Indonesia sudah berkomitmen untuk menahan laju pemanasan global, dengan mengedepankan pembangunan rendah karbon yang salah satu targetnya adalah mengurangi efek gas rumah kaca sebesar 29 persen di tahun 2030. Komitmen itu masih akan dipegang sebagai komitmen yang akan diwujudkan oleh pemimpin yang akan terpilih dalam Pilpres dan Pemilu 2024.
Isu perubahan iklim penting menjadi salah satu agenda kampanye di Pemilu 2024 karena dampaknya kian mencekam. Menurut Grace Wangge, Pakar Kesehatan Publik Monash University menilai, banyak dari kaum muda yang mengalami gangguan kecemasan dan kesedihan akibat bencana terkait perubahan iklim. Adapun sumber stres menurut Grace adalah akibat dari krisis pangan, kehilangan mata pencaharian, ataupun kerusakan dan kehancuran lingkungan yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Selain itu, data Air Quality Life Index (AQLI) pada tahun 2022 menunjukkan beberapa daerah di Indonesia, khususnya DKI Jakarta dan kota di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, diproyeksi mengalami penurunan angka harapan hidup rata-rata selama 2,4 tahun karena polusi udara. Jawa Barat adalah provinsi paling tercemar di Indonesia, dimana polusi udara memperpendek angka harapan hidup 48 juta penduduk hingga 1,6 tahun. Polusi ini berasal dari asap dari kebakaran hutan, ditambah emisi karbon yang bersumber dari gas buang kendaraan bermotor, pembangkit listrik dan mesin pada industri, dan sebagainya.
Contoh lain dampak perubahan iklim juga dialami DKI Jakarta. Peneliti MCCCRH Indonesia Node Eka Permanasari, yang fokus risetnya berkaitan dengan pengembangan perkotaan, mengatakan bahwa perubahan iklim memperparah gempuran hujan deras terhadap DKI Jakarta. “Jakarta saat ini berjuang untuk tidak tenggelam,” tandas Eka dalam kegiatan diskusi publik Monash University beberapa waktu lalu di Perpustakaan Nasional RI.
Dampak ekonomi perubahan iklim juga mengkhawatirkan. Bappenas memprediksi Indonesia akan mengalami kerugian sebesar Rp 544 triliun pada periode 2020-2024. Selain itu, Indonesia juga bisa kehilangan 30 persen sampai 40 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp 132 triliun akibat kerugian dari sektor pertanian, kesehatan, dan kenaikan permukaan laut.
Sementara itu secara terpisah, dalam Green Webinar yang diiselenggarakan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Dayu Nirma Amurwanti, yang juga Program Advisor terkait iklim dan kehutanan mengatakan, krisis iklim sekarang ini harusnya ada sense of urgency, dari para calon (pemimpin) bahwa ini adalah situasi yang tak bisa dihadapi dengan cara biasa. Apalagi pembangunan seringkali dijadikan alasan yang berdampak pada masalah lingkungan seperti soal permasalahan pertambangan, perkebunan hingga soal penggunaan energi. Menurut Dayu Nirma Amurwanti harus ada keseimbangan antara lingkungan, sosial, dan ekonomi jika pembangunan ingin berkelanjutan.
“Permasalahannya, penggunaan bahan baku energi yang berasal dari fosil seperti batu bara, masih menjadi andalan sebagai sumber pembangkit listrik dan itu masih sangat berdampak pada polusi terutama udara yang kini banyak dirasakan di berbagai kota,” ujarnya melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Sabtu (28/10/2023).
Sementara, Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Dr. Mahawan Karuniasa mengatakan, pembangunan di Indonesia belum berkelanjutan, dan ini menjadi tanggung jawab semua termasuk pemimpin. Menurut Mahawan, selain soal IQ dan EQ, pemimpin juga perlu memiliki SQ alias Sustainability Quotient. “Kemampuan itu perlu menjadi syarat atau kriteria yang harus dimiliki pemimpin Indonesia,” tutur Mahawan.
Menurut Mahawan, jika bila belum ada kemampuan itu, maka menjadi tanggung jawab semua pihak untuk mendorong agar pemimpin memiliki kemampuan dimaksud jika ingin Pembangunan bisa dikelola secara berkelanjutan.
Pembicara dari lembaga riset Indikator Politik Indonesia, Kennedy Muslim dalam juga menyebut bahwa isu lingkungan hidup memiliki insentif elektoral yang tinggi dalam pemilu 2024 mendatang. Ia berpendapat, para aktivis lingkungan dan media harus terus menggaungkan soal ini sacara terus-menerus.
“Aktivis lingkungan dan media harus terus menggaungkan isu ini karena insentif elektoralnya tinggi, berdasar data penelitian kami,” kata Kennedy.
Menurutnya, hasil survei Indikator menyebutkan bahwa responden yang berusia 17 hingga 35 tahun yang akan menjadi pemilik suara mayoritas dalam pemilu 2024 memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan.
Lebih lanjut kata Kennedy Muslim, responden tidak setuju jika isu ekonomi menjadi prioritas dibandingkan isu lingkungan, mereka juga mengatakan bahwa pemerintah termasuk yang paling bertanggung jawab untuk menangani krisis iklim, meski sebenarnya tanggung jawab untuk mengatasinya adalah tanggung jawab semua pihak.
Ketua Umum AMSI, Wahyu Dhyatmika mengatakan bahwa ssok pemimpin yang berkarakter hijau adalah sosok pemimpin ideal dalam kondisi Indonesia dan dunia masa kini.
“Sosok pemimpin berwawasan lingkungan, dan sosok pemimpin yang memiliki visi konservasi, dan mitigasi climate change, inilah pemimpin yang kita cari,” katanya.
Berkaca dari dinamika itu, Pusat penelitian Monash Climate Change Communication Research Hub/(MCCCRH) meluncurkan buku bertajuk “Navigasi Isu Perubahan Iklim di Pemilu 2024: Panduan Komunikasi untuk Para Politisi” untuk meningkatkan pemahaman politisi sekaligus mendorong agenda perubahan iklim di Pemilu 2024.
Chair Monash Climate Change Communication Research Hub (MCCCRH) Indonesia Node, Ika Idris menyatakan secara rinci, unggahan terkait perubahan iklim dari kalangan ketua parpol hanya 8 persen dibicarakan, jauh lebih rendah dibandingkan unggahan dari kelompok menteri yang mencapai 80 persen.
“Isu perubahan iklim yang dibicarakan politisi pun masih di taraf kebijakan dan tidak menyentuh dampak yang dirasakan langsung masyarakat,” ujar Ika.
Surya Tjandra, Juru Bicara Pasangan AMIN menilai, mayoritas masyarakat tidak tahu tentang isu perubahan iklim. “Tapi tugas kita sebagai politisi untuk memulai dan mengedukasi masyarakat bahwa ini penting. Kuncinya adalah kolaborasi dan penting mengkombinasikannya dengan aksi nyata,”ujar dia.
Sementara, Rahayu Saraswati dari pasangan Prabowo-Gibran menilai, mengedukasi konstituen dengan isu perubahan iklim sangat menantang. “Berangkat dari pengalaman, yang mereka tangkap itu ya isu sandang, pangan, papan, ” kata Rahayu.
Penulis: Irsyan Hasyim & Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post