Jakarta, Prohealth – Desakan untuk pemerintah segera mengesahkan aturan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) datang dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).
Gugatan dari CISDI dilayangkan bersama dengan Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah dan DPR menerapkan cukai MBDK karena dampak buruk minuman berpemanis terhadap kesehatan.
Chief Research and Policy CISDI Olivia Herlinda mengatakan, saat ini jumlah kasus obesitas dan penyakit tidak menular di Indonesia meningkat signifikan sepuluh tahun terakhir.
“Sementara instrumen yang diyakini bisa menekan angka peningkatan tersebut, yaitu cukai MBDK, masih terus ditunda,” ungkap Olivia dan koalisi dalam media briefing bertajuk “Cukai MBDK Jangan Dianggap Musuh Industri” di Jakarta pada Kamis, (14/9/2023).
Saat ini masih ada pihak yang kontra terhadap pemberlakuan cukai pada MBDK karena dinilai merugikan industri dan ekonomi. Padahal sejumlah riset menyebut cukai MBDK memberi dampak baik terhadap industri.
Kenaikan harga MBDK sebesar satu persen pasca penerapan cukai berpotensi meningkatkan permintaan air mineral sebanyak 0,33 persen.
Penerapan cukai juga bakal menggeser konsumsi MBDK ke produk lebih rendah gula seperti teh hijau kemasan tanpa gula. Hal ini ditemukan di Thailand dan Vietnam.
Pendapatan industri yang menurun dari MBDK bisa digantikan dengan pendapatan dari air minum dalam kemasan (AMDK) dan minuman rendah gula lain.
“Sebab produsen MBDK biasanya memproduksi beberapa jenis minuman,” ucap Health Economics Research Associate CISDI Zulfiqar Firdaus.
Cukai MBDK dari segi potensi penerimaan negara diperkirakan menyumbang Rp2,44 triliun sampai Rp 3,62 triliun jika penerapannya memicu kenaikan harga produk minuman berpemanis sebesar minimal 20 persen.
Pemerintah pada Juli lalu memutuskan menunda penerapan pungutan cukai MBDK yang seharusnya berlaku tahun ini. Alasannya, kondisi industri makanan dan minuman belum sepenuhnya pulih akibat dampak pandemi COVID-19 selama tiga tahun terakhir.
Sebenarnya pemerintah menargetkan pungutan cukai minuman berpemanis dalam penyusunan RAPBN 2023, tepatnya dalam Buku II Nota Keuangan. Indonesia dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi tahun 2022 hingga 5,31 persen dan memiliki ruang fiskal untuk memberlakukan cukai MBDK tahun ini.
“Pengesahan RAPBN 2024 menjadi momen yang sangat penting supaya pemerintah tidak lagi menunda penerapan pungutan cukai MBDK,” jelas Olivia.
Studi meta analisis pada 2021 dan 2023 mengestimasi setiap konsumsi 250 mililiter MBDK akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 12 persen, risiko diabetes tipe 2 sebesar 27 persen, dan risiko hipertensi sebesar 10 persen.
Mengadaptasi temuan World Bank 2020, penerapan cukai diprediksi meningkatkan harga dan mendorong reformulasi produk industri menjadi rendah gula sehingga menurunkan konsumsi MBDK.
Penurunan konsumsi MBDK akan berkontribusi atas berkurangnya tingkat obesitas dan penyakit tidak menular seperti diabetes, stroke, hingga penyakit jantung koroner.
CISDI atas sejumlah studi tersebut menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah dan DPR RI.
Pertama, segera memberlakukan cukai untuk produk MBDK minimal 20 persen berdasarkan kandungan gula untuk menurunkan konsumsi MBDK masyarakat hingga 17,5 persen.
Kedua, meminta DPR menyetujui usulan Kementerian Keuangan untuk menambahkan obyek cukai minuman berpemanis dalam kemasan di Undang-Undang APBN 2024.
Ketiga, meminta pemerintah melalui Kementerian Perindustrian memberikan pendampingan dan sosialisasi untuk industri terdampak termasuk UMKM dan melalui Kementerian Kesehatan mengedukasi masyarakat mengenai bahaya mengkonsumsi minuman atau makanan berpemanis kadar tinggi.
Keempat, meminta pemerintah melalui BPOM agar memperbaiki pengawasan, penegakan peraturan, dan standarisasi pelabelan informasi gizi pada produk MBDK untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan bahaya minuman tinggi gula.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post