Media harus serius mengangkat isu perempuan dan keberagaman gender di media dan ruang pengambilan keputusan.
Langkah tersebut menjadi bagian dari membentuk wacana publik. Media dan peliputan mendorong masyarakat memandang peran gender dan isu-isu hak asasi manusia. Tindakan ini juga pada akhirnya mendesak para pembuat kebijakan untuk memperhatikan dan menggerakkan akuntabilitas dari tingkat atas.
“Ini penting bagi kita untuk memikirkan masalah apa yang ada di komunitas, negara, mungkin tidak mendapat perhatian yang seharusnya. Apa ini melibatkan perempuan? Apakah isu ini menyertakan minoritas gender?” kata Amy Sood dalam Voices of Tomorrow Sesi 2.
Ada beberapa hal penting untuk memperluas cakupan. Misalnya reporter politik, dia bisa menulis tentang kebijakan representasi gender dalam undang-undang. Reporter ekonomi bisa membahas isu kesenjangan upah, kerja yang tidak dibayar, inklusi keuangan, dan pemberdayaan perempuan.
Isu lingkungan tak kalah pentingnya, seperti peran perempuan dalam penyesuaian terhadap perubahan iklim dan aktivisme lingkungan. Untuk bidang kesehatan, ada isu-isu hak reproduksi dan akses ke layanan kesehatan yang bisa dilaporkan. Kemudian ada kesenjangan gender di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM), pengalaman perempuan di media sosial, serta bias algoritma.
Sementara di bidang konflik, penting untuk membahas peran perempuan dalam membangun perdamaian pasca konflik dan peran mereka dalam mengelola konflik.
Reporter Ignites Asia Financial Times ini menuturkan inklusi perempuan dan pakar dari ragam gender dalam bidang seperti ini dapat memperkaya pemberitaan dan memberi perspektif yang mungkin belum pernah dipertimbangkan sebelumnya.
Empati dan Sensitif
Pendekatan dengan empati dan sensitif merupakan hal penting yang harus diperhatikan ketika menulis tema kekerasan berbasis gender atau isu yang dihadapi perempuan dan minoritas gender. Narasumber harus merasa nyaman dan jangan memaksa.
Jika mereka merasa tidak nyaman untuk diwawancarai maka harus siap menerima penolakan dan tidak memaksakan diri.
“Sebagai jurnalis, kita harus menghormati privasi dan kenyamanan narasumber kita. Terutama ketika mereka berbicara tentang pengalaman yang sangat pribadi dan emosional,” kata Amy.
Pengalaman tersebut diperolehnya ketika mengerjakan liputan terkait para pengungsi Rohingya yang menjadi korban kawin paksa. Beberapa di antaranya bahkan masih berusia 12 atau 13 tahun.
Liputan tersebut diakuinya merupakan topik yang sangat sulit. Namun dia melakukan dengan penuh kehati-hatian dan memastikan narasumber merasa nyaman untuk berbicara tentang pengalaman mereka.
Pelaporan berbasis gender sangat menuntut pemahaman yang mendalam dan akurat. Karena itu penting sekali mewawancara advokat, lembaga masyarakat sipil, dan pakar perempuan ketika menulis kekerasan berbasis gender. Misalnya pada 2024 di India, ada banyak kekhawatiran terkait kasus pembunuhan dan pemerkosaan yang melibatkan seorang dokter muda.
“Saya menulis beberapa analisis. Berbicara dengan ahli, aktivis hak asasi manusia, dan aktivis hak perempuan tentang dampak kejahatan tersebut dan apa yang perlu dilakukan ke depannya,” lanjut jurnalis kelahiran India yang pernah tinggal di Indonesia ini.
Mencari Solusi Kreatif
Pengalaman rumit lain yang dihadapi Amy ketika menggarap laporan tentang hukum di India terkait perkawinan sesama jenis. Karena pasangan pria dalam peristiwa ini sangat banyak menjadi sorotan media.
Mereka memiliki cerita yang sulit untuk diceritakan. Tetapi mereka sangat ingin berbicara tentang pengalaman mereka. Akhirnya dia pun sukses mewawancara mereka.
Dia juga menulis representasi perempuan dalam politik di Malaysia pada 2022. Khususnya terkait pemilihan umum. Banyak perempuan terdaftar sebagai pemilih. Tetapi hanya sedikit dari mereka yang diberi kursi di parlemen. “Saya menulis bagaimana kurangnya representasi perempuan di politik dapat mengakibatkan perempuan terabaikan.”
Pemberitaan lain biasanya tren tahunan ketika perayaan Bulan Kebanggaan di negara mayoritas Muslim. Pernah juga dia menulis perjuangan pasangan sesama jenis di Asia Pasifik untuk mengakses perawatan kesuburan meskipun ada dorongan di kawasan ini untuk lebih banyak orang memiliki anak.
Kemudian kisah para wanita dalam dunia bisnis yang menduduki posisi CEO di perusahaan di Asia guna mencoba mengukur berapa banyak wanita yang menduduki posisi tersebut dan membandingkannya dengan wilayah lain seperti Eropa dan AS.
Amy juga mengingatkan kalau tertarik menulis tentang perempuan dan minoritas gender tetapi merasa tidak ada salurannya di media utama maka para jurnalis perlu mencoba memikirkan solusi kreatif.
Tantangan Jurnalis Perempuan Indonesia
Sedangkan Pemimpin Redaksi Solopos Media Group Rini Yustiningsih menyebutkan mengatur waktu antara pekerjaan dan tanggung jawab domestik seperti merawat anak hingga mengurus keperluan keluarga menjadi salah satu tantangan jurnalis perempuan Indonesia. Ada yang sampai merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada suami seolah tidak bisa membuat keputusan sendiri.
Jumlah jurnalis perempuan di media Indonesia berdasarkan data sekitar 17 hingga 30 persen. Angka ini bahkan lebih rendah lagi di daerah-daerah kecil seperti Solo, Kediri, atau Surabaya.
Di lapangan, jurnalis perempuan sering kali mendapat perlakuan tidak adil seperti harus berada di belakang wartawan laki-laki saat wawancara dan liputan atau mengalami pelecehan.
Jurnalis perempuan yang menduduki posisi strategis jumlahnya sedikit. Kesempatan untuk memimpin atau mendapatkan promosi dalam perusahaan media sangat terbatas. Banyak jurnalis perempuan yang memilih tidak mengejar jenjang karir lebih tinggi dengan berbagai alasan, mulai dari urusan domestik hingga keterbatasan waktu yang harus dibagi antara pekerjaan dan keluarga.
Tantangan ketidaksetaraan gender juga berlangsung di ranah pemberitaan. Perempuan sering kali dianggap sebagai objek berita terutama dalam kasus kekerasan seksual atau kejahatan lainnya. Judul-judul berita menggambarkan perempuan sebagai “korban” atau objek seksual sering kali memperkuat stereotip ini. Padahal jurnalis harusnya berpedoman pada kode etik termasuk dalam liputan terkait gender.
Dampak besar ketidaksetaraan gender terhadap pemberitaan mengakibatkan isu penting yang berkaitan dengan perempuan, baik itu kebijakan publik atau hak-hak perempuan, sering kali terabaikan. Dalam beberapa kasus, perempuan juga jarang ditemukan berbicara di media, bahkan dalam peristiwa besar yang melibatkan perempuan sebagai subjek.
Dalam demo besar-besaran pada Agustus lalu, sebagian besar suara berasal dari pria. Perempuan meskipun terlibat dalam demo tersebut jarang diberi ruang untuk bersuara di media. Ini menunjukkan suara perempuan masih terpinggirkan di banyak media arus utama.
Isu gender sering kali merupakan bagian dari isu yang lebih luas seperti ekonomi atau kebijakan sehingga penting untuk ditarik ke ruang publik agar mendapat perhatian.
Karena itu penting sekali untuk menyoroti dampak kebijakan terhadap semua dan tidak terbatas hanya satu kelompok guna menggali perspektif gender.
Isu-isu yang relevan bagi semua gender termasuk perempuan dan kelompok marginal perlu diangkat. Liputan seperti itu akan mendorong perubahan kebijakan dan sosial serta membantu mencapai keadilan dan kesetaraan gender.
“Jadi itu lebih pada karya jurnalistik menyoroti atau dampak kebijakan yang itu akhirnya berimplikasi kepada semua gender. Lalu peran lainnya adalah mendorong perubahan kebijakan lewat pemberitaan atau karya jurnalistik. Fokus kepada keadilan dan kesetaraan. Poinnya ini kalau di Indonesia,” tutup Rini.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post