Jakarta, Prohealth.id – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiative (CISDI) dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) mendorong pemerintah memprioritaskan akses vaksin untuk kelompok rentan.
Dalam program vaksinasi nasional melalui diskusi panel bertajuk Menagih Janji Keadilan: Peluncuran Masukan Kebijakan Menjamin Akses Vaksinasi Covid-19 bagi Kelompok Rentan yang disiarkan langsung melalui YouTube CISDI TV pada Rabu (18/8/2021) lalu beberapa kota besar program vaksinasi untuk masyarakat usia 12-17 tahun juga mulai bergulir. Upaya ini masih menghadapi berbagai tantangan. Selain suplai vaksin yang terbatas di beberapa daerah dan persyaratan yang menyulitkan, kelompok rentan juga berisiko luput dalam program vaksinasi nasional.
Olivia Herlinda, M.Sc, Direktur Kebijakan CISDI, menyebut kelompok masyarakat rentan mengalami banyak hambatan mengakses program vaksinasi. Dia menjelaskan, ada beberapa hambatan yang ditemukan CISDI misalnya hambatan administrasi, hambatan finansial, hambatan infrastruktur, hambatan ke akses informasi, dan hambatan sosial dan perilaku.
“Selain itu, definisi kelompok rentan dari Kementerian Kesehatan sekarang masih membukaa ruang interpretasi yang terlalu luas. Maka dibutuhkan
operasionalisasi ke dalam panduan teknis untuk digunakan di level subnasional,” ujarnya
Asal tahu saja, hingga 16 Agustus 2021 tercatat 54.382.680 atau 26,11 persen dosis vaksin pertama dan 28.524.986 atau 13,69 persen dosis vaksin kedua telah diberikan kepada masyarakat. Dalam merespons lonjakan kasus beberapa bulan terakhir, pemerintah pusat mempercepat program vaksinasi melalui penggabungan tahap vaksinasi kelompok rentan dan masyarakat umum di atas 18 tahun.
Lebih lanjut, Permenkes 10 Tahun 2021 dan SE Kemenkes tentang Vaksinasi bagi Masyarakat Rentan memang telah memperhitungkan keberadaan masyarakat rentan dalam program vaksinasi nasional, masih terdapat ketidakjelasan soal beberapa hal.
Pertama, soal operasionalisasi cakupan dan definisi kelompok rentan. Kedua, tata laksana penjangkauan kelompok rentan di level sub-nasional. Nyatanya, masih banyak kelompok yang memiliki faktor kerentanan, namun belum diprioritaskan mendapatkan vaksinasi, seperti orang dengan komorbid, narapidana, pencari suaka, masyarakat adat, kelompok minoritas gender, kelompok buruh, dan lainnya.
Sementara itu Diah Saminarsih, Penasihat Senior Urusan Gender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal WHO dan Pendiri CISDI, menyebut vaksin adalah barang publik yang harus bisa diakses oleh siapapun tanpa halangan apapun. Dia menjelaskan WHO melalui Scientific Study Group of Expert (SAGE) di bulan Oktober 2020 sudah mengeluarkan rekomendasi dengan penekanan pada kesetaraan (equity), penyelamatan nyawa manusia atau human rights, hingga hak atas kesehatan.
“Untuk itu, kelompok yang paling rentan terinfeksi seharusnya mendapat prioritas akses ke vaksinasi,” ujar Diah.
PERLU ADA PELONGGARAN ATURAN MENCAPAI KELOMPOK RENTAN
Clara Siagian, MPP, Peneliti Senior PUSKAPA, menekankan program vaksinasi yang tidak memprioritaskan kelompok rentan cenderung menambahkan hambatan ganda. Menurut Clara, kelompok-kelompok rentan sudah mengalami berbagai hambatan dalam mengakses vaksinasi.
“Semakin miskin seseorang, sebagai contoh saja, maka semakin besar kemungkinannya tidak memiliki NIK. Mensyaratkan NIK hanya akan menciptakan lingkaran kerentanan baru bagi orang-orang yang sudah rentan,” tuturnya.
Oleh karena itu, CISDI dan PUSKAPA mengajukan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah. Pertama, pemerintah pusat untuk memperluas cakupan definisi kelompok rentan. Merujuk catatan Bappenas RI, UU 39/2012, panduan SAGE WHO dan model CDC, dua lembaga ini meminta pemerintah menggunakan variabel kerentanan sebagai berikut untuk memperluas dan memprioritaskan cakupan vaksinasi bagi kelompok-kelompok rentan yakni; individu tanpa akses pelayanan kesehatan yang mumpuni, individu dengan status sosial ekonomi rendah, individu dengan penyakit penyerta, demografi dengan relasi kuasa rendah, seperti lansia, anak, dan perempuan, serta individu yang alami ketersisihan sosial berdasarkan agama atau kepercayaan, disabilitas, etnis atau suku, dll., penduduk di wilayah 3T, individu yang tidak mampu laksanakan 5M.
Kedua, pemerintah pusat dan daerah untuk menemukenali hambatan kelompok rentan mengakses program vaksinasi.
“Kami meminta pemerintah mengenali dan mengatasi hambatan menuju program vaksinasi, seperti hambatan administrasi, mencakup dokumen identitas hukum atau kependudukan.” tulis rekomendasi tersebut.
Berikutnya adalah hambatan finansial, mencakup biaya akses ataupun transportasi ke pelayanan kesehatan, hambatan infrastruktur, mencakup ketersediaan suplai, persebaran, dan kualitas pelayanan kesehatan, hambatan ke akses informasi, mencakup pengetahuan cara mendaftar, jadwal vaksinasi, dll., hambatan sosial dan perilaku, serta mencakup rendahnya perilaku mengakses layanan kesehatan.
Ketiga, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri berkoordinasi untuk memberikan layanan terpadu vaksinasi dan NIK. Dalam hal ini pemerintah perlu menemukan, kenali, menjangkau, dan melayani secara aktif penduduk yang tidak memiliki NIK untuk mendapatkan vaksinasi melalui beberapa strategi penjangkauan, seperti mengadakan pelayanan terpadu di tempat dan hari yang sama, atau melakukan pelayanan berjenjang dimana petugas mencatat data dan kontak individu yang tidak memiliki NIK dan menindaklanjuti dengan pemberian NIK/KTP setelah vaksinasi.
Keempat, kementerian kesehatan dan pemerintah Daerah untuk memperkuat strategi vaksinasi untuk kelompok rentan melalui program penjangkauan khusus. CISDI dan PUSKAPA menyarankan pemerintah memperhatikan kelompok rentan melalui strategi penjangkauan khusus, seperti pembuatan sentra vaksinasi keliling, atau mendekatkan layanan vaksinasi ke layanan rawat jalan dan perawatan kronis lainnya untuk kelompok dengan komorbid. Program penjangkauan khusus perlu melibatkan organisasi atau tokoh komunitas untuk membantu proses penjangkauan, pendataan, edukasi, serta pendampingan vaksinasi.
Kelima, pemerintah pusat untuk memperkuat koordinasi lintas kementerian. Oleh karena itu CISDI dan PUSKAPA meminta pemerintah menguatkan koordinasi antar kementerian dan lembaga untuk mengintegrasi sumber data, target sasaran, dan sumber daya.
Keenam, CISDI dan PUSKAPA meminta pemerintah pusat dan daerah untuk membatalkan pemberlakuan sanksi administratif terhadap penduduk yang belum mendapatkan vaksin. Baik CISDI dan PUSKAPA menganggap kebijakan mengenai insentif dan/atau sanksi mengasumsikan bahwa hambatan penerimaan vaksin disebabkan murni ketidaktahuan ataupun keraguan.
“Padahal, di tengah kelangkaan vaksin, keterbatasan infrastruktur dan sengkarut tata kelola, penerapan sanksi berpotensi semakin menyulitkan kelompok rentan yang tidak terjangkau proses vaksinasi itu sendiri,” tulis rekomendasi tersebut.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post