Jakarta, Prohealth.id – Evy Rachmad (68 tahun), salah satu pasien kanker hati menyampaikan harapan agar pengobatan kanker hati dapat ditanggung oleh pemerintah, termasuk obat-obatan yang terbaru seperti imunoterapi kanker.
Dia menyatakan, selama ini semua biaya pengobatan ditanggung sendiri dan tidak masuk dalam BPJS.
“Saya juga berharap agar bisa mendapatkan informasi yang lengkap, baik tentang pentingnya memeriksa risiko kanker hati secara rutin, apa saja tahapan penyakit saya dan apa saja pengobatan yang ada sehingga kami sebagai pasien jelas tentang penanganan kanker hati yang kami alami,” ungkap Evy.
Perempuan penderita kanker hati yang juga anggota komunitas Cancer Information and Support Center (CISC) menyatakan deteksi dini juga menjadi kunci dalam perbaikan kesintasan pasien kanker hati. Untuk itu, pemeriksaan rutin pada pasien yang memiliki risiko tinggi seperti pasien hepatitis B dan C harus menjadi perhatian.
Hal ini yang dialami oleh Erla Watiningsih, dimana suaminya telah meninggal dalam jangka waktu setahun setelah terdiagnosis kanker hati.
“Pembelajaran yang saya dapatkan adalah penting sekali melakukan pemeriksaan rutin untuk pasien dengan risiko tinggi kanker hati, diantaranya hepatitis B. Harapan saya adalah terbentuknya sinergi antara berbagai pihak baik pemerintah, dokter, rumah sakit maupun komunitas untuk peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai deteksi dini kanker hati,” ujar ibu
Erla Watiningsih yang juga merupakan pendiri Komunitas Peduli Hepatitis menegaskan, semakin cepat dideteksi, maka akan semakin cepat mendapatkan penanganan yang tepat. Sehingga, prognosa kanker hati juga akan semakin baik.
Menurut Dr. dr. Agus Susanto Kosasih, Sp.PK(K), selaku Dokter Spesialis Patologi Klinik menilai dua pengalaman pasien ini menandakan bahwa masyarakat yang berisiko harus rutin melakukan tes atau kita sebut surveilans untuk mendeteksi kanker hati. Dengan perkembangan kemajuan teknologi kesehatan, hasil pemeriksaan bagi pasien juga kini dapat lebih akurat dalam bantuan diagnosis kanker hati yaitu dengan tes terkini, PIVKA II.
“Kadar PIVKA II di atas nilai normal dapat menjadi penanda yang lebih baik dalam surveilans untuk menyarankan pasien mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.” jelas
PIVKA II adalah biomarker yang dapat digunakan dalam surveilans rutin pada populasi berisiko tinggi yaitu pada pasien dengan kelainan hati. Kadar PIVKA II diatas nilai normal dapat menjadi penanda dalam surveilans untuk menyarankan pasien mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut. PIVKA II lebih sensitif dalam mendiagnosis kanker hati, terutama bila dikombinasikan dengan Tes darah untuk alfa-fetoprotein (AFP).
Studi menunjukan kombinasi PIVKA II + AFP memberikan akurasi diagnostik yang lebih baik dan dapat mendeteksi lebih banyak pasien kanker hati pada pasien hepatitis B & C. Peningkatan kadar PIVKA berkorelasi baik dengan stadium penyakit, terlepas dari ukuran tumor, kelompok etnis pasien, atau etiologic kanker hati.
Dalam interpretasi hasil PIVKA II, pemeriksaan lainnya dalam tatanan klinis tetap perlu dilakukan seperti CT-Scan dan MRI atau jika dibutuhkan adalah biopsi untuk memberikan diagnosis yang tepat bagi pasien. Pemeriksaan PIVKA II dilakukan dengan menggunakan sampel darah dan dikerjakan metode ECLIA di laboratorium Patologi Klinik.
Asal tahu saja, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyetujui pengobatan pasien kankerhati tipe karsinoma sel hati stadium lanjut atau yang tidak dapat dioperasi dan belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya dengan Obat imunoterapi atezolizumab yang berkombinasi bevacizumab. Menurut dr. Else Mutiara Sihotang, Sp.PK, Kasubdit RS Pendidikan Kementerian Kesehatan, persetujuan BPOM untuk imunoterapi pertama pada terapi kanker hati ini menandai era baru pengobatan kanker hati yang merupakan penyakit yang berkembang cepat.
Jumlah kasus kanker hati mencapai 21.392 orang pada tahun 2020. Pasalnya, kanker hati adalah salah satu kanker yang paling tinggi menyebabkan kematian di Indonesia. Kanker hati juga merupakan penyebab kematian karena kanker peringkat ke-4 di Indonesia dengan angka prevalensi 5 tahun sebesar 22.530 kasus. Karsinoma sel hati atau hepatoselular karsinoma (HCC) merupakan salah satu tipe kanker hati utama yang paling umum dengan prognosis (perjalanan penyakit) yang sangat buruk. Mengutip data Globocan 2020, di dunia, terdapat sekitar 750.000 orang per tahunnya terdiagnosis karsinoma sel hati (HCC) 2,3 dan umumnya sudah pada stadium lanjut. Di Indonesia, insiden karsinoma sel hati terjadi pada 13,4 per 100.000 penduduk.
Menurut dr. Else, penyakit kanker menjadi beban masyarakat dunia. Oleh sebab itu Kementerian Kesehatan menjadikan kanker sebagai prioritas dalam rencana strategis. Menangani kanker harus komprehensif, melibatkan berbagai sektor dan pihak dengan pendekatan multidisiplin dan kolaborasi interprofesional, dengan fokus pada pasien.
Berdasarkan hasil publikasi yang dilakukan secara retrospektif pada dua rumah sakit tersier yakni Rumah Sakit Umum Nasional Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Nasional Kanker Dharmais, antara Januari 2015 hingga November 2017 tercatat tingkat kematian pasien karsinoma sel hati sebesar 48,2 persen dimana diantaranya terdapat 23,4 persen pasien meninggal dalam rentang waktu 6 bulan setelah terdiagnosis.
Salah satu penyebab tingginya tingkat mortalitas ini adalah terlambatnya diagnosis, sehingga sebagian besar pasien datang sudah dalam kondisi stadium lanjut. Tidak hanya itu, meskipun angka kejadian karsinoma sel hati tinggi, pasien dengan penyakit ini hanya memiliki pilihan yang terbatas untuk pengobatan yang berdampak pada tingkat kematian yang tinggi.
“Sebagian besar pasien karsinoma sel hati di Indonesia datang ketika sudah masuk stadium lanjut, sementara pilihan pengobatan yang ada sangat terbatas.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post