Jakarta, Prohealth.id – Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok tertinggi di Asia Tenggara (ASEAN). Data juga menunjukkan bahwa kegiatan merokok di Indonesia telah dimulai sejak usia muda.
Dokter spesialis paru dan pernafasan dr. Jaka Pradipta mengungkapkan, setiap tahun perokok laki-laki berusia muda terus bertambah. Selain itu, perokok perempuan juga menunjukkan tren serupa. “Hal itu terjadi karena mendapatkan rokok semakin mudah,” katanya.
Tak heran jika banyak brand rokok menargetkan perokok usia muda. Alasannya, agar konsumsi rokoknya lebih lama. “Bisa lebih panjang secara bisnis dan lebih menguntungkan,” terang Jaka.
Jaka menjelaskan, ada begitu banyak zat berbahaya di dalam sebatang rokok. Namun kandungan yang paling dominan adalah Nikotin yang menyebabkan adiksi (ketagihan).
“Itulah mengapa merokok berbahaya. Selain itu bisa menyebabkan gangguan pada pembuluh darah, terjadinya penyumbatan,” terangnya.
Zat lainnya adalah TAR (bersifat karsinogen) menyebabkan kanker dalam jangka waktu lama. Lalu ada CO (karbon monoksida) yang dalam durasi singkat, apabila jumlahnya banyak akan berikatan dengan sel darah merah sehingga bersifat toksik (racun).
“CO dalam mengikat Hemoglobin 300 kali lebih kuat dari pada oksigen. CO juga berhubungan dengan gangguan pembuluh darah,” ujarnya.
Menurut Jaka, Ini yang membuat para perokok kerap mengalami pusing, keliyengan, nyeri kepala, seiring berkurangnya kadar oksigen di dalam darah. Rokok juga menyebabkan radikal bebas, oksidatif dan bahan lain, dimana hal itu mengakibatkan peradangan kronik, dan infeksi.
Saat ini muncul fenomena baru, dimana ada upaya mengubah kebiasaan konsumsi rokok konvensional ke rokok elektrik (Vape) yang lagi-lagi menyasar generasi muda. Melalui aneka bentuk yang menarik, itu merupakan salah satu trik pemasaran agar konsumsinya meningkat.
Meskipun zero Nicotin, Jaka menyebut Vape sama buruknya, karena menghasilkan zat-zat yang sangat berbahaya. “Sebut saja CO yang tinggi atau logam yang dibakar, itu sangat berbahaya karena bersifat karsinogen,” ungkapnya.
Lalu mengapa orang susah berhenti merokok? Jaka menyebutnya, sebagai efek dari Nikotin di otak. Nikotin bekerja seperti asetilkolin yang berikatan dengan reseptor kolinergik yakni nikotinik reseptor di otak.
Efek lainnya meningkatkan dopamine, glutamate dan efinefrin, sehingga memberikan rasa nyaman dan percaya diri. “Karena syaraf-syaraf signatifnya terus dirangsang,” kata Jaka.
Selain itu, Jaka menambahkan, “jika ingin putus nikotin, mengakibatkan sakit kepala, emosi tidak stabil dan sulit konsentrasi”.
PENELITIAN DI WUHAN
Data terbaru dari Wuhan, China terkait karakteristik klinikal terhadap 140 pasien yang terinfeksi SarsCov-2, ternyata seluruh pasien yang mendapatkan gejala berat merupakan perokok aktif sebesar 3,4 persen, dan 6,9 persen bebas perokok. Pada kelompok gejala ringan, sebanyak 0 persen yang merokok dan 3,7 persen bekas perokok.
Selain itu, penelitian juga membuktikan bahwa perokok berisiko 1.4 kali lipat memiliki gejala berat dan 2.4 kali lipat dirawat di ICU dibandingkan pasien yang tidak merokok. “Risikonya meningkat menjadi gejala berat sebesar 2 kali lipat,” katanya.
Sementara terkait analisis faktor penyakit pada pasien rawat inap penderita Covid-19, ditemukan 27,3 persen adalah perokok pada pasien dengan kondisi berat. “Ini menunjukkan riwayat merokok meningkatkan risiko perburukan gejala sebesar 14 kali lipat,” terang Jaka.
Jaka menjelaskan, virus Covid-19 masuk melalui reseptor yang disebut angiotensin-converting enzyme-2 (Ace2) reseptor yang dominan pada saluran nafas atas dan bawah. Kendati demikian, Ace2 reseptor juga dijumpai pada organ lainnya seperti jantung, mata, lever, dan otak.
“Karena berada di saluran nafas atas, maka gejalanya dominan kearah sana. Ini berhubungan dengan efek rokok yang ternyata meningkatkan reseptor Ace2,” ujarnya.
Sehingga tidak mengeherankan, para perokok akan memiliki reseptor Ace2yang bertambah di areal paru dan saluran nafas atas. “Dia gak nambah di jantung dan gak nambah di liver,” katanya.
“Bayangkan jika virus yang masuk cuma 10, tapi reseptornya banyak. Mereka senang dan langsung merusak sel-sel tubuh, karena pintu masuknya virus terbuka lebar,” ungkap Jaka.
MENINGKATKAN RISIKO COVID-19
Jaka mengungkapkan, asap rokok menyebabkan gangguan sistem imunitas saluran nafas dan paru. Merokok meningkatkan regulasi reseptor Ace2.
“Perokok yang sudah lama berisiko penyakit kronik seperti jantung, diabetes, PPOK disebut memiliki komorbid. Ini penyebab terbesar kematian pada pasien Covid,” ungkapnya.
Hal itu terjadi, karena aktivitas merokok sering bersinggungan dengan mulut saat merokok, sementara tangannya belum dicuci. Ini juga yang menyebabkan risiko tangan terkontaminasi sangat besar.
“Rokok sebagai agen agar seseorang itu terinfeksi,” kata Jaka. Rokok tidak hanya memperberat gejala, namun perokok terpapar lebih besar yang diperburuk jika tidak menggunakan masker.
Saat menghirup asap rokok, ditengarai ada banyak partikel debu, termasuk droplet dari penderita Covid-19. “Bayangkan jika itu Vape yang asapnya luar biasa banyak, bisa seluruh ruangan penuh oleh gas. Lalu ada yang positif Covid-19, maka virus bercampur dengan partikel udara dan air,” ungkapnya.
Jadi sangat bahaya, jika seseorang yang positif Covid-19 dan merokok Vape berpotensi menyebarkan virus ke sekitarnya. Oleh karena itu, kegiatan vaping dianggap berbahaya saaat ini.
KERUSAKAN ORGAN
Penelitian membuktikan, fungsi silia saluran nafas terganggu akibat asap rokok. Bagi perokok, pergerakan silia menurun sampai 50 persen hanya dengan 2-3 kali hisapan rokok.
Eliminasi atau membersihkan bahan berbahaya di saluran nafas akan menurun saat seseorang terus menerus merokok. Ketika silia tidak mampu membersihkan saluran nafas, termasuk membuang dahak (scutum), maka virus akan menumpuk di saluran nafas.
“Saat silia tidak berfungsi maksimal, virus akan mudah menyerang tubuh,” tegasnya.
Selain itu, merokok menyebabkan gangguan pada sel imunitas, sehingga virus langsung masuk dan memperberat gejala yang ditimbulkan. Di dalam saluran pernafasan ada sel-sel imun yang menjaga setiap benda asing. “Ibaratnya seperti satpam,” kata Jaka.
Risiko Covid-19 derajat berat dan kematian juga meningkat pada pasien Covid-19 dengan komorbid terutama kardiovaskuler dan respirasi. Bahkan perokok akan mengalami gangguan pada pembuluh darah dan jantung, sehingga mengakibatkan stroke.
“Hal-hal itu menjadi komorbid, apabila terpicu oleh peradangan akibat Covid maka gejalanya menjadi sangat berat,” terang Jaka.
PILIHAN BERHENTI MEROKOK
Di masa pandemi sekarang ini, banyak perokok yang menjalani isolasi mandiri (isoman) dan memilih untuk berhenti merokok. Hal itu semata-mata, karena Covid-19 yang sangat menyiksa penderita.
“Pasien yang isoman, merasa batuk dan sesak membuatnya tidak ingin merokok. Dalam dua minggu dia tersadar, bahwa dia bisa tidak merokok,” ungkanya.
Oleh karena itu, Jaka mengusulkan agar momen tersebut jangan disia-siakan. Sebisa mungkin, para perokok melanjutkan kebiasaan tersebut. “Karena yang paling susah adalah motivasi dan keingan berhenti merokok,” ucapnya.
Motivasi dan keinginan berhenti merokok acapkali datang dari lingkungan terdekat. Misalnya berkat peran istri, anak atau orang tua. Sehingga menjaga motivasi sangat dianjurkan.
Jaka juga menjelaskan ada banyak cara untuk berhenti merokok. Salah satunya, berhenti seketika. Pandemi menurutnya, menjadi momentum yang baik untuk melakukan hal itu.
Lalu ada cara ‘menunda’. Cara ini sifatnya menunda kegiatan merokok dalam jangka waktu tertentu. Misalnya, tidak merokok selama 2 jam setiap hari.
“Biasa bangun pagi langsung merokok, dimulai jam 9 pagi, lama-lama dikurangi misalnya dari 9 pagi – 3 sore, sampe akhirnya boleh merokok hanya pas makan siang aja,” ujar Jaka mencontohkan.
Kemudian “mengurangi” jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari. Misalnya, jumlahnya dikurangi dari 1 bungkus menjadi 1/2 bungkus, lalu 2 batang, hingga akhirnya berhenti total.
“Jadi ada banyak cara dan masing-masing orang berbeda-beda, tergantung mana yang lebih nyaman. Ini sifatnya person to person,” papar Jaka.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa berhenti seketika merupakan cara yang terbaik ketimbang menunda atau mengurangi konsumsi rokok.
Saat masyarakat diwajibkan bekerja dari rumah (work from home), termasuk mengurangi mobilisasi, momen itu menurut Jaka sebagai waktu yang tepat untuk meninggalkan kebiasaan merokok. “Sudah tidak perlu lagi curi-curi ke teras untuk merokok,” katanya.
Selanjutnya, jika bosan dan keinginan merokok muncul, maka harus diganti dengan kegiatan yang lebih bermanfaat. Isi kesibukan agar bisa melupakan rokok, misalnya melakukan hobi.
Tak hanya itu, mulailah berolahraga dan hidup sehat. “Lari atau bersepeda juga baik untuk mengurangi kebiasaan merokok,” ujar Jaka.
Dan yang terpenting, Jaka menganjurkan untuk membuang semua asbak, bungkus rokok, puntung rokok dan korek api yang ada di rumah. Karena dari visual biasanya akan merangsang otak untuk kembali merokok.
“Jika ada anggota keluarga yang merokok, umpetin diam-diam, biar susah dicari, sehingga jadi malas untuk merokok,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post