Jakarta, Prohealth.id – Konsorsium Masyarakat untuk Kesehatan Publik yang terdiri dari YLBHI, LaporCovid-19, ICW dan Lokataru bersama dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) meminta pemerintah mengakui kegagalan mengatasi pandemi Covid-19 sehingga saat ini Indonesia masuk dalam fase gawat darurat.
Melalui konferensi pers yang digelar pada Senin (5/7/2021), Konsorsium Masyarakat untuk Kesehatan Publik memberikan catatan kritis terhadap penanganan pandemi di tanah air, khususnya di tengah ledakan kasus Covid-19 yang menunjukan adanya kegagalan penanganan.
Irma Hidayana, inisiator LaporCovid-19 menjelaskan, lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia telah meningkatkan kematian. Hingga 4 Juli 2021, data nasional setidaknya mencatat 60.582 orang meninggal terkonfirmasi positif melalui hasil usap PCR. Angka kematian terkait Covid-19 yang sebenarnya diperkirakan jauh lebih banyak sebab, data tersebut tidak memasukkan jumlah mereka yang meninggal dengan status probable, atau yang mengalami gejala klinis penyakit infeksius Covid-19.
“Kondisi di lapangan semakin buruk, data yang dikumpulkan oleh LaporCovid-19 dari pemberitaan media massa dan media sosial menyebut hingga 4 Juli 2021, 291 orang meninggal saat melakukan isolasi mandiri di rumah,” ujar Irma.
Kondisi ini seiring dengan laporan puluhan orang meninggal karena tidak mendapatkan bantuan oksigen di IGD RS Sardjito. Irma menyebut hal ini menjadi potret nyata kolapsnya fasilitas kesehatan yang menyebabkan pasien Covid-19 kesulitan mendapatkan layanan medis yang semestinya.
Selain itu, jumlah tenaga kesehatan yang terinfeksi dan yang meninggal pun semakin banyak. Hingga 5 Juli 2021, Pusara Digital LaporCovid-19 mencatat setidaknya 1,046 tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19. Pada sisi lain, pemerintah tidak kunjung terlihat melakukan peningkatan 3T, testing, tracing, dan treatment secara signifikan.
Ditambah dengan rendahnya transparansi data pandemi, termasuk data jumlah tes PCR per daerah, data ketersediaan Rumah Sakit yang kerap tidak akurat mengakibatkan warga banyak ditolak dari satu RS ke RS lain. Testing pun masih rendah dan tidak proporsional hingga mengakibatkan lonjakan besar kasus yang mengakibatkan perawatan (treatment) sebagian fasilitas layanan kesehatan yang hampir roboh. Warga yang sakit menjadi sulit mendapat layanan medis, beberapa di antaranya meninggal.
Irma menilai kematian-kematian tersebut semestinya bisa dicegah jika dari awal pemerintah melakukan pencegahan dan pengendalian penularan yang lebih kuat. Situasi saat ini merupakan hasil dari ketidakefektifan pencegahan dan pengendalian yang dilakukan selama setahun terakhir. Irma menegaskan masyarakat pun bisa melihat selama setengah tahun masa pandemi justru didominasi oleh pelonggaran sosial, termasuk mendahulukan kepentingan ekonomi di atas kesehatan masyarakat.
“Pemerintah perlu mengakui bahwa kondisi sudah gawat darurat dan meminta maaf serta menunjukkan empati. Perlu berhenti melakukan komunikasi yang mencitrakan bahwa kita sedang baik-baik saja yang justru mengakibatkan rendahnya kewaspadaan masyarakat terhadap masifnya penularan Covid-19,” tegas Irma.
Muhammad Isnur dari YLBHI, menyatakan dengan tegas pemerintah bertanggung jawab atas kondisi krisis ini, sesuai dengan amanat UUD 1945 dan UU HAM dimana hak kesehatan dijamin oleh negara. Pemerintah juga mengabaikan Peraturan Perundang-Undangan khususnya UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan dimana sebenarnya UU tersebut memiliki kajian epidemiologi yang kuat.
KEKOSONGAN ATURAN DAN UNDANG-UNDANG
Dia mengkritisi tidak adanya PP terhadap UU no. 6/ 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang membuat kondisi sekarang kacau karena ada kekosongan hukum yang mengakibatkan adanya tumpah tindih kebijakan dan komando.
“Tetapi pemerintah tidak menggunakan UU yang dibuat khusus untuk menangani pandemi, pemerintah abai tidak melaksanakan mandat pembentukan peraturan-peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah tentang Penanggulangan Darurat Kesehatan Masyarakat,” pungkas Isnur.
Tidak dipakainya UU 24/2007 tentang Penanggulan Bencana menggugurkan kebijakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Presiden juga pernah membuat keputusan presiden tentang status Darurat Kesehatan Masyarakat, status yang juga tanpa indikator yang jelas dan apakah ini masih berlaku, bagaimana kewenangan dan lainnya karena seharusnya tata cara penetapan dan pencabutan status darurat kesehatan masyarakat juga diatur di Peraturan Pemerintah. Belum lagi kewajiban pemenuhan kebutuhan dasar rakyat saat dalam status darurat kesehatan masyarakat dan darurat bencana, jelas pemerintah tidak memenuhinya.
Terkait penetapan PPKM darurat pun juga tidak ada dasar hukum, Muhammad Isnur mengakan status PPKM dilakukan oleh instruksi Kementerian Dalam Negeri, namun tidak ada dasar hukum, tidak ada UU. Herlambang Wiratraman dari LP3ES pun menegaskan ada beberapa kegagalan dan langkah salah pemerintah menangani pandemi.
Pertama, tingginya angka kasus Covid-19.
Kedua adalah ambruknya RS, ketidaktersediaan oksigen sehingga banyak warga meninggal.
Ketiga adalah tingginya angka nakes yang meninggal. Kegagalan pemerintah terjadi karena pemerintah abai, alih-alih menutup dan membatasi mobilitas, malah mempromosi mobilitas dengan berwisata. Penyebab kedua adalah lambatnya pemerintah dalam menanggapi ledakan kasus, dan juga instruksi yang dikeluarkan harus dikeluarkan oleh Presiden, bukan di level Kementerian dengan berdasarkan UU.
Ketiga, pemerintah terlalu fokus pada ekonomi.
Keempat, pemerintah masih denial akan ledakan kasus.
Kelima, pemerintah tidak mengupayakan secara sistematik upaya 3T, dan pembungkaman terhadap mereka yang menyuarakan atau mengkritisi penanganan pandemi. Kegagalan dan ketidaksungguhan pemerintah dalam menangani pandemi, dinilai terjadi karena dikelola tanpa keberpihakan masyarakat banyak yang akan rentan menjadi korban.
“Apakah pemerintah hari ini sudah tak ada rasa peka, nihilnya keberpihakan pada hak-hak warga bangsa?” tuturnya.
Herlambang melanjutkan, bukankah dalam Pasal 28I ayat (4) UUDNRI 1945 menjelaskan siapa yang harus tanggung jawab? Secara khusus disebutkan Pasal 28H ayat (1): Setiap orang berhak sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; dan Pasal 34 ayat (3): Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan.
Menurut Herlambang Wiratraman banyaknya nyawa yang tidak tertolong karena kolapsnya rumah sakit merupakan bentuk kegagalan pemerintah Jokowi.
“Kematian yang tak bisa diantisipasi dengan penyediaan layanan medis, menunjukkan fakta jelas tentang kegagalan negara dan dapat disebut sebagai constitutional failure. Pemerintahan Jokowi harus meminta maaf terbuka dan menegaskan tanggung jawab hukum dan politiknya” jelas Herlambang
Sementara itu, Lalola Easter dari ICW, fokus pada penyebab adanya korupsi di masa pandemic. Lola memerinci, pemerintah sudah salah langkah dari awal, masih banyak serapan anggaran rendah untuk penanganan Covid-19, dan ironisnya, program infrastruktur yang tidak urgent tetap dilanjutkan.
“Semestinya realisasi anggaran difokuskan untuk pengendalian pandemi agar RS sudah ambruk,” ungkap Lola.
TIDAK ADA SENSE OF CRISIS
Dia menilai praktik korupsi memperparah pandemi, karena sebenarnya serapan anggaran Covid-19 dapat ditingkatkan untuk meningkatkan kapasitas fasilitas kesehatan.
ICW pun melihat pemerintah tidak benar-benar mendengarkan suara rakyat. Gawat darurat situasi saat ini menunjukkan bahwa suara-suara ahli kesehatan masyarakat, sosiolog, mahasiswa, dan banyak lagi mereka yang bukan berafiliasi dengan pemerintah yang berteriak sekuat tenaga mengingatkan dan berniat baik membantu mengendalikan pandemi tidak dipedulikan.
“Pemerintah seolah tidak memiliki sense of crisis, tidak memiliki empati kepada keluarga yang selama ini berjuang menyelamatkan jiwa yang berakhir meregang nyawa akibat tidak mendapatkan pertolongan medis,” tutur Lola.
Oleh sebab itu, Konsorsium Masyarakat untuk Kesehatan Publik mendesak agar pemerintah mengambil langkah luar biasa untuk menekan laju kegawatdaruratan pandemi yang antara lain:
1. Meminta maaf kepada publik atas situasi ini, dan memberikan solusi bantuan konkret terhadap keluarga yang berjuang mendapatkan perawatan Rumah Sakit/ICU/dan layanan medis lainnya;
2. Melakukan pembatasan yang lebih ketat dari PPKM Mikro, yaitu dengan menekan kelonggaran pekerja sektor esensial untuk mengurangi laju pergerakan dan transmisi virus di tingkat komunitas;
3. Pemerintah harus melakukan pembaruan data secara realtime, yang bukan hanya menuliskan angka statistik, tapi harus merefleksikan kondisi yang sesungguhnya.
4. Meningkatkan semua upaya surveilans, termasuk meningkatkan tes secara masif dan signifikan serta mempermudah testing dan cakupan vaksinasi;
5. Menyudahi komunikasi yang mencitrakan baiknya situasi dan beralih ke komunikasi risiko yang berempati, akuntabel dan merefleksikan kegawatdaruratan di masyarakat dan faskes sesungguhnya di lapangan, sehingga menumbuhkan kewaspadaan bagi masyarakat untuk taat menjalankan protokol kesehatan.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post