Menurut Dokter Spesialis Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia —Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI—RSCM), dr. Mulya Rahma Karyanti, Sp.A(K), M.Sc., KLB campak yang telah ditetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) berkaitan dengan cakupan imunisasi dasar lengkap bayi yang menurun drastis selama masa pandemi Covid-19. Hal ini karena KLB ditetapkan apabila suatu daerah terdapat minimal dua kasus campak yang terkonfirmasi dengan pemeriksaan serologi antibodi campak yang positif dan berkaitan dengan epidemiologi.
“Hal ini diakibatkan kekhawatiran orang tua membawa anaknya ke fasilitas kesehatan karena takut tertular Covid-19. Selain itu, beberapa fasilitas kesehatan penyedia layanan vaksinasi juga dibatasi aktivitasnya di awal masa pandemi,” ujar dr. Karyanti melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Senin (30/1/2023).
Untuk dapat memutuskan mata rantai penularan penyakit campak, dr. Karyanti yang juga merupakan Anggota Komite Ahli Verifikasi Nasional Eliminasi Campak dan Pengendalian Rubela/Congenital Rubella Syndrome (CRS) menambahkan, diperlukan cakupan imunisasi minimal 95 persen.
Sebelumnya, menurut data Kemenkes RI (2022), pada tahun 2020 dan 2021 cakupan imunisasi dasar lengkap anak hanya mencapai 84 persen. Dari data tersebut memperlihatkan, kejadian luar biasa campak yang terjadi pada anak-anak yang sebagian besar tidak pernah diimunisasi. Padahal, imunisasi dengan vaksin campak merupakan cara pencegahan terbaik dari penyakit campak. Cakupan imunisasi yang tinggi bukan hanya melindungi individu yang mendapatkan vaksin tersebut, tetapi juga dapat melindungi orang di sekitarnya sehingga terbentuk herd-immunity.
Imunisasi campak merupakan bagian dari program imunisasi pemerintah dengan menggunakan vaksin campak rubela atau measles rubella (MR) yang dapat diberikan pada anak mulai usia 9 bulan.
“Pada seseorang yang belum pernah mendapatkan vaksinasi campak lalu terpapar penyakit campak, pemberian vaksin campak dalam 72 jam setelah terpapar dapat mencegah terjadinya penyakit campak,” kata dr. Karyanti
Lebih lanjut dr. Karyanti menyampaikan, penyakit campak paling sering ditemukan pada bayi usia di bawah satu tahun, remaja, dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi campak secara adekuat. Selain itu, seseorang yang mengalami gangguan kekebalan tubuh (imunokompromais) akibat penyakit kronik atau pengobatan yang menekan daya tahan tubuh (steroid jangka panjang, kemoterapi, atau immunoglobulin) juga akan rentan terhadap penyakit campak.
Adapun penularan campak terjadi melalui airborne atau udara dari seseorang yang terkena penyakit campak dari empat hari sebelum gejala hingga empat hari setelah munculnya ruam. Seseorang dapat mengalami campak karena belum terlindungi oleh antibodi terhadap campak yang bisa didapatkan dari imunisasi.
“Pada seseorang yang telah mendapatkan vaksin campak, respon tubuh yang inadekuat terhadap vaksin (tidak dapat membentuk antibodi yang adekuat untuk melawan campak) serta imunitas yang menurun dapat menyebabkan seseorang terkena penyakit campak,” ujar dr. Karyanti.
Ia menambahkan, ketika seseorang terinfeksi campak, terdapat gejala campak yang terbagi menjadi tiga tahap.
Pertama, tahap prodromal yang ditandai dengan demam, batuk, pilek, nyeri menelan, sariawan, mata merah selama 2-3 hari, dan diare.
Kedua, tahap erupsi yakni munculnya ruam kemerahan pada bagian mulai dari batas rambut di belakang telinga yang menyebar ke wajah, leher, dan tangan atau kaki selama 5-6 hari.
Ketiga, tahap penyembuhan saat ruam hilang sesuai urutan kemunculannya menjadi berwarna kehitaman dan mengelupas yang akan hilang dalam 1-2 minggu.
Campak dapat sangat berbahaya jika terjadi komplikasi, dr. Karyanti mengatakan komplikasi tersebut, seperti ensefalopati/ensefalitis (radang otak) yang ditandai dengan kejang atau penurunan kesadaran, bronkopneumonia (radang paru) yang ditandai dengan sesak napas, enteritis (radang saluran pencernaan) yang ditandai dengan diare sampai dehidrasi berat, dan infeksi telinga bagian tengah.
Oleh karena itu, penanganan penyakit campak bersifat suportif seperti asupan cairan yang cukup, suplemen nutrisi, dan vitamin A. Pada kasus dengan komplikasi dapat diberikan antibiotik jika ada indikasi infeksi sekunder bakteri atau memerlukan perawatan di rumah sakit.
“Seseorang yang terkena penyakit campak sangat cepat menularkan virus campak melalui udara empat hari sebelum hingga empat hari setelah munculnya ruam melalui udara sehingga perlu dilakukan isolasi baik secara mandiri di rumah atau di rumah sakit,” kata dr. Karyanti.
Senada dengan dr. Karyanti, Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan dr. Prima Yosephine, MKM mengatakan yang dikhawatirkan dari campak adalah komplikasi.
“Komplikasi campak ini umumnya berat, kalau campak mengenai anak yang gizinya jelek maka anak ini bisa langsung disertai komplikasi seperti diare berat, pneumonia, radang paru, radang otak, infeksi di selaput matanya sampai menimbulkan kebutaan. Ini yang kita khawatirkan,” ujar dr. Yosephine pada konferensi pers perkembangan kasus campak, Jumat, 20 Januari 2023 lalu.
Secara umum, gejala campak dapat berupa demam, batuk pilek, mata berair, lalu disertai timbulnya bintik-bintik kemerahan di kulit. Biasanya muncul 2 sampai 4 hari setelah dari gejala awal. Dia juga membenarkan, bahwa campak ini disebabkan oleh virus campak dan penularannya melalui droplet, percikan ludah saat batuk, bersin, bicara, atau bisa melalui cairan hidung. Dan campak ini salah satu penyakit yang sangat menular.
Mewakili pemerintah, dr. Prima juga membenarkan bahwa cakupan imunisasi turun secara signifikan akibat pandemi COVID-19. Indonesia sepanjang tahun 2022 saja tercatat sudah ada 12 provinsi yang mengeluarkan pernyataan kejadian luar biasa (KLB).
“Selama tahun 2022 yang lalu jumlah kasus campak yang ada di negara kita memang cukup banyak lebih dari 3.341 laporan kasus. Kasus – kasus ini menyebar di 223 kabupaten/kota di 31 provinsi,” ungkap dr. Prima.
Jumlah kasus ini didapat selama kurun waktu 1 tahun dari Januari sampai Desember 2022. Jika dibandingkan dengan tahun 2021 ada peningkatan yang cukup signifikan kurang lebih 32 kali lipat.
Untuk itu, pemerintah melakukan penguatan surveilans campak dan rubella. Lebih lanjut, dr. Prima menegaskan kasus yang diduga campak rubella, yaitu pasien yang mengalami demam dan ruam-ruam, harus diambil spesimennya dan diperiksa di laboratorium. Selain itu penguatan surveilans dilakukan dengan segera menemukan kasus suspek campak rubella dan segera melaporkan supaya pasien dapat penanganan segera dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Ia menekan, pemerintah menargetkan eliminasi campak rubella tahun 2023 secepatnya. Eliminasi itu adalah suatu keadaan bisa menekan angka kesakitan akibat campak, sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi.
“Tapi dengan adanya kenaikan kasus campak di negara kita tentu mimpi untuk mencapai eliminasi ini menjadi agak sulit untuk bisa merealisasikannya tahun ini,” tegas dr. Prima.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post