Jakarta, Prohealth.id – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelenggarakan debat calon Wakil Presiden pada 21 Januari 2024 lalu.
Adapun isu lingkungan hidup dengan kisi-kisi diskusi antara lain; pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam (SDA). Isu lain; lingkungan hidup, energi, pangan, masyarakat adat dan masyarakat desa.
FIAN Indonesia menilai persoalan pangan bukan urusan perut semata, melainkan bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia (HAM). Oleh karenanya, FIAN Indonesia mendesak siapa pun presiden Indonesia yang terpilih nantinya menempatkan isu pangan dan kebijakannya ke dalam agenda pemenuhan dan perlindungan hak atas pangan dan gizi (HAPG). Utamanya sesuai dengan Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dan Pasal 11 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Negara bertanggung jawab memenuhi HAPG dan wajib memastikan setiap orang memiliki akses dan keterjangkauan pangan yang bergizi secara berkelanjutan. FIAN Indonesia menilai ketiga visi dan misi pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden masih problematis. Pasalnya, ketiga paslon ini tidak menempatkan persoalan pemenuan pangan dan perlindungan HAPG sebagai bagian dari tanggung jawab negara.
Natasha Dhanwani, peneliti FIAN Indonesia, menjelaskan pelanggaran HAPG telah terjadi berulang kali dan seringkali mendapat justifikasi oleh kebijakan pemerintah. Bahkan ketiga paslon capres terlibat dalam pendalaman pelanggaran HAPG di Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa dalam pembuatan kebijakan soal pangan maupun hal-hal yang berkaitan dengan pangan, masing-masing paslon punya rekam jejak. Hal ini mengingat semua paslon pernah atau bahkan masih menjabat di pemerintahan sehingga mencatatkan rapor merah tentang pangan dan gizi.
Salah satu yakni Anies Baswedan ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta terlibat dalam perpanjangan swastanisasi air minum. Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan bertanggung jawab atas pembangunan FE di Kalteng dan Papua. Ganjar Pranowo ketika menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung untuk mencabut izin lingkungan PT. Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng.
Peneliti FIAN Indonesia Indraini Hapsari juga menjelaskan bahwa agenda perlindungan dan pemenuhan HAPG harus menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintahan selanjutnya. Para paslon memiliki kewajiban sebagai pengemban tugas pemenuhan HAM di Indonesia untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAPG masyarakat.
Oleh karena itu, FIAN merumuskan beberapa rekomendasi. Pertama, mengakui bahwa HAPG merupakan bagian dari hak asasi manusia. Sehingga membutuhkan regulasi khusus termasuk mekanisme pengaduan pelanggaran HAPG untuk seluruh kalangan masyarakat.
Kedua, mengusung program-program yang berkaitan dengan persoalan pangan dengan sistem berbasiskan HAPG. Ketiga, negara wajib menjamin penghormatan terhadap HAPG dengan melakukan pencegahan terhadap pelanggaran HAPG, termasuk menuntut pertanggungjawaban perusahaan yang melanggarnya.
Keempat, pemberian donasi/bantuan pangan harus meninggalkan bentuk pangan ultra proses. Selain itu wajib menggunakan pertimbangan pangan yang sehat dan bergizi serta layak secara budaya.
Catatan Kritis untuk Pangan
Dalam debat, ide, janji dan konsep dari pasangan capres-cawapres terhadap isu lingkungan akan menjadi tengara terhadap arah pengelolaan lingkungan hidup. Oleh sebab itu WALHI memiliki beberapa catatan penting.
Dalam dokumen dari WALHI, Senin (22/1/2024), sistem energi yang berkembang di Indonesia sebagai hasil kolonialisme dari sistem ekonomi pasar. Energi seringkali hanya dipandang sebagai upaya penyediaan daya dari pemanfaatan sumber bahan bakar fosil untuk menghasilkan listrik dan menggerakkan mesin.
Menurut WALHI pandangan ini menjauhkan keseluruhan urusan energetika bagi regenerasi sosial-ekologis. Akibatnya berakhir hanya pada urusan kecukupan sumber tenaga untuk kesinambungan industrialisasi. Penyempitan energi hanya untuk kepentingan industrialisasi dapat ditelusur pada kemunculan wacana “produktivitas” dan “efisiensi”.
Sebelumnya, cara klasik untuk meningkatkan surplus pada industri adalah dengan memperpanjang hari kerja. Namun seiring dengan adanya bentuk bentuk penolakan baru terhadap perpanjangan jam kerja, muncullah tekanan untuk mengintensifkan jam kerja. Hal ini karena tidaklah mungkin untuk memaksakan peningkatan keuntungan dengan terus memaksa buruh memperpanjang hari kerja.
Upaya untuk mendapatkan nilai lebih kini melibatkan entitas baru di sektor ini – energi – yang kehadirannya mengubah segalanya. Sungai, hutan, dan materi yang terpendam dalam tanah, seperti batubara, minyak dan gas kini menjadi energi. Bukan hanya sumber daya yang tunggal, terpadu, abstrak, dan pada akhirnya menjadi sebuah komoditas. Namun yang lebih mendasar lagi sebuah “alat” baru dari serangkaian metode dan rentang waktu yang berbeda.
Penghambaan energi kepada industrialisme kemudian justru berakhir menghancurkan sumber energetika utama dari masyarakat kebanyakan: lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta kedaulatan sumber pangan.
Ekstraktivisme yang mengutamakan kebutuhan energi bagi industri, membongkar wilayah kelola rakyat. Untuk kebutuhan hulu sumber energi dalam pertambangan batubara, minyak dan gas menghancurkan wilayah rakyat.
Selama dua puluh tahun terakhir, emisi sektor energi di Indonesia, misalnya, telah meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan permintaan energi. Dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021, Indonesia adalah penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia. Hampir 5 juta hektar lahan telah diubah menjadi kawasan pertambangan batu bara, dengan setidaknya hampir 2 juta hektarnya berada di kawasan hutan. Tren perusakan ini tidak akan segera menurun karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sendiri terus mendorong peningkatan produksi batubara di Indonesia dari tahun ke tahun (2021: 609 juta ton; 2022: 618 juta ton; 2023: 625 juta ton; 2024: 628 juta ton).
Laporan JATAM pada 2017 lalu menyebut konsesi pertambangan batubara juga mencakup 19 persen dari areal persawahan yang ada dan 23 persen lahan yang tersedia untuk budidaya padi baru. Hingga 15 persen kawasan untuk budidaya perkebunan berisiko dibuka untuk produksi batu bara.
Lahan yang bagi pertambangan batu bara mencakup hampir 10 persen dari luas wilayah Indonesia, dan 80 persen diantaranya untuk eksplorasi. Sehingga menimbulkan risiko terbesar bagi ketahanan pangan di masa mendatang.
Pada 29 Mei 2006, upaya ekstraksi gas di Porong, Sidoarjo berubah menjadi sebuah katastropi industri, ketika lumpur panas Lapindo menghancurkan wilayah lebih dari 1.000 hektar, menenggelamkan 12 wilayah desa, dengan lebih dari 100.000 orang kehilangan tempat tinggal, lahan pertanian dan tambak.
Definisi “Pembangunan Berkelanjutan” pertama kali keluar dari Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Klausul SDGs tertuang dalam laporan berjudul “Our Common Future” pada 1987. Laporan ini kemudian menjadi Laporan Komisi Brundtland.
Pada 2015, PBB mengumumkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan 169 target lainnya sebagai cetak biru. Tujuannya untuk mencapai pembangunan yang lebih baik dan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi semua orang dan bagi dunia pada tahun 2030.
Namun, pembangunan berkelanjutan melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) tidak berhasil menjadi penyelesaian masalah global dalam menghadapi krisis iklim dan ekologi. Kritik terhadap pembangunan berkelanjutan muncul karena pendekatan ini masih membawa pendekatan ekonomi ekstraktif.
Akibatnya pembangunan berkelanjutan masih tetap menggunakan alam sebagai komoditas, menyebabkan over konsumsi yang melebihi daya dukung lingkungan.
Discussion about this post