Jakarta, Prohealth.id – Fenomena pandemi senyap bisa memperburuk kualitas hidup, memicu penurunan produktivitas. Tak hanya itu, bahkan bisa mengancam ketahanan kesehatan bangsa.
Jika seseorang mengalami infeksi resistensi antibiotik maka akan terganggu kualitas hidup sehatnya. Bahkan produktivitas kerja sehari-hari karena harus beristirahat.
“Bila ini berkembang dalam tingkat komunitas yang lebih besar akan menyebabkan tergerusnya atau ketidakmampuan dari ketahanan suatu bangsa,” ucap Spesialis Penyakit Dalam dr. Soroy Lardo.
Terkait dengan hal tersebut maka pemahaman atas AMR harus dalam konteks yang lebih luas. Ada empat aspek penting yang terlibat. Pertama, agen infeksi (kuman), tubuh yang terinfeksi (host), lingkungan tempat penyebaran penyakit, dan perilaku penggunaan antibiotik yang tepat oleh individu.
“Host” dalam konteks negara dapat merupakan daya tahan bangsa sedangkan “perilaku” mencerminkan ketahanan bangsa dalam menghadapi ancaman ini. Guna menanggulangi AMR maka membutuhkan pendekatan yang bersifat integratif dan kolaboratif antara berbagai disiplin ilmu.
Dinamika Resistensi Antibiotik
Antibiotik ditemukan pada 1914. Kemudian WHO mendeklarasikan resistensi antibiotik sebagai masalah kesehatan global pada 2001. Selanjutnya ada temuan kuman atau strain yang resisten, klebsiella pneumoniae pada 2017.
Diperkirakan 10 juta orang akan meninggal setiap tahun pada 2050 jika AMR ini tidak mendapat penanganan serius.
Kata dr. Soroy, tantangan global resistensi antibiotik itu tidak bisa terlepas dari perkembangan penyakit infeksi yang sedemikian cepat, semakin kompleks. Hal ini terbukti saat dunia mengalami dua tahun menangani COVID-19.
“Resistensi antibiotik ini menjadi ancaman global kesehatan masyarakat yang berdampak terhadap sosial ekonomi dan merusak kesehatan jutaan orang,” kata dr. Soroy yang juga Brigjen TNI Purnawirawan ini secara daring pada Kamis, 28 November 2024 lalu.
AMR berkembang cepat baik pada manusia maupun hewan. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional, termasuk di bidang pertanian dan perikanan, memperburuk masalah ini.
Di Media Briefing “Resistensi Antibiotik dan Ketahanan Kesehatan Bangsa” yang diselenggarakan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr. Soroy menjelaskan antibiotik adalah untuk meningkatkan pertumbuhan hewan. Tak heran jika penggunaan antibiotik termasuk dalam budidaya ikan. Hal ini memperburuk penyebaran AMR pada manusia. Situasi tersebut menjadi ancaman besar terhadap kemajuan dalam perawatan kesehatan, produksi pangan, dan harapan hidup manusia.
Kompleksitas dan Pencegahan Resistensi Antibiotik
Masalah AMR menjadi semakin rumit dengan keberadaan mikroba yang resisten terhadap berbagai obat. Infeksi berat seperti sepsis akibat bakteri resisten memerlukan pemahaman mendalam mengenai faktor risiko dan gejala dini. Pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit juga merupakan langkah penting dalam mengurangi penyebaran AMR.
Sementara dalam interaksi antara tubuh manusia, kuman, dan antibiotik menunjukkan bahwa bakteri dapat beradaptasi dengan antibiotik. Lalu mengembangkan lapisan pelindung (biofilm), dan menginfeksi jaringan tubuh. Karena itu penting untuk memperkenalkan kebijakan penggunaan antibiotik yang tepat seperti sistem “Access, Watch, Reserve.” Tujuannya mengatur pengeluaran antibiotik berdasarkan tingkat urgensi dan kekhususan penggunaannya.
Strategi dan Tata Kelola
Strategi One Health sangat penting dalam menangani resistensi antibiotik. Caranya dengan mengintegrasikan upaya di sektor kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
Upaya ini mencakup pengelolaan antibiotik secara terkontrol di sektor kesehatan, pertanian, dan pengendalian penggunaan antibiotik pada hewan. Pendekatan ini di sektor kesehatan melibatkan peningkatan kesadaran publik tentang penggunaan antibiotik yang rasional dan tepat.
Rencana Aksi Nasional telah disusun lewat Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Dan Kebudayaan Nomor 7 Tahun 2021 melibatkan lintas kementerian dan lembaga seperti Kementerian Kesehatan, Badan POM, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tujuannya untuk mengendalikan penggunaan antibiotik secara lebih baik dan mengurangi risiko resistensi antibiotik yang lebih luas.
Strategi tata kelola optimasi juga perlu pendekatan tetra helix. Ini untuk memperkuat sistem pelayanan kesehatan, meningkatkan komunikasi publik tentang risiko resistensi antibiotik. Selain itu juga memajukan pendidikan dan pelatihan, serta mengelola faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi penyebaran resistensi antibiotik. Pendekatan untuk menangani resistensi antibiotik ini melibatkan empat aspek utama yaitu manajemen institusional, manajemen lapangan, manajemen keilmuan, dan manajemen lingkungan.
Kesadaran tentang penggunaan antibiotik yang rasional dan dampak dari penyalahgunaannya harus ditekankan dan organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dapat berperan sebagai mitra strategis dalam menyebarkan informasi dan pelatihan untuk mengatasi resistensi antibiotik.
Resistensi antibiotik merupakan pandemi senyap dan memiliki dampak yang luas tidak hanya dalam tataran klinis tetapi juga sosial ekonomi.
Bertautan dengan hal tersebut maka strategi One Health dengan pendekatan tetra helix akan memberikan dampak yang lebih besar dalam pengendalian resistensi antibiotik secara efektif. Di samping itu masyarakat harus tahu komunikasi yang baik tentang penggunaan antibiotik.
“Komunikasi perlu agar masyarakat tahu bahwa menggunakan antibiotik tanpa resep dokter itu akan berdampak kepada resistensi antibiotik. Ini tidak saja tugas tenaga petugas kesehatan tetapi bisa individu atau lembaga yang sudah memahami bahayanya resistensi antibiotik,” pungkas dr. Soroy Lardo.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post