Jakarta, Prohealth.id – Seiring dengan peningkatan kasus varian Omicron lebih dari 3000 kasus, lima organisasi profesi medis yaitu; Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Indonesia Intensif Indonesia (PERDATIN), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular (PERKI), serta Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah mendesak evaluasi pembelajaran tatap muka (PTM) secara total.
Adapun kelima organisasi ini juga telah mengajukan surat permohonan kepada empat Kementerian yakni; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kementerian Agama Republik Indonesia, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, serta Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia agar pihak-pihak pembuat kebijakan mengevaluasi proses pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen pada kelompok usia kurang dari 11 tahun.
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) DR. Dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K), FISR, FAPSR, tuntutan ini dilakukan berdasarkan sejumlah pertimbangan penting. Misalnya saja perihal kepatuhan anak-anak usia 11 tahun kebawah terhadap protokol kesehatan masih belum 100 persen, belum tersedianya atau belum lengkapnya vaksinasi anak-anak usia kurang dari 11 tahun.
“Laporan dari beberapa negara, proporsi anak yang dirawat akibat infeksi Covid-19 varian Omicron lebih banyak dibandingkan varian-varian sebelumnya Dan juga telah dilaporkan transmisi lokal varian Omicron di Indonesia, bahkan sudah ada kasus meninggal karena Omicron,” katanya, Minggu (23/1/2022).
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular (PERKI) – DR. Dr. Isman Firdaus, SpJP(K), FIHA, FAPSIC, FACC,FESC, FSCAI, menambahkan, anak memang potensial mengalami komplikasi berat yaitu multisystem inflammatory syndrome in children associated with Covid-19 (MIS-C) dan komplikasi long Covid-19 lainnya. “Ini sebagaimana dewasa yang akan berdampak pada kinerja dan kesehatan organ tubuh lainnya.”
Oleh karena itu, lima Organisasi Profesi (5 OP) medis tersebut mengajukan sejumlah usulan;
Pertama, anak-anak dan keluarga tetap diperbolehkan untuk memilih pembelajaran tatap muka atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) berdasarkan kondisi dan profil risiko masing-masing keluarga.
Kedua, anak-anak yang memiliki komorbid dihimbau untuk memeriksakan diri terlebih dahulu ke dokter yang menangani.
Ketiga, anak-anak yang sudah melengkapi imunisasi Covid-19 dan cakap dalam melaksanakan protokol kesehatan dapat mengikuti PTM.
Keempat, mekanisme kontrol dan buka tutup sekolah seyogyanya dilakukan secara transparan untuk memberikan keamanan publik.
Dari sejumlah usulan itu, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K) juga menghimbau orangtua agar melengkapi vaksinasi regular melalui imunisasi kejar bagi anak-anaknya agar tetap terlindungi dari kemungkinan penyakit lain yang mungkin timbul.
Berdasarkan data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat, tingkat rawat inap Covid-19 di antara anak-anak melonjak di Amerika Serikat, dengan rata-rata 4,3 anak di bawah 5 tahun per 100.000 dirawat di rumah sakit. Angka ini naik 2,6 anak dari akhir Desember 2021.
Data di Amerika Serikat ini Ini merupakan peningkatan 48 persen dari pekan yang terakhir Desember, dan peningkatan terbesar dalam tingkat rawat inap kelompok usia ini telah terlihat selama pandemi.
Di Indonesia, sejumlah sekolah yang telah melaksanakan PTM juga telah melaporkan munculnya sejumlah kasus Covid pada siswanya. Prof. DR. Dr. Syafri Kamsul Arif, SpAn, KIC, KAKV selaku Ketua Umum Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN) menjelaskan, untuk anak-anak yang masih belum memperoleh atau belum memenuhi syarat untuk divaksinasi Covid, sangat penting bagi mereka agar dikelilingi oleh orang-orang yang divaksinasi. “Ini untuk memberikan mereka (anak-anak tersebut) perlindungan,” sambungnya.
Dr. Sally Aman Nasution, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP, selaku Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) juga berharap agar Pemerintah dan Kementerian terkait sebagai pembuat kebijakan dapat mempertimbangkan permohonan sejumlah organisasi profesi ini. “Ini usulan kami demi melindungi kesehatan dan keselamatan anak Indonesia,” tegas Sally.
EVALUASI VAKSINASI
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan mengakui masih banyak penyimpangan atau penyalahgunaan program vaksinasi. Hal ini berpotensi menghambat publik mendapatkan hak atas kesehatan termasuk layanan vaksinasi dan semakin memperlebar ketimpangan mendapatkan layanan kesehatan yang setara.
“Pemerintah bertanggung jawab mengatur dan melindungi hak atas kesehatan masyarakat secara optimal. Antara lain melalui penyediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang layak, serta mudah diakses oleh masyarakat. Klausul ini pun sudah tertera di dalam konstitusi, UU Kesehatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan sejumlah peraturan lainnya,” ujar Amanda Tan dari LaporCovid-19.
Organisasi masyarakat sipil menemukan selama 2021 saja, terjadi penyelewengan vaksin sampai 71 laporan. Namun pengawasan yang lemah di level kementerian atau lembaga menurut Amanda membuat kasus-kasus tersebut tidak ditangani dengan baik.
Padahal, mekanisme distribusi vaksin ke daerah menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI, yang juga menetapkan kebutuhan vaksin sesuai jenis, jumlah yang akan dibutuhkan, hingga harga satuan vaksin. Sementara, pemerintah daerah bertugas untuk meneruskan vaksin ke fasilitas kesehatan sehingga dapat menyelenggarakan program vaksinasi Covid-19.
Tak hanya itu, menurut Agus Sarwono selaku Peneliti dari Transparency International Indonesia sampat saat ini publik masih kesulitan untuk mengakses informasi terkait kuantitas, masa berlaku, hingga jenis vaksin yang digunakan baik mulai dari proses pengadaan, distribusi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, hingga pencatatan vaksinasi kepada kelompok penerima. Ketersediaan informasi tersebut diperlukan agar publik dapat memantau jenis vaksin yang didistribusikan proporsional dengan kebutuhan daerah, guna memastikan agar tidak terjadi penyimpangan maupun penyalahgunaan dalam distribusi vaksin.
“Minimnya informasi serta transparansi distribusi vaksin menyebabkan publik kesulitan mendapatkan informasi secara real time terkait jumlah vaksin yang sudah tiba di wilayahnya,” tuturnya.
Implikasi lainnya adalah banyaknya vaksin yang kadaluarsa. Berdasarkan catatan Koalisi, terdapat sekitar 6.100 vaksin jenis AstraZeneca yang telah kedaluwarsa. “Tentunya hal ini berpotensi menimbulkan kerugian negara,” sambung Agus.
Adapun kegagalan dalam pendataan penerima vaksin yang solid dapat diatribusikan terhadap kegagalan negara dalam mendistribusikan vaksin Covid-10 sesuai dengan jumlah penerima.
Akibatnya, ketersediaan informasi tersebut juga diperlukan agar publik dapat memantau jenis vaksin yang didistribusikan proporsional dengan kebutuhan daerah, guna memastikan agar tidak ada lagi masyarakat yang kesulitan mengakses vaksin atau adanya vaksin yang kadaluarsa.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post