Jakarta, Prohealth.id – Krisis air dan sanitasi yang belum terselesaikan sebelum pandemi dan dikhawatirkan semakin parah seiring dengan merebaknya Covid-19.
USAID Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene Penyehatan Lingkungan untuk Semua (IUWASH PLUS) menemukan dalam studi formatif pada awal program tahun 2017 di 15 kota dan kabupaten, ternyata rumah tangga (RT) dengan toilet hanya 76,69 persen. Sementara RT dengan toilet-tanpa tangki septik hanya 11,63 persen. Bahkan, RT tanpa toilet mencapai 23,31 persen.
Studi ini juga menemukan, RT dengan sambungan air perpipaan hanya 35,48 persen. Sementara RT dengan akses air sistem komunal adalah 5,96 persen. Lalu RT tanpa sambungan air perpipaan bahkan masih mencapai 64,26 persen.
Deputy Chief of Party USAID IUWASH PLUS Alifah S. Lestari menilai sample kabupaten dan kota di Indoesia adalah representasi masyarakat perkotaan yang memiliki karakteristik unik. Penelitian ini difokuskan pada masyarakat perkotaan dengan golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk mengecek kondisi air minum, sanitasi dan perilaku higienis di perkotaan lebih rumit dengan karakteristik masyarakat dan kondisi lingkungan yang beragam. Oleh karena itu Alifah menilai peningkatan akses air minum dan sanitasi aman untuk masyarakat perkotaan perlu disesuaikan dengan karakteristik tersebut.
Alifah memerinci ada tiga temuan utama kendala penyediaan air dan sanitasi di perkotaan. Pertama, penyediaan air minum layak di perkotaan belum merata. Kedua, sebagian Masyarakat MBR yang masih belum terakses air minum yang layak di perkotaan (non PDAM). Ketiga, masyarakat MBR tidak mampu menjadi pelanggan PDAM akibat biaya sambungan Baru atau perlu alternatif atau intervensi sistem penyediaan.
Dia menjelaskan, banyak masyarakat perkotaan yang belum memiliki akses sanitasi layak dan aman. “Mereka memiliki jamban dengan leher angsa tetapi langsung dibuang ke sungai atau drainase tanpa diolah terlebih dahulu,” jelas Alifah beberapa waktu yang lalu.
Selain itu, fasilitas toilet yang belum dilengkapi dengan tangki septik sehingga tidak pernah di lakukan penyedotan sehingga berpotensi mencemari air tanah. “Sebagian sudah ada tersambung ke IPAL Komunal, tetapi belum terkelola dengan baik,” sambung Alifah.
Tantangan lain dalam penyediaan air bersih dan sanitasi di masa pandemi ini adalah kepadatan penduduk tinggi, lahan terbatas, topografi dan kondisi muka air tanah yang beragam. Belum lagi ditambah dengan pengetahuan masyarakat terhadap pilihan opsi masih kurang. “Masyarakat belum mandiri, masih perlu pendekatan dan pendampingan,” ujar Alifah.
Dia pun mengajukan empat upaya yang bisa segera dilakukan antara pemerintah, swasta, maupun masyarakat dalam memajukan kualitas air bersih dan ketersediaan sanitasi. Komponen upaya yang pertama adalah melalui peningkatan layanan sektor air minum, sanitasi, dan perilaku higiene di tingkat tumah tangga.
Komponen kedua, adalah melalui penguatan kinerja institusi pengelola sektor air minum, sanitasi, dan perilaku higiene di tingkat kota/kabupaten. Ketiga adalah melalui penguatan pembiayaan sektor air minum, sanitasi, dan perilaku hygiene. Upaya keempat adalah dengan cara memajukan advokasi, koordinasi, dan komunikasi sektor air minum, sanitasi, dan perilaku higienis.
“Oleh karena itu, Mendorong peran serta masyarakat untuk menjadi teladan melalui #TetanggaPanutan. Kedua, adalah mendorong pemerintah untuk lebih proaktif melibatkan masyarakat. Ketiga, mendorong pelaku swasta melakukan kerja sama berbentuk CSR, wirausaha sanitasi, lembaga keuangan mikro, dan lainnya untuk berkolaborasi menyediakan produk dan layanan WASH yang lebih terjangkau untuk masyarakat,” terangnya.
Sementara itu, Peneliti dan Praktisi Komunikasi untuk Perubahan Perilaku, UNICEF Risang Rimbatmaja menambahkan, momen pandemi adalah waktu yang tepat mendorong kesehatan akan kesehatan air bersih dan sanitasi. Dia menilai, upaya yang direncanakan IUWASH PLUS hanya bisa terwujud jika masyarakat sipil berkolaborasi dan solid menyusun struktur pengetahuan warga. Jangan sampai edukasi bagi publik ini bersumber dari faktor eksternal.
“Jadi hanya karena mau ukut-ikutan, malu, diawasi, dan lainnya. Sementara sifatnya tidak sustain. Perilaku on-off. Jadi dorongan eksternal boleh saja, tetapi perilaku mesti berlanjut,” ujarnya.
Oleh karena itu, Risang selaku Communicator for Development Specialist ini mengusulkan strategi memajukan air bersih dan sanitasi tidak bisa hanya mengandalkan sumber daya eksternal. Maka penting untuk memberdayakan komunitas sebagai komunikator. Dia memerinci pentingnya peran lembaga di komunitas dalam proses literasi.
“Jadi ada sekolahnya, formal maupun informal di lapangan. Ada yang mengingatkan secara menghibur. Ada peran knowledge management. Ada yang mengurusi IT. Ada yang membuat, menyebarkan, memelihara media komunitas, dan sebagainya,” tutur Risang.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post