Jakarta, Prohealth.id – Saat ini siapapun bisa dengan mudah menemukan kandungan gula dalam produk minuman dan makanan manis yang banyak beredar.
Kerap kali ada anggapan bahwa gula tidak berbahaya. Seolah membuat tidak ada bahaya jika konsumsi berlebihan. Berbeda dengan rokok yang jelas berbahaya dan lengkap dengan tanda peringatan pada produknya.
Padahal konsumsi gula berlebihan oleh anak-anak akan berdampak pada kesehatannya. Bahkan kelebihan gula akan berkontribusi pada meningkatnya potensi penyakit tidak menular (PTM).
Gula berlebih dapat merangsang otak untuk melepaskan dopamin yang memicu keinginan untuk mengonsumsi lebih banyak gula. Gejala seperti keinginan kuat untuk mengonsumsi makanan atau minuman manis adalah indikasi dari adiksi.
Konsumsi gula akan meningkatkan kadar gula darah secara cepat. Lalu melepaskan insulin dan dopamin, serta mengakibatkan penurunan gula darah yang drastis. Akibatnya, memicu rasa lapar dan ketergantungan lebih lanjut terhadap makanan atau minuman manis.
Artinya, paparan yang berulang-ulang dan konsentrasi yang berlebih ini akan menyebabkan perilaku ketergantungan dan mengurangi kemampuan regulasi pada anak.
“Jadi akan ada terus keinginan untuk mengonsumsi gula yang berlebih pada anak,” kata dr. Siska Mayasari Lubis di Media Briefing “Sugar Addiction pada Anak” yang diselenggarakan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) secara daring pada Selasa, 26 November 2024 lalu.
Beberapa Jenis Gula
Dokter Siska memaparkan ada beberapa jenis gula seperti gula alami, gula tambahan, dan gula bebas.
Gula alami itu terdapat dalam makanan. Mudah untuk menemukan jenis gula ini karena terkandung bersama nutrisi penting lainnya seperti vitamin, mineral, dan serat. Umumnya terdapat dalam buah, susu, dan sayuran.
Kemudian gula tambahan itu ditambahkan ke dalam makanan dan minuman selama proses produksinya. Seringkali tujuannya untuk memberikan rasa manis pada makanan dan minuman olahan. Contohnya sukrosa, fruktosa, dan glukosa.
Sementara gula bebas adalah jumlah total gula tambahan ke makanan atau minuman. Misalnya; minuman bersoda, yogurt berperasa, dan sereal.
Preferensi Rasa pada Anak
Bayi sejak lahir sudah memiliki preferensi terhadap rasa manis. Pemberian susu formula akan membuat bayi mengingat rasa yang sama, yaitu rasa manis. Penerimaan ini mungkin bisa berbeda antara anak yang mendapatkan asi dengan susu formula.
Pola makan yang sehat juga terbentuk melalui paparan rasa yang bervariasi sejak bayi. Terutama melalui pemberian asi yang mengandung rasa yang bervariasi tergantung makanan ibu. Preferensi terhadap rasa manis ini bisa berubah akibat paparan sebelum dan sesudah kelahiran.
“Asi memberikan rasa dan aroma yang berbeda-beda tergantung pada nutrisi ibunya. Jadi apa yang ibu makan, itu akan memberikan rasa,” ucap anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi IDAI ini.
Lanjut dr. Siska, jika ibu makan rendang, makan gulai ayam, maka itu akan memberikan rasa dan aroma yang berbeda-beda pada bayi yang mendapatkan asi.
Pentingnya Mengurangi Konsumsi Gula
Produk minuman manis banyak beredar seperti jus buah, susu dengan perisa, atau minuman bersoda. Namun jenis ini sekadar meningkatkan kalori cair dan tidak memberikan rasa kenyang sehingga meningkatkan konsumsi.
“Jadi habis minum satu botol kemudian ingin minum lagi. Kondisi itu menunjukkan adiksi dan ini dapat berlanjut,” jelas dokter yang berpraktek di Medan ini.
Konsumsi gula berlebihan yang terjadi akibat mengosumsi minuman manis dapat meningkatkan indeks massa tubuh anak. Secara otomatis akan memicu obesitas pada anak. Selanjutnya, hal ini menyebabkan sejumlah masalah kesehatan pada anak. Tak terkecuali, penyakit pada orang dewasa juga bisa terjadi pada anak. Contohnya; hipertensi, hiperkolesterolemia, dislipidemia, atau diabetes.
“Jadi pintu gerbangnya itu adalah obesitas sehingga menjadi tanggungjawab bersama bagaimana bisa mencegah anak dari obesitas,” imbuhnya.
Dampak obesitas pada anak adalah diabetes. Angka diabetes pada anak meningkat seiring dengan peningkatan angka obesitas pada anak.
Paparan gula jangka panjang juga dapat mempengaruhi perkembangan otak anak. Perubahan neurokimia otak akibat konsumsi gula berkepanjangan dapat membuat jalur penghantaran otak itu kurang sensitif sehingga ini memperkuat perilaku adiktif.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan konsumsi gula tambahan pada anak sebaiknya kurang dari 10 persen dari total asupan energi dan idealnya kurang dari 5 persen.
Oleh karena itu penting untuk mengenali gula tersembunyi pada label makanan. Orang tua wajib memperhatikan setiap label nutrisi pada produk makanan atau minuman anak. Perhatian atas label nutrisi dan kandungan gula akan mengontrol asupan gula anak.
Membangun Pola Hidup Sehat Bagi Anak
Orang tua memiliki peran aktif dalam mengendalikan adiksi gula pada anak. Artinya, orang tua mulai membatasi makanan yang mengandung gula. Orang tua bisa mengganti produk manis dengan buah segar, yogurt dan susu tanpa pemanis, kacang-kacangan, atau teh herbal.
Kemudian pengurangan harus secara bertahap dan tidak bisa langsung drastis agar tidak menimbulkan penolakan dari anak. Langkah bertahap ini lebih efektif daripada melakukannya secara langsung. Air putih menjadi minuman utama dan bisa tambah dengan irisan lemon atau buah agar lebih berperasa.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) juga merekomendasikan anak usia 3 hingga 5 tahun aktif sepanjang hari. Sedangkan anak usia 6 sampai 17 tahun lebih baik melakukan aktivitas fisik intensitas sedang hingga berat selama 60 menit atau lebih setiap hari.
Orang tua harus membiasakan anak untuk memilih makanan sehat dan terlibat dalam proses memilih makanan sehat. Edukasi tentang dampak buruk konsumsi gula yang berlebihan dapat membantu anak untuk memahami alasan di balik perubahan kebiasaan makan mereka.
“Ajak anak untuk memasak dan memilih makanan sehat bersama. Lalu berikan edukasi dampak buruk dari makanan dan minuman manis dengan bahasa yang sederhana sehingga anak bisa mengurangi sendiri,” pungkas dr. Siska.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post