparahan Covid-19. “Tidak boleh dilupakan juga keterkaitan merokok dengan kanker paru sebagai kanker nomor satu di Indonesia,” ungkap Aru.
Berangkat dari kesadaran tersebut, organisasi-organisasi kesehatan sepakat revisi PP 109/2012 sangat mendesak demi menekan prevalensi perokok, terutama perokok anak yang saat ini mencapai 9,1 persen dan masuknya rokok jenis baru dalam berbagai bentuk yang merupakan manuver industri untuk menawarkan zat adiktif nikotin.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K) menyatakan bahwa urgensi untuk merevisi PP 109/2012 ini selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang salah satu targetnya ialah menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada tahun 2024.
“Peningkatan prevalensi perokok anak dari 7,2 persen di tahun 2013 menjadi 9,1 persen di tahun 2018 adalah bukti lemahnya pengendalian konsumsi produk tembakau di Indonesia,” tuturnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post