Jakarta, Prohealth.id – Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menekankan urgensi implementasi kebijakan pengendalian tembakau yang efektif. Ini untuk melindungi generasi muda dari bahaya rokok.
Manik Marganamahendra, Ketua IYCTC menyatakan, di tengah hiruk pikuk politik dan pelantikan kepala daerah di Indonesia, prevalensi perokok anak masih tinggi.
“Momen merayakan kemenangan Kepala Daerah belum benar-benar khidmat ketika anak-anaknya masih terancam bahaya rokok” ujarnya, Kamis (20/2/2025).
Manik dengan tegas menyatakan bahwa para kepala daerah yang baru punya peran sangat strategis dalam menegakkan regulasi kesehatan. Terutama, regulasi yang melindungi anak-anak dan remaja dari paparan rokok.
Faktanya, berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang, dengan 7,4 persen di antaranya berusia 10-18 tahun atau sekitar 5,9 juta. Peningkatan ini sejalan dengan masifnya promosi produk tembakau yang menyasar anak muda melalui media sosial dan event yang melibatkan orang muda. Manik menegaskan, ini memperjelas bahwa industri rokok secara agresif memanfaatkan celah regulasi dan lobi politik untuk menargetkan generasi muda.
“Tanpa komitmen dan tindakan tegas dari pemerintah daerah, upaya pengendalian tembakau akan sia-sia.” tambah Manik.
IYCTC melalui platform Pilihan Tanpa Beban telah memetakan sikap para gubernur dan wakil gubernur terhadap kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa banyak kepala daerah belum memiliki posisi yang jelas atau mendukung penuh kebijakan ini. Faktor politik, intervensi industri, dan kurangnya kemauan politik menjadi hambatan utama dalam implementasi kebijakan yang efektif.
Daniel Beltsazar, Project Officer IYCTC, menambahkan bahwa perbedaan sikap antara gubernur dan wakil gubernur dalam mendukung kebijakan pengendalian tembakau ini justru menjadi tantangan tersendiri.
“Misalnya, di Padang, gubernur mendukung kebijakan ini. Sementara wakilnya bersikap sebaliknya. Situasi serupa terjadi di beberapa provinsi lain, seperti Riau dan Banten. Begitupun kepala daerah di beberapa provinsi lainnya ada yang memiliki mix statement.”
Ada kekhawatiran, perbedaan pandangan dapat menghambat implementasi kebijakan di tingkat daerah. Untuk itu IYCTC mendorong para kepala daerah untuk menyelaraskan visi dan komitmen dalam pengendalian tembakau. Tak lupa, pasangan kepala daerah terpilih harus mengesampingkan kepentingan politik demi kesehatan masyarakat. Menurutnya, melindungi generasi muda dari bahaya rokok harus menjadi prioritas utama.
“Kami berharap para pemimpin daerah yang baru dilantik segera mengambil langkah konkret dalam mengadopsi dan menegakkan kebijakan pengendalian tembakau di wilayah masing-masing,” lanjut Daniel.
Para kepala daerah harus berani menerapkan kebijakan pengendalian rokok yang lebih ketat. Contoh utama, memperkuat Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR), mengawasi distribusi dan promosi rokok, serta mengalokasikan anggaran untuk kampanye edukasi bahaya rokok. Begitupun dengan penegakan aturan PP 28/2024, termasuk larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter. Selain itu melarang iklan rokok luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan. Tanpa langkah konkret ini, generasi muda akan terus terpapar bahaya rokok konvensional maupun elektronik.
IYCTC menegaskan bahwa kepala daerah baru memiliki tantangan sekaligus peluang besar untuk melindungi anak-anak dan remaja dari bahaya rokok konvensional maupun elektronik dengan menerapkan PP 28/2024. Pelantikan ini harus menjadi momentum bagi mereka untuk menunjukkan komitmen nyata terhadap kesehatan rakyat, tanpa terpengaruh kepentingan industri rokok. Sebagai bagian dari upaya pengawasan dan advokasi, IYCTC akan terus mendorong pemimpin daerah agar berani mengambil langkah tegas dalam pengendalian tembakau.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia (STPI), dr. Henry Diatmo, MKM menyatakan, momen pemerintahan baru dan pelantikan kepala daerah baru adalah peluang memperkuat kebijakan kesehatan. Kebutuhan anggaran juga harus terwujud melalui ketersediaan anggaran.
Di tengah keterbatasan anggaran karena efisiensi baik di level pusat maupun nasional perlu strategi khusus. Kata dr. Henry menilai beban untuk penanganan tuberkulosis yang selama ini berat di pusat harus beban itu harus terbagi ke daerah.
“Pemerintah daerah harus menganggarkan mulai menganggarkan bahwa dana-dana bisa dari APBD, atau dana-dana lainnya untuk cegah tuberkulosis.”
Selain itu, dr. Henry juga mendorong kepala daerah membuat kebijakan-kebijakan di tingkat daerah yang mendukung upaya eliminasi tuberkulosis. Salah satu contohnya adalah maksimalisasi dana-dana yang ada, seperti dana desa. Dana desa bisa untuk penanggulangan tuberkulosis.
“Saya sudah bicara soal kepala daerah yang baru dilantik tanggal 20 ini. Saat itu momentum mereka benar-benar harus tahu soal tuberkulosis, dan pentingnya penanggulangan TBC dan itu bisa menjadi prioritas mereka,” kata dr. Henry.
STPI dan Kemendagri juga sudah melakukan audiensi pada bulan Mei 2024 lalu. Sehingga anggaran yang awalnya belum memasukkan masalah TBC, kini sudah harus revisi dan memasukkan soal TBC.
Menurut dr. Henry, pencegahan dan penanganan tuberkulosis penting terutama du provinsi yang mempunyai populasi paling banyak. Contohnya; Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sumatra Utara.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post