Jakarta, Prohealth.id – Salah satu masalah utama adalah gizi pada ibu hamil (bumil) yang mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK) atau Wanita Usia Subur (WUS) dengan KEK. Ibu yang mengalami KEK berisiko melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan berpotensi stunting di masa depan.
“Sebenarnya persoalan gizi itu ada di berbagai siklus kehidupan atau kadang-kadang kita menyebutnya gizi dalam daur kehidupan,” kata Ali Khomsan dalam diskusi daring bertema “Gizi dan Kearifan Pangan Lokal serta Hubungannya dengan Program Makanan Bergizi Gratis” yang diadakan SISJ (The Society of Indonesian Science Journalists) pada Januari lalu.
Dia melanjutkan bahwa sebenarnya program gizi tentu tidak hanya menyasar pada balita yang selama. “Ini cermati memang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah.”
Stunting pada balita dapat terlihat dari kekurangan protein. Sedangkan masalah anemia pada usia remaja dan anak usia sekolah menjadi masalah serius. Masalah gizi terus berlanjut. Perbandingan tinggi badan anak-anak Indonesia dengan standar WHO juga menunjukkan adanya gap yang signifikan.
Tengkes dan Masalah Gizi Anak
Stunting adalah masalah kekurangan gizi kronis yang mempengaruhi tinggi badan anak. Istilah “stunting” atau “tengkes” lebih mengacu pada gangguan pada tinggi badan. Ukuran ini menggunakan standar Peraturan Menteri Kesehatan. Anak usia 1 tahun itu dikatakan stunting apabila kurang dari 71 cm untuk laki-laki dan perempuan kurang dari 68,9 cm. Puskesmas dan kader gizi memiliki peran dalam hal ini untuk mendeteksi stunting berdasarkan pengukuran tinggi badan.
Stunting tidak saja akibat faktor keturunan tetapi juga pengaruh lingkungan terutama pola asuh dan kecukupan gizi. Penelitian menunjukkan bahwa faktor keturunan hanya berpengaruh sekitar 4 hingga 7 persen. Sementara faktor lingkungan seperti pola makan dan asuhan orang tua lebih menentukan. Hal ini menjelaskan anak-anak bisa tumbuh dengan tinggi badan yang lebih baik jika pola makan dan asuhan gizi yang baik diterapkan meskipun orang tua memiliki tinggi badan yang tidak terlalu tinggi,
Masalah gizi pada anak-anak di Indonesia meliputi kekurangan berat badan dan stunting dengan prevalensi stunting berkisar antara 18 hingga 24 persen.
Beberapa langkah untuk memutus rantai stunting seperti pemberian subsidi pangan, perbaikan sanitasi, dan pengentasan kemiskinan. Penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan memiliki kaitan erat dengan tingginya prevalensi stunting.
Prevalensi anak stunting mencapai 40 persen di keluarga miskin sementara pada keluarga non miskin hanya sekitar 14,3 persen. Program-program pemerintah yang mendukung peningkatan sanitasi dan bantuan pangan seperti Makan Bergizi Gratis menjadi langkah penting dalam mengurangi stunting.
Bantuan Pangan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan jika tingkat malnutrisi di suatu negara melebihi 15 persen maka negara tersebut harus memberikan bantuan makanan kepada bayi. Terutama yang berasal dari keluarga miskin.
Masalah gizi buruk dan kurang gizi berdasarkan data Riskesdas 2018 yakni 17,7 persen sementara stunting menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencapai 21,5 persen.
“Jadi kalau mengikuti anjuran WHO ini harapannya kita bisa memberi makanan tambahan yang harus ditujukan kepada anak-anak terutama dari keluarga miskin,” tutur akademisi tersebut.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari pemerintah harapannya dapat mengatasi masalah stunting dan meningkatkan status gizi baik balita maupun anak usia sekolah.
Guru Besar di Bidang Pangan dan Gizi Universitas IPB ini mengemukakan pentingnya peran program gizi dalam mendukung kesejahteraan masyarakat terutama dalam mengatasi masalah stunting. Karena stunting adalah masalah gizi yang memiliki dampak jangka panjang terhadap kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Ini mencakup masalah tumbuh kembang anak dan potensi penyakit pada masa dewasa. Terkait hal tersebut maka program untuk mengatasi masalah ini sangat perlu baik pada balita, anak, ibu hamil, maupun ibu menyusui.
Contohnya Amerika Serikat sejak 1946 menyasar keluarga miskin dan memberikan akses kepada keluarga miskin untuk membeli makanan seperti susu, telur, sereal, dan lainnya. Finlandia sejak 1948 dengan mengutamakan penggunaan pangan organik dan pangan lokal. India memiliki program makan siang bergizi yang memberikan dampak positif bagi ekonomi lokal. Sedangkan di Jepang memiliki pendidikan gizi yang masuk ke dalam kurikulum.
Kurangnya asupan gizi berdampak besar terhadap prestasi pendidikan. Misalnya Program for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat rendah dalam hal kemampuan matematika, membaca, dan sains pada anak-anak usia 15 tahun. Faktor utama yang berhubungan dengan rendahnya skor PISA adalah kurangnya gizi pada anak-anak Indonesia, yang berdampak pada rendahnya kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah.
Salah satu faktor yang menyebabkan masalah gizi di Indonesia adalah rendahnya konsumsi pangan hewani. Survei konsumsi makanan dari 2014 menemukan sebanyak 69 persen anak SD kurang asupan energi dan 82 persen anak SMP dan SMA.
Ali Khomsan juga menekankan keberagaman makanan dalam pola makan yang menjadi dasar dari konsep gizi seimbang menurut Kementerian Kesehatan. Keberagaman makanan menjadi fokus utama dengan memastikan menu makanan mencakup sumber karbohidrat, protein, dan vitamin yang seimbang. Di samping itu mengurangi ketergantungan pada konsumsi beras dan memperkenalkan sumber karbohidrat lainnya. Sedangkan susu tidak ikut serta pada program MBG karena keterbatasan anggaran.
Namun, ada tantangan besar dalam implementasi program Makan Bergizi Gratis. Di antaranya masalah distribusi pangan ke daerah terpencil, menjaga keberagaman pangan, dan aspek keamanan pangan yang harus selalu diperhatikan.
Ia menyampaikan Makan Bergizi Gratis adalah investasi jangka panjang untuk pembangunan SDM yang berkualitas. Keberlanjutan program ini demikian sangat penting dan dampak positifnya baru akan terlihat beberapa tahun ke depan sehingga membutuhkan komitmen yang kuat.
Pangan Lokal
Sedangkan Repa Kustipia dari Center for Study Indonesian Food Anthropology (CS-IFA) menekankan pada kearifan lokal terkait pangan. Dia melihat hubungan manusia terhadap lingkungan dan pangan menjadi bagian integral dari budaya.
Kearifan lokal pangan sangat erat kaitannya dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat. Ini mencakup pengetahuan tradisional tentang cara produksi dan pengolahan pangan. Pangan tidak hanya berfungsi sebagai konsumsi tetapi juga sebagai simbol identitas budaya dan kearifan masyarakat. “Karena pangan itu masalah inklusif dan harus diselesaikan semua pihak,” jelasnya.
Antropologi memahami kearifan lokal ini. Seperti Roy Rappaport yang mengaitkan budaya dan ritual dengan ekologi pangan. Kemudian Julian Steward melihat adaptasi manusia terhadap lingkungan pangan dan Richard Fox menggarisbawahi konsep resiliensi atau ketahanan pangan dalam menghadapi perubahan ekologis.
Konsumsi pangan mencerminkan konsumen melihat dan memilih produk pangan yang mereka konsumsi. Konsumen sering kali tidak terlalu memikirkan asal-usul pangan yang mereka konsumsi. Ada pengaruh justru dari faktor sosial, budaya, dan ekonomi dalam memilih pangan. Dinamika tersebut menjadi penting untuk dipahami dalam mengembangkan kebijakan dan strategi untuk mempromosikan pangan lokal. Media sosial dan ulasan daring pun dapat mempengaruhi preferensi konsumen dalam memilih makanan termasuk makanan lokal.
Ahli gizi ini menunjukkan tantangan ketahanan pangan dan distribusi. Ada pelbagai pihak yang terlibat seperti petani, pedagang, hingga konsumen akhir serta faktor cuaca, aksesibilitas, dan biaya. Sistem distribusi yang efisien penting untuk memastikan pangan lokal sampai ke tangan konsumen dalam kondisi yang baik dan terjangkau.
Ada banyak peluang untuk meningkatkan konsumsi pangan lokal terutama dengan semakin populernya tren makanan sehat dan ramah lingkungan. Pangan lokal menawarkan berbagai manfaat seperti keberlanjutan, keberagaman rasa, dan pengetahuan tradisional yang terhubung dengan budaya.
Ketahanan pangan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dengan memastikan pangan tersedia dan terjangkau. Namun praktiknya sangat rumit akibat birokrasi dan kepemimpinan politik. Menurutnya, Vietnam dalam hal ini berhasil dalam menyelesaikan masalah ketahanan pangan.
Pengarusutamaan pangan dalam kebijakan pembangunan nasional dapat merujuk pada transformasi global yang dibahas UNFCCC atau United Nations Framework Convention on Climate Change. Sementara dalam konteks Indonesia untuk masalah ketahanan pangan masih bersifat eksperimental dan belum terintegrasi secara penuh dalam kebijakan nasional.
Kebijakan pangan seharusnya dapat diadaptasi untuk kondisi lokal di setiap wilayah tetapi seringkali tidak mempertimbangkan keragaman. Hal ini menyulitkan dalam menjaga keberagaman pangan lokal yang sangat kaya di Indonesia.
Kebijakan nasional harus lebih sensitif terhadap konteks lokal dan keberagaman pangan yang ada di setiap daerah. Meskipun terdapat banyak ide terkait kebijakan pangan lokal, penerapannya sering terkendala oleh birokrasi yang berjalan top down dengan kebijakan yang tidak selalu relevan dengan preferensi dan kebutuhan masyarakat.
Risiko besar dapat muncul dari ketidaksesuaian antara kebijakan dan kenyataan di lapangan. Masalah birokrasi, preferensi lokal yang terabaikan, dan ketidakmampuan finansial masyarakat untuk mengakses pangan lokal yang bergizi dapat merusak efektivitas kebijakan pangan dari pemerintah. Karena itu perlu pemahaman yang lebih besar akan keberagaman pangan lokal dan preferensi masyarakat di pelbagai daerah melalui kebijakan yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap kondisi lokal.
Beberapa masalah utama dalam penerapan kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi sorotan. Salah satu masalah yang teridentifikasi adalah ketidaksesuaian antara preferensi lokal dan menu dari Badan Gizi Nasional. Hal ini dapat menimbulkan gastronomic alienation atau perasaan terasing terhadap makanan yang tidak sesuai dengan kebiasaan budaya mereka.
“Misalnya anak-anak itu di Jawa Barat makanannya pecel kemudian ada makanan fusion kaya ayam teriyaki kemudian datang nasi dengan cah buncis dari Badan Gizi Nasional. Itu bakalan ada gastronomic alienation. Itu harus segera dievaluasi dengan mengganti standar menu yang kekinian sehingga bisa diterima dengan cita rasa anak-anak,” paparnya.
Pakar Antropologi Etnopangan ini juga mengungkapkan keprihatinan terhadap tingginya biaya pangan lokal berkualitas yang dapat menambah ketidakmampuan finansial masyarakat untuk mengakses pangan bergizi.
“Karena pangan lokal berkualitas itu benar-benar mahal. Belum lagi ada komodifikasi pangan dan budaya di mana harga yang seharusnya murah bisa menjadi mahal,” pungkas Repa.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post