Jakarta, Prohealth.id – Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum tersebut atau pemilu. Termasuk penyandang disabilitas.
Satu suara pemilih disabilitas sama bobotnya dengan satu suara pemilih non disabilitas. Namun pemilih disabilitas punya hambatan tersendiri dalam menyampaikan aspirasinya ketika pemungutan suara berlangsung.
Masalah yang dihadapi pemilih dari ragam disabilitas sebenarnya sudah dipahami lembaga penyelenggara pemilu. Namun komisioner yang terkait seiring waktu usai menjabat kemudian posisinya diisi orang lain.
“Kami tahu komisioner di KPU Bawaslu itu lima tahun sekali berganti. Jadi yang sudah mengenal ragam disabilitas dan segala kebutuhannya sudah berganti,” ungkap Ketua Umum Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Disabilitas Ariani Soekanwo di Jakarta pada Kamis, (30/11/2023) lalu di Sawah Besar, Jakarta Pusat.
PPUA Disabilitas merupakan organisasi yang berkembang dari panitia pemilihan umum akses 2004. Wadah yang dibentuk pada 24 April 2002 ini ingin mengadvokasi hak-hak politik disabilitas. Visi misinya untuk mewujudkan pemilu yang aksesibel non diskriminasi sehingga penyandang disabilitas dapat menyalurkan aspirasinya saat pemungutan suara berlangsung.
Ariani menyebutkan hak-hak politik disabilitas ini diteguhkan oleh konstitusi dan hak-hak mereka dilindungi dari segala macam diskriminasi. Ia menilai kondisi yang dialami seorang disabilitas bukanlah halangan dalam menyampaikan aspirasinya saat pemungutan suara dan orang tersebut punya hak untuk memilih.
“Kondisi ini yang harus dijawab oleh negara bahwa kami itu dijamin bisa memilih.”
Perlakuan khusus dan kemudahan bagi pemilih disabilitas harus dipahami lembaga penyelenggara pemilu.
Sementara berdasarkan pemantauan PPUA Disabilitas dari pemilu 2014 dan 2019 menyebutkan template alat bantu coblos disabilitas untuk tingkat nasional hanya efektif 57 persen.
Petugas TPS tidak bisa menjawab bahkan kebingungan. Mereka tidak paham apa yang dibutuhkan pemilih disabilitas netra ketika mengatakan membutuhkan template.
Kemudian untuk penggunaan juru bahasa isyarat itu komunitas disabilitas memakai sistem Bisindo. Ketika digunakan bahasa SIBI maka banyak disabilitas rungu yang tidak akan paham.
Oleh karena itu Ariani menekankan setiap tahapan, bahan, dan prosedur pemilu dapat diikuti dan dipahami semua warga negara termasuk penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas juga bebas dalam menentukan pendampingnya saat pemungutan suara, bebas memilih, dan dijamin kerahasiaannya dalam memilih. Dalam menggunakan pendamping dijamin kerahasiaannya oleh negara. Hal ini mencakup pula saat mencoblos di bilik suara. Kalau bocor maka akan dikenai sanksi pidana.
Ariani tidak saja menyuarakan hak penyandang disabilitas dalam memilih dan menyampaikan aspirasi. Tetapi juga hak untuk dipilih dan menjadi penyelenggara pemilu.
Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU Provinsi DKI Jakarta Dody Wijaya menyampaikan bahwa Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2022 menyebutkan penyelenggaraan pemilu bisa menyertakan masyarakat. Salah satunya dari elemen penyandang disabilitas.
Dia mengungkapkan masa kampanye saat ini merupakan momen tepat guna melontarkan opini, mencermati visi misi dan gagasan yang ditawarkan.
“Kalau dalam teori kontrak sosial saat inilah saatnya para calon pemimpin dan wakil rakyat, menawarkan kontrak politik kepada masyarakat, kepada rakyat, termasuk teman-teman disabilitas,” tutur Dody.
Sedangkan pada tahapan pemungutan suara, aspirasi penyandang disabilitas menjadi wujud dari semangat pemilu yang inklusif. Hal ini sebagai perwujudan prinsip pemilu akses yang dilakukan guna memberikan pelayanan terhadap pemilih disabilitas dengan optimal.
Saat ini KPU DKI Jakarta sudah mendata ada 61.746 pemilih disabilitas dan TPS yang ada sudah dipetakan guna memberikan perhatian bagi pemilih disabilitas sehingga aksesibel. Kebijakan afirmatif yang dilakukan KPU ini tertuang di PKPU Nomor 9 Tahun 2002.
“Salah satu prinsip partisipasi masyarakat adalah memberikan kemudahan bagi kelompok rentan dan pemilih disabilitas guna mewujudkan kesamaan dan kesempatan dalam pemilu dan pilkada,” terang Dody.
Meski hak politik penyandang disabilitas diakui namun memiliki beberapa tantangan. Yakni kekurangan logistik pendukung, TPS yang tidak ramah terhadap pemilih disabilitas, kurangnya pemahaman dari penyelenggara adhoc, dan terkait akurasi data.
“Inilah yang menjadi tugas kita bersama. Karena itu kita mendorong penyelenggara baik KPU maupun Bawaslu pada saat proses verifikasi,” ungkap Analis Kebijakan Ahli Muda Ketua Tim Kerja Fasilitasi Pemilu Kemendagri Andi Aswin Manggabarani.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post