Jakarta, Prohealth.id – Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, FIKES (Fak. Ilmu-ilmu kesehatan) Emma Rachmawati mengatakan ada signifikansi penyakit kronis dan perilaku merokok dalam perkembangan sindrom gangguan pernapasan akut. Hal terungkap dalam riset studi cross-sectional pasien rawat inap di Indonesia dengan Covid-19 yang dibiayai melalui program hibah Johns Hopkins Public Health (JHSPH’s) dan Institute for Global Tobacco Control (ITCRN) pada tahun 2020.
“Ada kebermaknaan antara penyakit kronik dan perilaku merokok dalam mengembangkan keparahan dari pasien yang terkena Covid-19 di beberapa rumah sakit Muhammadiyah,” kata Emma saat menjadi pembicara pada webinar “Bahaya merokok dan Covid-19 serta Upaya Mengendalikannya”, Selasa (30/11/2021).
Latar belakang penelitian tersebut adalah melonjaknya kasus Covid-19, merujuk data per 28 Juni 2020 pukul 15.45 WIB dengan 54.010 kasus, dimana dalam satu hari bertambah 1198 pasien dari 17.230 spesimen. Saat itu yang meninggal 2.754 orang, dan sembuh 22.936 orang atau CFR 5,09 persen. Juga ditemukan 28.183 kasus aktif atau masih menjalani perawatan.
“Waktu itu kasus tertinggi ada di Jatim, Sulteng, Jateng dan DKI dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih perpanjangan,” ujarnya.
Menurut Emma, pada Juni tahun lalu dan Juni 2021, jumlah kasus Covid-19 relatif sama. Hal itu terjadi akibat musim liburan yang mengakibatkan jumlah pasien yang terkonfirmasi Covid-19 ikutan melonjak.
“Sekarang yang harus diwaspadai adalah akhir tahun (libur Natal dan tahun baru). Ini diingatkan agar tidak terjadi lonjakan pada gelombang ketiga. Ditambah dengan varian baru yang berasal dari Afrika Selatan,” terang Emma.
Sementara itu, data per 28 November 2021 diketahui sebanyak 264 jumlah kasus baru dan rata-rata dalam 7 hari ditemukan 361 kasus.
Dengan situasi sekarang ini, tidak ada yang bisa memastikan kapan Covid-19 akan berakhir. Munculnya varian baru dan kelonggaran terhadap protokol hingga terbentunya herd immunity merupakan hal lain yang perlu diperhatikan.
“Vaksin juga masih diteliti apakah ampuh terhadap varian-varian baru. Meskipun ada yang bilang keampuhannya sama terhadap varian baru, tetapi belum ada bukti yang cukup soal itu,” katanya.
Selama ini, faktor risiko Covid-19 terjadi pada penduduk usia 60 tahun keatas dan kebanyakan adalah laki-laki, ditambah komorbid alias penyakit penyerta yang dimiliki, seperti penyakit paru-paru sebut saja antara lain; asma, TBC, paru-paru obstruktif kronis (PPOK), penyakit jantung, obesitas, dan kanker.
Selain itu, perokok lebih mungkin mengalami peningkatan keparahan penyakit Covid-19 dibandingkan dengan non perokok. “Ini berdasarkan tinjauan para ahli kesehatan masyarakat WHO pada 29 April 2020,” katanya.
Sebelumnya, beberapa studi telah menjelaskan bahwa pasien Covid-19 yang membutuhkan ventilator, dirawat di ICU hingga meninggal, 25,5 persen diantaranya merupakan perokok baru dan 7,6 persen perokok lama.
Hasil analis multivariat logistik studi lainnya menunjukkan bahwa Odds Ratio (OR) atau faktor risiko bagi perokok usia 60 tahun keatas sebanyak 8 kali. Sementara mereka yang memiliki riwayat merokok, faktor risikonya lebih tinggi 14 kali.
Riset lainnya juga mencatat, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan penyebab utama tingginya angka kematian pada pasien Covid-19.
Sementara di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menjelaskan bahwa Indonesia merupakan angka perokok tertinggi di dunia untuk kelompok laki-laki. Adapun perokok usia diatas 15 tahun sebanyak 33,8% terdiri dari 62,9 persen laki-laki, dan 4,8 persen perempuan.
PENGAJUAN PROPOSAL
Menurut Emma, sewaktu mengajukan proposal, mereka berniat menggunakan data sekunder dari RS Muhammadiyah – Aisiyah (RSMA). Pasalnya, selama pandemi, ormas Muhammadiyah melalui RSMA aktif melayani pasien Covid-19.
RSMA berada di 10 provinsi di Indonesia dengan total 87 rumah sakit. Semua RSMA telah ditunjuk oleh MPKU PP Muhammadiyah, MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) dan MCCC (Muhammadiyah Covid-19 Command Center) untuk membantu penanganan Covid-19.
Namun uniknya, ketika Muhammadiyah menerapkan fatwa haram rokok, ternyata di rekam medis pasien tidak ditemukan pencantuman status sebagai perokok atau tidak.
“Apalagi jika ditanya sampai detail, apakah perokok lama atau baru. Tidak ada data seperti itu. Itu perjuangan kami untuk mendapatkan data, luar biasa,” katanya. Data-data tersebut sangat bermanfaat untuk melihat hubungan perilaku merokok dan Covid-19.
Menurut Emma, tujuan penelitian mereka untuk mengeksplorasi efek perilaku merokok pada perkembangan ARDS di antara pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit.
“Ini merupakan studi yang pertama di Indonesia yang mengaitkan perilaku merokok dengan keparahan Covid-19 dengan melihat perkembangan ISPAnya,” katanya.
Pada penelitian ini, Emma dan teman-temanya menerapkan tiga jenis metodologi. Metodologi pertama menggunakan desain cross sectional dengan analisis Chi square dan regresi logistik.
Mereka meneliti pasien Covid-19 confirmed (PDP) yang dirawat di 16 RSMA tersebar di 5 provinsi DKI Jakarta, Jateng, DIY, Jatim, Kalteng pada periode Maret-Juli 2020.
Adapun sampelnya 490 pasien Covid-19 dengan response rate 60,12 persen, dan kriteria inklusi adalah teregistrasi, bersedia menjadi responden untuk status merokok, serta memiliki data yang lengkap.
“Datanya lengkap dan teregistrasi diambil dengan bantuan para perawat untuk melakukan penelusuran yang diduga perokok,” terang Emma.
Metodologi kedua untuk mengukur smoking status/ behaviour. Data disesuaikan dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDCP) dan dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan Laporan Statistik Kesehatan Nasional, Nomor 145, 22 Juli 2020.
Mereka adalah yang tidak pernah merokok (never smoker) atau merokok kurang dari 100 batang dalam hidup mereka. Lalu mantan perokok (former smokers), telah merokok setidaknya 100 batang dalam hidup mereka tetapi telah berhenti merokok. Sementara perokok saat ini (current smokers) adalah perokok dengan 100 batang dalam hidup mereka dan dalam 30 hari terakhir.
Kemudian metodologi ketiga untuk mengukur keparahan ARDS akibat penyakit Covid-19 berdasarkan rekam medis di Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), khususnya status perawatan terakhir kali pasien berobat.
Pasien terebut dikelompokkan menjadi pasien rawat jalan (outpatients) untuk pasien tanpa gejala dan gejala ringan, rawat inap (Inpatients) untuk pasien dengan gejala berat dan unit perawatan intensif (ICU) untuk pasien dengan kondisi kritis.
“Mereka juga teruji positif Covid-19 menggunakan uji reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT PCR) melalui pemeriksaan laboratorium di rumah sakit,” katanya. Sementara ARDS ditetapkan berdasarkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 edisi kelima yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan.
Analisis dari faktor yang berasosiasi dengan pengembangan ARDS bagi pasien Covid-19 yang dirawat didapati sejumlah hal menarik. Diketahui, penyakit yang diakibatkan oleh status sebagai perokok memiliki risiko dengan tingkat keparahan yang berbeda.
“Untuk mereka yang masih merokok memiliki risiko tingkat keparahan sebanyak 5 kali. Sementara mantan perokok memiliki tingkat keparahan sebesar 2,3 kali,” katanya.
Kemudian analisis regresi ordinal status merokok dan tingkat keparahan pasien Covid-19 dikelompokkan berdasarkan usia. Pasien dengan umur diatas 60 tahun ternyata risikonya mencapai 6,6 kali lipat. “Sementara mantan perokok risikonya 6,45 kali,” ungkapnya.
Khusus mereka yang usia dibawah 60 tahun, hasilnya tidak terlalu bermakna. “Namun hati-hati, karena jangan sampai ini menipu, karena usia belum 60 tahun, nantinya akan mencapai 60 tahun juga. Kita tidak tahu risiko di depan seperti apa. Mungkin disini ada faktor imunitas untuk yang masih muda lebih kuat dibandingkan yang usianya lebih dari 60 tahun,” papar Emma.
Mereka yang saat ini masih merokok, faktor risikonya hanya 0,62 kali. Sementara mantan perokok menghadapi faktor risiko sebesar 1,31 kali. “Perbandingannya jauh lebih tinggi,” katanya
Sedangkan jika dilakukan adjusted atau menghilangkan efek-efek lain, seperti komorbid, diperlukan untuk melihat pengaruh langsungnya. Dengan melihat perbandingan antara current dan former smoker akan terlihat tingkat keparahan, bagi yang dirawat, masuk ICU dan sembuh.
“Yang bermakna justru former (pernah merokok). Risiko masuk perawatan ICU sebesar 1,82 kali, ketimbang current sebesar 0,97 kali. Perokok current tidak menunjukkan hubungan yang bermakna,” katanya.
KESIMPULAN
Bukti saat ini, menurut Emma, menunjukkan adanya penyakit kronis dan perilaku merokok dapat digunakan sebagai prediksi awal perkembangan ARDS (ISPA) di antara pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit.
Hal itu terbukti ketika 148 orang atau 31,2 persen pasien Covid-19 merupakan perokok dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 140 orang atau 60,87 persen. Sebagai current smokers mereka menghabiskan lebih dari 8 batang rokok perhari.
Perokok terbanyak ditemukan pada kelompok pasien Covid-19 dengan penyakit komorbid. Sebanyak 82 orang memiliki hipertensi yakni 34,74 persen dan diabetes 75 orang atau 31,77 persen.
Adapun perokok pada kelompok usia dibawah 60 tahun sebanyak 118 orang setara 30,49 persen. Lalu perokok pada kategori tingkat keparahan Covid-19 terdiri dari 148 perokok yaitu 33,71 persen pada rawat inap sebanyak 439 orang, dan13 orang atau 25 persen pada perawatan ICU sebanyak 52 orang.
“Status merokok pasien current and former smoker pada kelompok usia diatas 60 tahun berhubungan secara signifikan dengan tingkat keparahan pasien Covid-19,” katanya.
REKOMENDASI
Emma mengusulkan agar status merokok pasien selalu dicantumkan dalam rekam medis pasien Covid-19, sehingga pencegahan peningkatan keparahan Covid-19 dapat diketahui lebih awal. “Khususnya untuk pasien dengan penyakit komorbid dan berjenis kelamin laki-laki sebagai kelompok yang paling berisiko,” terangnya.
Upaya promotif berupa informasi yang tepat mengenai dampak merokok terhadap tingkat keparahan Covid-19 dapat didukung dengan hasil-hasil penelitian sejenis lainnya yang lebih akurat dan lengkap. “Ini juga perlu dikaitkan dengan perkembangan varian baru, serta status vaksin,” ujarnya.
Ketika ada yang mengatakan, tidak ada hubungan antara merokok dengan Covid-19, Emma menegaskan, penelitian mereka justru hadir untuk membuka kesadaran para perokok. “Karena ini didasarkan atas bukti-bukti, bukan perkiraan,” tandasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post